Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama Internasional untuk 2017 pada 29 Mei.
Laporan tersebut merinci kasus seorang pria yang dilecehkan secara seksual dan disiksa di penjara, yang akhirnya mengarah pada kematiannya, menyoroti kerasnya penganiayaan yang dilakukan oleh rezim Tiongkok terhadap para pembangkang agama.
Yang Yuyong, 56 tahun penduduk Tianjin, kota pelabuhan utama di Tiongkok timur laut, ditangkap pada bulan Desember 2016 oleh pejabat keamanan negara. Setelah menghabiskan lebih dari enam bulan dalam tahanan polisi, ia meninggal pada 11 Juli 2017. Laporan tersebut merinci pelecehan yang dideritanya sebelum kematiannya:
“Dia dilaporkan menderita penganiayaan berat saat ditahan, termasuk pelecehan seksual yang melibatkan 13 narapidana yang menjepit kemaluannya dan menggigit putingnya. Pada saat otoritas membawanya untuk menerima perawatan medis, dia sudah menderita gagal organ parah. Keluarganya melaporkan tubuhnya menjadi hitam dan biru dan memiliki bekas-bekas batang bambu di bawah kuku-kuku kakinya.”
Yang Yuyong adalah penganut latihan kultivasi diri yang dikenal sebagai Falun Gong atau Falun Dafa. Menurut laporan tersebut, puluhan penganut latihan tersebut meninggal dalam tahanan pada tahun 2016.
Disiplin spiritual tersebut berfokus pada peningkatan diri secara jiwa dan raga dengan melakukan lima perangkat latihan meditasi dan mengikuti tiga prinsip inti kebenaran, kebaikan dan toleransi (sejati-baik-sabar) dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhir 1990-an, Falun Gong sangat populer, dengan perkiraan resmi 70 dan 100 juta praktisi.
Ukuran kelompok yang sangat besar dan ajaran moralnya yang bertentangan dengan ideologi atheis Partai Komunis Tiongkok (PKT) memicu kecemasan pada pemimpin Partai Jiang Zemin, khawatir bahwa cengkeramannya pada kekuasaan akan ditentang. Akibatnya, Jiang memerintahkan penganiayaan skala nasional terhadap kelompok latihan tersebut pada 20 Juli 1999.
Sejak itu, ratusan ribu praktisi telah ditahan di pusat pencucian otak, bangsal psikiatri, dan penjara, dengan beberapa harus membayar harga tertinggi berupa kematian.
Menurut Minghui.org, situs web yang melacak penganiayaan di Tiongkok, mayat Yang telah dikremasi yang bertentangan dengan keinginan keluarganya selama tengah malam 12 Juli 2017, ketika hampir seratus petugas polisi muncul di Rumah Sakit Pengobatan Tradisional Wuqing dimana Yang meninggal. Mereka menghalangi siapa saja yang mencoba ikut campur.
Rejim Tiongkok bahkan mengubah para warga pada umumnya untuk memusuhi praktisi Falun Gong. Menurut laporan tersebut, pihak berwenang menawarkan hadiah uang kepada warga yang melaporkan para praktisi ini.
Praktisi Falun Gong juga mengalami diskriminasi: beberapa majikan memecat para karyawan yang berlatih Falun Gong.
Minghui.org juga mendokumentasikan contoh lain dari para praktisi Falun Gong yang meninggal setelah disiksa secara seksual dan fisik.
Qu Hui, penduduk Kota Dalian, di Provinsi Liaoning Tiongkok utara, berusia 45 tahun ketika dia meninggal pada Februari 2014, setelah tubuhnya gagal pulih dari kekerasan fisik yang dialaminya 13 tahun lalu, yang menyebabkan dia menjadi lumpuh dari leher ke bawah.
Pada tahun 2000, Qu berada di Beijing untuk mengajukan petisi kepada pemerintah pusat tentang haknya untuk berlatih Falun Gong. Polisi menangkap dan menahannya. Tanpa pengadilan, Qu dijatuhi hukuman satu tahun kerja paksa di kamp kerja paksa di Dalian.
Dia dilecehkan secara seksual selama di sana. Penjaga kamp menggunakan tongkat listrik untuk menyetrum organ seksual pria-nya dan memasukkan baton ke anusnya. Setelah mengalami pemukulan fisik selama sekitar satu tahun, Qu dibebaskan dengan jaminan pada tahun 2001. Ia menjadi lumpuh dan menderita ulserasi (pemborokan) pada organ seksualnya, inkontinensia (kondisi di mana tidak dapat mengontrol buang air kecil), gagal paru-paru, dan gagal ginjal. (ran)
ErabaruNews