KUALA LUMPUR – Malaysia telah membebaskan dari tahanan 11 etnis Muslim Uighur yang melarikan diri ke negara Asia Tenggara setelah lari dari tahanan Thailand tahun lalu, dan mengirim mereka ke Turki, pengacara mereka mengatakan pada 11 Oktober, telah mengabaikan permintaan Tiongkok untuk menyerahkan mereka ke Beijing.
Langkah ini kemungkinan akan membebani hubungan dengan Tiongkok, yang sudah diuji oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Sejak kemenangan pemilihannya yang menakjubkan pada bulan Mei, dia telah membatalkan lebih dari $20 milyar proyek yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok.
Jaksa di Malaysia yang mayoritas Muslim menghentikan tuduhan imigrasi terhadap orang-orang Uighur tersebut atas dasar kemanusiaan; mereka tiba di Turki setelah terbang keluar dari Kuala Lumpur pada 9 Oktober, kata pengacara mereka Fahmi Moin.
“Tuduhan tersebut ditarik karena para dewan jaksa agung setuju dengan (banding) dari pihak kami,” katanya kepada Reuters.
Departemen imigrasi Malaysia, kementerian dalam negeri, dan kantor jaksa agung tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar; kementerian luar negeri Tiongkok juga tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar.
Orang-orang tersebut telah ditahan dan didakwa secara ilegal memasuki Malaysia setelah keberanian mereka melarikan diri November lalu, di mana mereka melubangi dinding penjara dan menggunakan selimut sebagai tangga.
Pada bulan Februari, Reuters melaporkan bahwa Malaysia berada di bawah tekanan besar dari Tiongkok untuk mendeportasi para tahanan pria tersebut, mengutip sumber-sumber. Beberapa perutusan Barat berusaha menghalangi Malaysia untuk mengirim ke Tiongkok, yang telah dituduh menganiaya orang-orang Uighur.
Tiongkok diyakini sedang menahan hingga satu juta orang etnis Uighur, panel hak asasi manusia PBB mengatakan pada bulan Agustus. Orang-orang Uighur dan Muslim lainnya ditahan di fasilitas-fasilitas seperti kamp konsentrasi, yang dikenal sebagai pusat “pendidikan ulang”, dilarang menggunakan sapaan Islam, harus belajar bahasa Mandarin, dan juga menyanyikan lagu-lagu propaganda, menurut laporan Human Rights Watch.
Para anggota parlemen AS telah mengusulkan undang-undang pada 10 Oktober yang mendesak Presiden Donald Trump untuk mengutuk “pelanggaran berat” hak asasi manusia dan menekan penutupan “kamp pendidikan ulang” di Xinjiang. Usulan tersebut akan memberi sanksi pada Tiongkok yang mencakup pelarangan penjualan barang atau jasa buatan AS kepada agen-agen negara bagian Xinjiang dan pembatasan untuk entitas-entitas Tiongkok tertentu, termasuk biro kepolisian Xinjiang, dalam melakukan pembelian peralatan buatan AS yang kemungkinan digunakan untuk pengawasan.
Xinjiang telah diubah menjadi negara keamanan yang luas, penuh dengan kantor polisi, kamera-kamera jalanan, dan pos-pos pemeriksaan keamanan tempat kartu identitas elektronik dipindai. Rezim Tiongkok telah menggunakan alasan potensi ancaman Islam, “ekstremisme” dan kerusuhan etnis untuk menumpas kaum Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya, terutama di Xinjiang.
Selama bertahun-tahun, ratusan, mungkin ribuan, orang-orang Uighur telah melarikan diri dari kerusuhan dengan melakukan perjalanan secara sembunyi-sembunyi melalui Asia Tenggara ke Turki.
Orang-orang Uighur di Malaysia adalah bagian dari kelompok lebih dari 200 yang ditahan di Thailand pada tahun 2014. Meskipun mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai warga negara Turki dan telah meminta untuk dikirim ke Turki, lebih dari 100 orang dipaksa kembali ke Tiongkok pada bulan Juli 2015, yang memicu kecaman internasional.
Pada bulan Februari, Malaysia mengatakan sedang mempertimbangkan permintaan Tiongkok untuk mengekstradisi 11 orang tersebut. Di masa lalu, telah mengirim beberapa orang Uighur yang ditahan ke Tiongkok.
Penahanan mereka terjadi ketika Malaysia semakin dekat dengan Tiongkok di bawah mantan Perdana Menteri Najib Razak. Namun Mahathir yang berusia 93 tahun, dalam tugas keduanya sebagai perdana menteri, telah vokal dalam mendukung komunitas Muslim melawan penganiayaan. (ran)
Rekomendasi video:
Agama Dipaksa Tunduk kepada Komunis Tiongkok, Apa Jadinya?