Sejak perang dagang AS-Tiongkok terus meningkat, para pengguna internet Tiongkok telah menemukan platform untuk mengekspresikan pemikiran mereka tentang perkembangan terbaru dalam sengketa tersebut: akun media sosial milik Kedutaan Besar AS di Tiongkok.
Akun Kedutaan Besar AS di Sina Weibo, media sosial yang mirip dengan Twitter, telah lama dianggap sebagai tempat berlindung yang langka bagi kebebasan berbicara di Tiongkok, yang memungkinkan para netizen (pengguna internet) untuk mengutarakan pikiran mereka.
Karena komentar pada akun milik entitas Amerika cenderung tidak disensor oleh Tiongkok, para netizen Tiongkok telah membawa keluhan-keluhannya ke kolom komentar Weibo milik Kedubes AS, seperti ketika perusahaan-perusahaan obat Tiongkok terungkap memproduksi dan mengedarkan vaksin-vaksin yang tak layak untuk anak-anak di bulan Juli, atau untuk sekadar menyatakan pendapat mereka tentang kejadian terkini. Meskipun konten-konten yang mengkritik rejim Tiongkok sering dihapus, bagian komentar Kedutaan Besar AS sering mengizinkan para netizen memberi pendapat dan masukan.
Setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya akan mengenakan tarif yang direncanakan untuk tambahan $200 miliar barang-barang Tiongkok pada 17 September, para netizen menyatakan dukungan mereka untuk Amerika Serikat. Akun Weibo Kedutaan Besar AS memposting salinan pernyataan Trump tentang tarif tambahan pada hari yang sama (18 September waktu Beijing), yang menarik sejumlah netizen untuk mendukung Trump.
“Go America yang cantik. Anda telah menepati janji dan melakukan apa yang dijanjikan,” tulis salah seorang.
“Saudara Trump, lakukan ini dengan baik. Saya mendukung Anda,” tulis yang lain.
“Terima kasih kepada Amerika karena melakukan ini di palu dan arit,” terbaca posting lain, mengacu pada simbol untuk Partai Komunis.
Yang lainnya memohon kepada Amerika Serikat untuk membantu mereka menghadapi kesengsaraan ekonomi Tiongkok. “Bisakah Anda membantu kami menurunkan harga properti?” tanya seseorang.
Mengapa banyak orang Tiongkok mendukung pihak lawan di dalam perang dagang AS-Tiongkok?
Banyak netizen berharap bahwa tekanan AS dapat mendorong rezim Tiongkok untuk akhirnya melakukan reformasi ekonomi yang sebenarnya.
“Hanya tekanan eksternal yang akan memungkinkan mereka melakukan reformasi. Hanya ketika mereka merasakan titik kehancuran, mereka akan dapat berubah,” tulis salah satu netizen.
Kesimpulan serupa dicapai oleh ahli ekonomi Universitas Tsinghua, Wei Jie, yang baru-baru ini menulis sebuah esai menganalisa strategi-strategi apa yang telah ditinggalkan Tiongkok dalam perang dagang.
Wei menulis bahwa untuk melawan dampak dari tarif-tarif AS, Tiongkok perlu membuka pasarnya, termasuk menurunkan tarif atas barang-barang luar negeri; membuka pasar jasa layanan, dimana Tiongkok sebenarnya memiliki defisit perdagangan dengan Amerika Serikat; dan melonggarkan pembatasan untuk investasi asing.
Tak dapat dipungkiri, efek perang dagang mulai merusak ekonomi Tiongkok yang sudah melambat.
Dengan sekitar 20 persen kerugian sejauh ini pada tahun 2018, pasar saham Shanghai telah bergabung dengan trio krisis Turki, Argentina, dan Venezuela, untuk menjadi salah satu dari empat pemain terburuk di dunia.
Indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perlambatan: pertumbuhan investasi aset tetap melambat menjadi 5,3 persen dari Januari hingga Agustus, pembacaan terlemah setidaknya sejak 1995 ketika catatan resmi dimulai.
Pertumbuhan dalam belanja infrastruktur, penggerak ekonomi yang kuat, juga turun, menjadi 4,2 persen dalam delapan bulan pertama tahun ini.
Mulai 19 September pagi (waktu EST), akun Weibo Kedutaan Besar AS tidak lagi menampilkan komentar apa pun. Tidak jelas apakah penghapusan tersebut karena sensor Tiongkok atau kedutaan mematikan bagian komentar. (ran)