Wang Jingwen-EpochWeekly
Akhir tahun 2018 satu persatu pemandangan “Paris lautan api” menggemparkan dunia, massa warga Paris mengenakan rompi kuning berunjuk rasa di ibukota tersebut, mereka melawan polisi dan tentara, di saat yang sama juga menghancurkan toko dan membakar mobil, bahkan memanjat serta merusak Monumen Arc de Triomphe. Selama dua bulan terakhir, konflik kekerasan yang terjadi dalam skala besar dan kecil seolah tak terhitung jumlahnya.
Bagaimana Presiden Prancis Emmanuel Macron menanganinya? Awalnya ia mengalah. Akhir Desember lalu, ia menyampaikan pidato televisi yang menyetujui tuntutan utama “rompi kuning”, yakni membatalkan pajak bahan bakar, awalnya mengira akan dapat meredakan aksi unjuk rasa, tak disangka justru semakin memanas.
‘Jika Anda bisa berjanji tidak menaikkan pajak bahan bakar, berarti bisa pula mengurangi pajak pendapatan, jika Anda telah setuju mengurangi pajak pendapatan, Anda juga harus setuju menambah biaya anggaran pengobatan warga’, satu persatu tuntutan bermunculan seolah tanpa akhir.
Menyaksikan ‘luapan amarah revolusi’ kian hari kian marak, kian membara dan kian anarkis, Macron pun kehilangan kesabaran, akhirnya pada 13 Januari 2019 ia memilih untuk mengadakan serangan balik yang menyeluruh.
“Surat Kepada Seluruh Rekan Setanah Air” sepanjang 2.335 kata itu, seperti secara resmi mengumumkan perang terhadap “gerakan rompi kuning”. Macron meminta warga untuk memahami “situasi” terlebih dahulu, dengan tegas ia berkata, “Kita negara Prancis, adalah negara dengan kesejahteraan terbaik di seluruh dunia, pembagian paling merata, juga negara yang paling demokratis, dalam takdir setiap orang dari kita juga mencakup takdir orang lain, jadi suara paling keras yang Anda dengar, tidak selalu mewakili suara terbanyak.”
Kemudian Macron mengemukakan 35 pertanyaan terkait empat topik utama.
Keempat topik utama itu adalah:
1-Pungutan pajak dan anggaran belanja pemerintah;
2- Pembenahan struktur instansi negara dan struktur pemerintahan;
3- Kebijakan transformasi energi nasional;
4- Mekanisme berjalannya demokrasi dan introspeksi diri setiap warga.
Misalnya Macron bertanya, menurut Anda, pungutan pajak seperti apa yang paling efektif? Menurut Anda pajak apa yang paling diinginkan untuk dikurangi? Menurut Anda bagaimana menyusun struktur negara ini agar paling efektif? Anda bisa memberikan usulan apa untuk memperbaiki instansi di wilayah miskin? Transformasi energi membutuhkan biaya, menurut Anda sebaiknya biaya ini diambil dari mana? Apakah dari pungutan pajak? Lalu kepada siapa pajak itu dibebankan yang menurut Anda paling sesuai? Berapa besar persentase wakil dalam mekanisme legislatif demokasi yang menurut Anda paling baik? Apa jalur negosiasi yang terbaik antara pemerintah dengan rakyat?
Sebenarnya Macron sangat memahami, “surat kepada seluruh rekan setanah-air” ini sama sekali bukan ditujukan kepada kaum rompi kuning, mereka sama sekali tidak bisa membacanya, ia menulisnya bagi orang yang mendukung “rompi kuning”.
Maka Macron pun menggelar suatu debat nasional atas 35 pertanyaan tersebut, untuk mendapatkan suatu cara yang dewasa, rasional, dan bisa diterapkan. Tiga syarat utama debat nasional adalah: dengan tegas menolak segala bentuk kekerasan; sesuai dengan logika; saya akan mempertahankan pandangan politik sejalan dengan saat kampanye.
Apa yang dimaksud dengan sesuai dengan logika? Demokrasi bukan berarti apa pun yang diinginkan rakyat harus dipenuhi, seperti dalam pengurangan pajak, tapi di sisi lain menuntut pemerintah agar meningkatkan kesejahteraan, dari mana asalnya uang pemerintah? Apakah uang akan jatuh dari langit? Ini jelas adalah tuntutan yang tidak sesuai logika.
Ada pula yang mengatakan, naikkan saja pajak bagi orang kaya, namun Prancis sebelumnya adalah negara makmur dengan pungutan pajak tertinggi pada orang kaya, apakah ini bisa menyelesaikan masalah? Pajak orang kaya paling tinggi, akibatnya ekonomi tidak maju malah mundur, kehidupan rakyat biasa akan semakin menderita.
Sebenarnya seperangkat teori sosialisme ini seolah telah menekan orang kaya agar kaum miskin dapat hidup lebih baik, itu hanya khayalan semata, faktanya adalah, baik Prancis maupun Venezuela, akibat kebijakan yang tidak adil seperti ini, telah mengakibatkan perekonomian negara negara itu merosot.
