Mengupas Teknik Cuci Otak ‘Propaganda Rusia’ Serta Suburnya Hoaks dan Narasi Kebencian

Epochtimes.id- Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut adanya praktek ‘propaganda rusia’ atau Firehose of Falsehood di Pilpres 2019. Saat berpidato di Surabaya, Jokowi menyebutkan maraknya semburan-semburan dusta dan hoaks tersebut harus segera diluruskan. Jokowi tak menyebut secara rinci pihak mana yang menggunakan teknik ‘propaganda rusia.’

Lalu seperti apa propaganda Rusia?

Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Arbi Sanit menuturkan bahwa teknik propaganda rusia bertujuan mencuci otak masyarakat dengan kebohongan berulang-ulang hingga menjadi sebuah kebenaran bagi kepentingan politik tertentu.

Hal demikian disampaikannya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dengan tema “Propaganda Rusia Ancaman Bagi Demokrasi Kita?” yang dilangsungkan di Gado-Gado Boplo, Jakarta Selatan, Sabtu, (9/2/2019).

Menurut Arbi, teknik propaganda Rusia dimulai dengan percobaan terhadap anjing. Hingga akhirnya, anjing dilemparkan sesuatu, disuruh ambil, kalau diambil, dikasih makanan, diulang terus, sehingga akhirnya anjing tersebut hafal apa yang dia harus lakukan.

Teknik ini, bagi Arbi, bukan sesuatu yang baru ditemukan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Dia mengatakan, propaganda tersebut sudah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak zaman orde lama untuk mempengaruhi kepemimpinan Presiden Soekarno.

Menurut Arbi, propaganda ini pada zaman dulu dikenal saat Aidit PKI menggunakannya dengan membentuk divisinya Agitprop atau agitasi dan propaganda.

Arbi menjelaskan, propaganda itu dikenal sejak masa Pavlov di Rusia. Intinya adalah untuk mencuci otak. “Otak rakyat, pemilih dicuci. Caranya, dengan melancarkan kebohongan berkali-kali dan selalu diulang. Akhirnya menjadi kebenaran,” ujarnya.

Arbi menilai operasi propaganda Rusia ini adalah skenario untuk menggagalkan program kampanye yang diusung KPU. Dia menambahkan, seharusnya kampanye itu normal memberikan penjelasan dari kandidat/kontestan yang sejatinay sebagai fungsi kampanye.

Arbi mengkritik kampanye Pilpres yang berlangsung dalam waktu lama dan panjang.  Sehingga, kata Arbi, kandidat harus banyak cara dan akal untuk mengisinya.

Menurut dia, tak semua orang memahami program yang maksud sebagai rencana-rencana terinci dan dengan angka-angka. Dia menambahkan, semuanya untuk golongan menengah ke atas.

“Bagaimana untuk golongan yang bawah? Ya propaganda,” jelas Arbi.

Terkait Pilpres 2019, secara netral kedua pasangan capres dinilai sama-sama menggunakan propaganda untuk meraih kemenangan Pilpres. Menurut Arbi, kedua pihak menggunakan pengulangan-pengulangan (informasi) serta diputar secara terus menerus. Akan tetapi, kedua pihak memilih dengan tema-tema berbeda.

“Nomor pertama adalah apa yang dikerjakan selama ini, disampaikan. Yang nomor dua, apa yang dipikirkan dan dipersepsikannya atau apa yang dimaknainya itu yang disampaikan,” tegas Arbi.

Sementara itu, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menegaskan propaganda model Rusia berpotensi menghancurkan keutuhan dan keberlangsungan demokrasi politik di Indonesia.

Menurut dia,  Firehose of Falsehood menggiring pemilu dipandang sebagai perang dan bukan konstestasi misi, narasi dan progam. Dampaknya, berpotensi melahirkan kekerasan horizontal dengan memecah belah masyarakat dengan jahat.

Parahnya lagi, kata Boni, pendekatan propaganda Rusia menghancurkan seluruh tradisi dan budaya politik Indonesia yang berbasis kekeluargaan. Indikasi propaganda dimulai maraknya hoaks yang berseliweran dan dahsyatnya narasi kebencian berbalut politik identitas yang menandakan bahwa propaganda Rusia telah diadopsi dalam politik elektoral di Indonesia.

Dia menegaskan, demokrasi Pancasila merupakan kombinasi antara demokrasi modern dan keluhuran nilai dan otentisitas bangsa Indonesia yang mengedepankan tradisi kekeluargaan dan persaudaan di tengah perbedaan atau keragaman.

“Nah, tehnik propaganda Rusia ini yang menghancurkan prinsip dan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang luhur dan baik ini,” papar Boni.

Lebih menyedihkan lagi, tegas Boni, kepemimpinan politik yang dilahirkan dari tehnik propaganda Rusia dengan penggunaan kebohongan yang berulang dan kebencian, maka hasilnya akan melahirkan rezim kebohongan.

“Untuk itu, kami mengimbau agar model propaganda ini segera dihentikan,” pungkas Boni. (asr)