Tang Hao
Kemenlu AS mengumumkan, Menlu Pompeo minggu ini (07/10) akan berkunjung ke Korea Utara menemui Kim Jong-Un, ini merupakan sinyal “pertemuan Trump-Kim” yang kedua akan digelar kembali. Namun hubungan segitiga AS-RRT-Korut baru-baru ini diselimuti banyak ketidak-pastian.
Lalu, apakah Kim Jong-Un benar-benar berniat untuk denuklirisasi? Apakah Korut benar-benar akan berpisah dengan RRT?
AS-Korut Masuki Perang Negosiasi, Acap Adu Trik Lewat Udara
Mari kita tinjau kembali interaksi AS-Korut baru-baru ini.
……………..Tanggal 25 September, Trump berpidato di Majelis Umum PBB, secara terbuka memuji keberanian Kim Jong-Un melangkah menuju denuklirisasi, namun masih banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan, sanksi ekonomi terhadap Korut akan terus diberlakukan sampai denuklirisasi telah terwujud.
Tanggal 29 September, di hadapan Majelis Umum PBB Menlu Korut Ri Yong-Ho mengatakan, sanksi ekonomi AS terhadap Korut mempengaruhi saling percaya antara AS dengan Korut, juga menghambat kemajuan denuklirisasi Semenanjung Korea.
Tanggal 2 Oktbober, Kemenlu AS mengumumkan Pompeo akan berkunjung ke Korut menemui Kim Jong-Un tanggal 7 Oktober.
Di hari yang sama media resmi Korut mengatakan, jika Amerika tidak menanda-tangani deklarasi mengakhiri Perang Korea, pihak Korut tidak mempermasalahkannya, deklarasi mengakhiri perang tidak seharusnya menjadi kartu as bagi AS dalam berunding.
Dengan kata lain, pernyataan Korut itu mengisyaratkan, jika tidak ada deklarasi mengakhiri perang, kemungkinan Korut akan mundur dari denuklirisasi.
Kim Jong-Un Tiru Jurus Negosiasi, Trump Kembali Tunjukkan Itikad Baik
Dalam sebulan terakhir, pihak AS dan Korut terus menerus adu jurus lewat udara, kedua belah pihak saling tidak mau mengalah, sepertinya tidak ada perkembangan berarti, membuat orang berkeringat dingin terhadap pertemuan kedua Trump-Kim.
Orang yang memahami Trump tahu, baik di dunia bisnis maupun di politik, Trump dikenal selalu bersikap keras.
Dulu saat menjalankan perusahaan dan merekrut orang, Trump sangat menghargai orang yang mengerti kapan harus bertahan keras saat dibutuhkan dan berjuang hingga akhir. Karena orang yang bisa memperjuangkan kebenaran, baru dapat mempertahankan kepentingan perusahaan, dan bersikukuh melakukan hal yang benar.
Baru-baru ini Kim Jong-Un tidak hanya berkali-kali menantang AS atas masalah sanksi ekonomi dan deklarasi mengakhiri perang — tapi bukan dengan cara provokasi ala preman seperti yang dulu dilakukan — melainkan Kim Jong-Un berupaya meniru taktik berunding Trump: Berkata-kata baik dengan pemimpin lawan tapi sinis terhadap pejabat di bawahnya, di saat yang sama melontarkan informasi radikal maupun moderat sekaligus, menciptakan suasana yang kabur dan tidak jelas.
Kim Jong-Un diam-diam mempelajari sikap keras dan taktik negosiasi Trump, mungkin itu salah satu alasan utama yang membuat Trump senang dan mulai “menyukai” Kim Jong-Un.
Jangan lupa, saat pertama kali Trump bertemu Kim bulan Juni lalu, sempat menyatakan pada reporter internasional, bahwa Kim Jong-Un sangat “cerdas”, adalah seorang “negosiator yang patut untuk ditemui”.
Sekarang, Trump kembali menyatakan itikad baik pada Kim Jong-Un, mungkin ini cara Trump menyampaikan dirinya sebagai senior dan pemimpin bisnis “menghargai” seorang pemimpin muda — walaupun pemimpin ini dulunya pernah menjadi seorang diktator yang menindas rakyatnya, membunuh kakak kandungnya karena dulunya pernah disesatkan oleh didikan ayahnya yang tirani.
Namun Trump bersedia memberinya kesempatan sekali lagi, membimbingnya ke jalan yang benar, denuklirisasi secara damai, membawa 25 juta orang rakyat Korut terlepas dari kediktatoran komunis, mendapat kebebasan dan kehidupan yang tentram, juga memberikan jaminan keamanan bagi Amerika dan masyarakat di Asia Timur.
Tentu, tidak tertutup kemungkinan Trump ingin melontarkan informasi yang kabur, membuat Korut mengira jurus Kim Jong-Un mengambil hati Trump dengan mengirim surat pada Trump efektif, demi memperlancar perundingan lanjutan.
Korut Tidak Miliki Modal Berunding, Hanya Macan Kertas
Akan tetapi, walaupun telah meniru strategi berunding Trump, tapi Kim Jong-Un salah memperkirakan “aset kredibilitas” yang dimiliki Korut sebenarnya jauh sekali dibandingkan dengan Amerika. Seperti halnya rezim komunis lainnya, keluarga Kim terbiasa berbohong dan menipu rakyat maupun masyarakat internasional, Kim Jong-Un tidak memiliki “kredibilitas” atau pun “pamor” seperti Trump untuk berunding. Oleh sebab itu, propaganda opini dan gertakan diplomatik Korut hanya bisa untuk membohongi rakyat dan dirinya sendiri.
Selain itu, Korut juga tidak memiliki “aset berupa kekuatan riil” seperti AS yakni ekonomi yang kuat, militer, diplomatik dan lain sebagainya, saat ini modal Korut untuk bisa berunding dengan AS hanya ada “aset teror” yakni senjata nuklir.
Tidak miliki kredibilitas, tidak punya kekuatan riil, ditambah lagi terlilit dengan sanksi ekonomi, sementara saudara tua PKT juga telah terkepung oleh taktik “kepungan ekonomi dagang” Trump, maka Kim Jong-Un meniru Trump untuk mendapatkan deklarasi mengakhiri perang dan dicabutnya sanksi ekonomi bisa dikatakan tidak didukung oleh “faktor waktu, tempat dan orang” yang pas. Maka dari itu, negosiasi denuklirisasi AS-Korut tetap akan dimoderasi oleh dominasi Trump.
Akan tetapi yang patut dicermati adalah, Beijing belum melepaskan kendali dan intervensinya terhadap Korut. Dengan kata lain, Amerika dan PKT tengah beradu kekuatan atas masalah Korut —- Trump berniat menarik Korut menuju keterbukaan dan kebebasan, memastikan keamanan dan perdamaian dunia dan ketentraman rakyat Korut; sedangkan PKT berniat menarik Korut tetap menjadi diktator agar Korut bisa menjadi halangan strategis antara PKT dengan AS-Jepang-Korsel, melindungi eksistensi rezim RRT.
Apakah Kim Jong-Un benar-benar berniat bertobat dan menjadi murid Trump? Ataukah akan terus menjadi diktator yang tertutup mengikut PKT menjadi penipu internasional? Akan dapat diketahui pada pertemuan Trump dan Kim berikutnya. (SUD/WHS/asr)