Maka, tanggal 13 Januari lalu Macron pun menyampaikan “surat kepada seluruh rekan setanah air”, dan pada tanggal 15 Januari Macron pergi ke sebuah kota kecil di Provinsi Normandia, yang berjarak 130 km dari kota Paris, kota kecil ini hanya berpenduduk 4.000 orang, tapi sebanyak 90% dari warga kota ini harus mengemudi mobil ke kota Paris setiap hari untuk bekerja, merupakan kota kecil yang mengalami dampak terbesar akibat kenaikan pajak bahan bakar.
Waktu itu disaat gerakan rompi kuning Meletus, warga kota itu kecuali anak-anak yang belum bisa berbicara, hampir 100% warganya merespon, adalah kota yang paling keras bersuara “anti-Macron”. Namun demikian pilihan medan pertempuran pertama Macron jatuh pada tempat ini, jelas ia memilih tulang yang paling keras untuk dikunyah.
Hari itu, Macron mengundang 612 orang walikota dan kepala desa dari seluruh Provinsi Normandia ke satu-satunya pusat olahraga di kota ini, orang-orang ini jelas bukan dari kalangan rompi kuning, tapi mayoritas dari mereka adalah pendukung “rompi kuning”. Karena gerakan rompi kuning adalah suatu gerakan tipikal yang dikoordinir lewat internet tanpa pemimpin, non-partai, dan tidak terorganisir, maka Macron pun sulit untuk menemukan tokoh rompi kuning untuk mengadakan rapat. Oleh sebab itu Macron terlebih dahulu menemukan pendukung “rompi kuning”, berharap lewat mereka dapat melemahkan gerakan rompi kuning.
Hari itu, Macron seorang diri masuk ke dalam ruangan, bahkan seorang pengawal pun tidak dibawanya, dan yang menyambutnya adalah 612 orang walikota dan kepala desa yang bersikap sangat antipati, pusat olahraga yang kecil itu dipenuhi atmosfir seolah sedingin kutub utara, hanya media massa dari seluruh negeri yang meliput peristiwa tersebut terus memancarkan kilatan cahaya lensa.
Macron terlebih dulu meminta para walikota dan kepala desa menyampaikan pernyataan mereka, “Saya lebih senang Anda semua dengan cara yang paling lugas, menyampaikan permasalahan Anda, saya berharap mendengarkan keluhan serta pengaduan kalian, bicarakan pandangan kongkrit Anda semua terhadap krisis ini, dan cara menyelesaikan masalah ini bersama, karena kita semua adalah perwakilan dari aspirasi rakyat negeri ini, adalah orang-orang yang dipilih langsung dengan suara rakyat dan nilai demokrasi.”
Setelah 5 menit pembukaan, Macron dengan rendah hati membuat catatan, di wajahnya terukir dengan empat kata: “Mendengarkan dengan rendah hati”. Lalu Macron menjawab satu persatu pertanyaan. Debat itu berlangsung dari pukul 3 sore hingga pukul 10 malam. Selama perdebatan yang berlangsung 7 jam itu, tidak sekali pun Macron mengelak satu pertanyaan, disaat selesai, seluruh peserta 612 orang perwakilan yang awalnya bersikap dingin padanya, semua berdiri dan memberi tepuk tangan yang lama, sebagai wujud dukungan terhadap presiden yang telah membentuk nilai-nilai demokrasi, membuka upaya komunikasi antara pemerintah dengan rakyat.
Media massa berkomentar, tanggal 15 Januari 2019, Macron telah sepenuhnya mengubah gaya pemerintah yang tidak bersedia berkomunikasi dengan kaum bawah, menjadi seorang “presiden baru” yang dekat pada rakyat. Tidak ada asisten, tidak ada pengawal, sepenuhnya mengandalkan mulut sendiri dan sebuah bolpen, melakukan komunikasi dengan kalangan dasar, kemampuannya yang mumpuni, setiap pertanyaan dijawab, dan tidak ada pantangan, membuat jutaan warga Prancis yang menyaksikan siaran langsung itu mendapat kesan yang mendalam.
Perlu diketahui, sebelum perdebatan itu dibuka, sebanyak 68% warga menentang Macron, dan balasan Macron, bukan melawan kekerasan dengan kekerasan, melainkan dengan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya, ia membuat masyarakat memahami, saat ini masalah Prancis bukanlah hal yang bisa diselesaikan dengan rompi kuning, sebaliknya, rompi kuning telah menjadi hambatan terbesar untuk “menyelesaikan masalah”.
Terakhir Macron mengatakan, pada saat negara kita ini sudah hampir menggila, hentikanlah kekerasan yang tak berkesudahan dan pengrusakan yang semena-mena itu! Mari kita duduk bersama, kembali ke nilai-nilai dasar demokrasi. Demokrasi, adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah, bukan dengan kekerasan.
Semoga pernyataan Macron ini, didengar oleh Presiden Venezuela Maduro, dan didengar oleh penguasa Parta Komunis Tiongkok : Demokrasi, adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah, bukan dengan kekerasan dan penindasan. (SUD/WHS/asr)