Perusahaan-perusahaan Eropa menghadapi rintangan besar ketika melakukan bisnis di Tiongkok yang mencegah perusahaan beroperasi pada tingkat “level playing field” (situasi di mana tidak satu pun dari pihak yang bersaing lebih diuntungkan pada awal aktivitas kompetitif), menurut makalah tahunan terbaru yang dikeluarkan oleh Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok.
Makalah tersebut, yang diterbitkan pada 19 September, telah mendaftar 14 masalah umum yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan Eropa di 22 sektor, termasuk pertanian, mobil, perbankan dan sekuritas, konstruksi, asuransi, logistik, dan petrokimia.
Beberapa hambatan yang disebutkan oleh sekitar 1.600 perusahaan Eropa yang disurvei tersebut adalah keluhan umum di antara perusahaan asing di Tiongkok, seperti hambatan akses pasar; akses yang tidak adil menghadapi subsidi-subsidi pemerintah Tiongkok; kelangkaan izin operasi untuk perusahaan internasional; perlakuan yang tidak adil oleh rezim Tiongkok; dan sektor-sektor yang dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan milik negara yang bersifat memonopoli (BUMN).
Ada juga alasan yang kurang jelas seperti prosedur administrasi yang panjang, sistem pengadaan yang tidak transparan, penegakan peraturan yang tidak dapat diprediksi, dan masalah keamanan dunia maya (cyber).
Makalah tersebut menghubungkan dua penyebab utama di balik rintangan-rintangan ini: kebijakan negara Beijing, dan pemerintah daerah tingkat bawah gagal untuk memahami atau menerima agenda reformasi yang ditetapkan oleh otoritas pusat.
“Ketika peningkatan tarif oleh Amerika Serikat menggambarkan respon yang tajam dan menggelisahkan terhadap kekurangan-kekurangan agenda reformasi Tiongkok, hal ini didasarkan atas kekhawatiran-kekhawatiran yang merupakan hal umum terjadi pada kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya, termasuk Uni Eropa,” Mats Harborn, presiden kamar dagang tersebut, menulis dalam laporannya.
Tiongkok telah memperkenalkan sistem penilaian pemberian izin kerja untuk mengkategorikan orang-orang asing yang ingin bekerja di negara tersebut ke dalam kategori A, B, atau C pada bulan April 2017. Sistem penilaian didasarkan pada berbagai faktor, seperti gaji tahunan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman kerja. Untuk seseorang yang berpenghasilan sekitar 450.000 yuan (sekitar US$66.000) atau lebih tinggi setiap tahun, ia akan diberikan 20 poin, seseorang yang mendapat gaji tahunan antara 150.000 dan 250.000 yuan (sekitar $22.000 hingga $ 36.000) akan diberi 11 poin.
Orang yang mendapat nilai 85 poin atau lebih tinggi berada dalam kategori A, 60 hingga 85 poin untuk kategori B, dan di bawah 60 untuk kategori C. Orang-orang asing di dalam kategori B dan C menghadapi lebih banyak rintangan seperti persyaratan masuk yang lebih ketat dan lama waktu yang lebih rendah untuk validitas izin.
Untuk orang asing yang masuk kategori “B” dan “C”, ada persyaratan dokumentasi yang panjang dan sering mahal. Setelah tiba di Tiongkok, mereka harus mendaftar ke polisi setempat dalam 24 jam, yang juga diperlukan setiap kali mereka melintasi perbatasan. Itu akan menjadi kerumitan yang signifikan bagi orang-orang bisnis yang sering bepergian keluar masuk Tiongkok.
Tantangan lain adalah praktik pengadaan yang tidak adil terkait dengan prakarsa “One Belt, One Road” Tiongkok (OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road). Laporan tersebut menunjukkan bahwa proses pengadaan dan tender untuk proyek-proyek OBOR sering tidak jelas bagi perusahaan Eropa yang ingin memberikan penawaran untuk kontrak-kontrak tersebut. Mengutip data dari think tank Centre for Strategic and International Studies yang berbasis di AS, laporan tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Januari, 89 persen proyek terkait OBOR telah diberikan pada perusahaan-perusahaan Tiongkok.
OBOR adalah inisiatif investasi yang diumumkan oleh Beijing pada tahun 2013, dengan rencana untuk membangun rute perdagangan yang mencakup lebih dari 60 negara di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin melalui proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai Tiongkok. Inisiatif ini telah dikritik karena menempatkan negara-negara berkembang ke dalam “jebakan utang.”
Sementara itu, Tiongkok sering memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan-perusahaan domestik, seperti dalam kasus pasar kendaraan energi baru (NEV). Menurut laporan tersebut, Beijing menawarkan banyak insentif untuk mendorong para konsumen membeli NEV-nya, seperti plat-plat lisensi gratis dan subsidi konsumsi untuk pembeli NEV dan subsidi produksi untuk para produsen NEV. Ini sangat menguntungkan para produsen NEV Tiongkok, meskipun di atas kertas, insentif-intensif tersebut tersedia untuk semua produsen NEV dan pembuat model.
Reformasi ekonomi Tiongkok perlu dipercepat, tidak hanya untuk kebutuhan perusahaan internasional, tetapi juga untuk mencukupi kebutuhan ekonomi Tiongkok, laporan tersebut menyimpulkan.
Dua hari sebelum laporan diterbitkan, pada 17 September, perang perdagangan Tiongkok-AS meningkat ketika Presiden Donald Trump melontarkan tarif atas barang-barang Tiongkok senilai $200 miliar. Tarif tersebut, ditetapkan sebesar 10 persen, akan dimulai pada 24 September, sebelum naik menjadi 25 persen pada 1 Januari 2019.
Tarif-tarif ini kelanjutan dari tarif 25 persen yang dikenakan untuk $50 miliar barang-barang Tiongkok pada tanggal 15 Juni. Mirip dengan apa yang dinyatakan dalam laporan Uni Eropa, Trump telah menuntut agar Tiongkok mengakhiri praktik-praktik perdagangannya yang tidak adil, seperti memaksa perusahaan-perusahaan AS untuk mentransfer teknologi kepada mitra-mitra bisnis mereka di Tiongkok, dan pencurian kekayaan intelektual.
Pada tanggal 1 Juni, Uni Eropa (UE) telah meluncurkan proses hukum ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melawan Tiongkok karena praktik-praktik transfer teknologinya yang tidak adil. (ran)