oleh Li Yun
Konflik perdagangan Tiongkok – Amerika Serikat masih tidak terlihat reda dan administrasi Trump mengumumkan bahwa AS akan memberlakukan tarif senilai USD. 200 miliar untuk komoditas yang diekspor Tiongkok ke AS pada 24 September.
Media AS menggambarkan bahwa sangat mungkin api konflik akan terus membara meskipun Beijing sedang menghadapi tiga masalah utama : Bagaimana masyarakat Tiongkok akan menilai konflik perdagangan dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi kekuasaan rezim dan stabilitas domestik.
Sejak api konflik membara, pemerintahan Trump terus memperbesar tekanan, yang terakhir ini menaikkan 10 % tarif impor komoditas asal Tiongkok senilai USD. 200 miliar yang secara efektif diberlakukan mulai 24 September 2018.
Trump mengatakan bahwa ‘peluru’ Amerika Serikat masih banyak, nanti mulai 1 Januari tahun depan, tarif komoditas tersebut akan dinaikkan dari 10 menjadi 25 %. Kemudian, jika Tiongkok komunis masih terus melakukan tindak pembalasan, maka AS akan memberlakukan lagi tarif baru terhadap komoditas Tiongkok yang nilainya mencapai USD. 267 miliar.
The New York Times mengatakan pada 23 September bahwa sampai saat ini nilai yang USD. 200 miliar tersebut merupakan putaran tarif yang terbesar yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Karena itu Tiongkok komunis tiba-tiba membatalkan dialog perdagangan yang sedianya diadakan di Washington pada akhir bulan ini, tetapi juga membatalkan negosiasi militer yang dijadwalkan akan berlangsung pada 25 September.
Tindakan terakhir adalah sebagai protes Tiongkok komunis terhadap sanksi AS yang diberikan kepada menteri pengembangan militer Tiongkok Li Shangfu yang membeli pesawat tempur dan peralatan rudal dari Rusia.
Artikel menyebutkan bahwa dengan meningkatnya konflik dengan Amerika Serikat, Beijing kini menghadapi tiga masalah utama : Pertama, Bagaimana masyarakat Tiongkok yang sudah terbiasa dengan perkembangan ekonomi yang cepat sekarang memandang pelemahan ekonomi gara-gara konflik perdagangan ? Kedua, Apakah konflik perdagangan memiliki dampak buruk bagi pemerintah Tiongkok ? Ketiga, Apakah konflik akan mempengaruhi stabilitas dalam negeri Tiongkok ?
Menurut artikel tersebut, bahwa meskipun Beijing telah menginvestasikan banyak sumber daya untuk mempelajari Amerika Serikat, tampaknya hanya sedikit orang yang menyadari bahwa rasa permusuhan dari Washington terhadap Tiongkok itu bersifat lintas partai dan melampaui urusan perdagangan.
Banyak pemimpin bisnis frustrasi yang pernah menjadi pembela Tiongkok komunis demi kepentingan keuntungan mereka. Sekarang mereka lebih cenderung untuk mengambil tindakan yang lebih keras terhadap Tiongkok.
Artikel mengutip ucapan Direktur Institute of International Studies, Teng Jianqun mengatakan bahwa Tiongkok perlu menerima kenyataan baru yang membiarkan masyarakatnya memahami bahwa konflik atau perang dagang ini bukan kompetisi jangka pendek, lomba tersebut akan ikut menentukan arah masa depan rezim Tiongkok komunis.
He Jiangbing seorang pakar keuangan dalam sebuah artikelnya yang dimuat media Hongkong ‘Apple Daily’ pada 17 September menyebutkan, konflik perdagangan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, berbagai macam Minsky Moment saat ini sedang mewabah di daratan Tiongkok.
Pejabat Tiongkok pernah mengklaim bahwa mereka tidak akan berhenti untuk melawan sanksi AS, tak perduli berapa pun nilai yang harus dikorbankan. Tetapi kata He Jiangbing bahwa yang akan menjadi korban itu adalah 1.3 miliar penduduk Tiongkok, sekarang saja mereka sudah mulai menjadi korban.
Karena dampak konflik perdagangan, banyak perusahaan AS yang beroperasi di Tiongkok telah menarik diri. He Jiangbing percaya bahwa tidak mudah untuk membalikkan rantai industri setelah kepindahan mereka dari Tiongkok dan itu akan menjadi titik balik yang menentukan nasib rezim Tiongkok komunis.
Ia percaya bahwa semakin berlarut-larut konflik perdagangan terjadi akan semakin buruk bagi Tiongkok komunis. He Jiangbing memperingatkan bahwa jika konflik tidak diselesaikan dalam waktu dua bulan, ekonomi Tiongkok akan memasuki model ekonomi kolaps.
Dong Liwen, anggota dewan penasehat think tank Taiwan percaya bahwa trump sedang memainkan kartu ‘Five-card stud’ untuk menghadapi Tiongkok yang tujuan utamanya adalah membiarkan Partai Komunis Tiongkok yang dipimpin Xi Jinping runtuh.
Frank Tian Xie, profesor University of South Carolina Aiken School of Business mengatakan bahwa Tiongkok komunis sama sekali tidak mau mengalah sejak konflik perdagangan pecah, tetapi berusaha untuk menggunakan taktik menunda atau mengulur-ulur waktu, oleh karena itu Amerika Serikat menambah tekanan dengan menaikkan lebih banyak pajak.
“Kesempatan tidak akan diberikan kepada Tiongkok komunis, hanya tekanan diperbanyak selangkah demi selangkah untuk memaksa rezim Beijing ‘bertekuk lutut’,” katanya.
Menurut analisis Frank Tian Xie bahwa konflik akan berkembang menuju 2 penghujung yang tidak berbeda, yaitu runtuhnya komunisme.
Penghujung pertama memiliki 40 % kemungkinan. AS terus mendesak yang akhirnya membuat Tiongkok komunis menyerah kalah, karena ia berpikir menghasilkan uang sedikit lebih baik daripada sama sekali tidak menghasilkan uang. Tetapi konsekuensinya adalah bahwa Partai Komunis Tiongkok kehilangan muka di depan rakyatnya, dan citra sebagai negara besar menjadi hancur, akhirnya ditinggalkan oleh rakyat Tiongkok.
Penghujung kedua memiliki 60 % kemungkinan, Tiongkok berkonfrontasi dengan Amerika Serikat, memutus hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. “Memaksa 1,3 miliar penduduk Tiongkok menerima nasib mati bersama, dan Tiongkok kembali memberlakukan kebijakan isolasionisme alias politik tutup pintu.
Frank Tian Xie mengatakan bahwa sekarang seluruh rakyat anti-penganiayaan dan gelombang anti-komunis sedang meningkat, dan konflik dagang pada akhirnya akan memaksa rezim komunis runtuh. Ia percaya bahwa pemerintahan baru di masa depan harus lebih terbuka, bebas dan demokratis, dan tentu saja mengubah struktur ekonomi Tiongkok.
“Dengan demikian masalah-masalah yang memicu konflik perdagangan secara alami akan terpecahkan,” ujarnya. (Sin/asr)