Zhou Xiaohui
Bagi Komunis Tiongkok, bulan Juni ditakdirkan merupakan bulan yang tidak tenang. Tanggal 10 Juni, untuk menentang RUU Ekstradisi’ yang akan diloloskan oleh Dewan Legislatif Hongkong, lebih dari 1 juta warga Hongkong turun ke jalan pada 9 Juni. Warga mengatakan ‘tidak’ kepada penguasa Komunis Tiongkok dan pemerintah Hongkong dengan tindakan nyata. Pawai akbar itu menggemparkan dunia, juga sangat mengejutkan petinggi di Beijing.
Tidak diragukan, waktu yang tersisa bagi Xi Jinping untuk membuat keputusan tidak banyak. Karena anggota legislatif yang pro-Komunis Tiongkok lebih mayoritas, jika petinggi Komunis Tiongkok memaksa diloloskan, kecuali jika ada sejumlah anggota legislatif memboikot, jika tidak maka kemungkinan diloloskan sangat besar.
Jika diloloskan itu berarti Komunis Tiongkok bersedia menanggung segala konsekuensi yang akan terjadi di kemudian hari, seperti sejumlah investasi di Hongkong akan mengalir keluar, konglomerat dan kalangan atas Hongkong akan bermigrasi ke luar negeri. Dampak lainnya mata uang Hongkong akan anjlok, negara Barat akan mengucilkan Hongkong, dan bahkan akan mengubah posisi Hongkong.
Pada 26 April lalu, hedge fund AS Hayman Capital’s Kyle Bass menulis sepucuk surat kepada para investornya yang berjudul “The Quiet Panic in Hong Kong”.
Di dalam surat itu ditulis, bunga mengambang pada kredit beragunan meningkat tajam, selisih bunga jangka pendek di Hongkong dan AS, serta ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok yang terus memburuk, telah mengakibatkan sistem nilai tukar di Hongkong dalam keadaan bahaya, ia mendeskripsikan “Hongkong tengah berada di atas bom waktu finansial yang terbesar sepanjang sejarah”.
Hongkong seperti ini jelas sudah bukan Pelabuhan dalam arti bahasa Kantonis yakni Kong dan ‘Harum dalam Bahasa Kantonis yang disebut Hong. Hongkong tengah berada di persimpangan antara hidup dan mati.
Di sisi lain, berdasarkan pertimbangan akibat yang tidak mampu ditanggung, Komunis Tiongkok akan memerintahkan pemerintah Hongkong menunda diloloskannya peraturan tersebut. Walaupun harus menanggung malu, tapi setidaknya bisa bernafas lega sesaat, mengurangi dampak kaburnya kaum talenta Hongkong, merosotnya ekonomi, dan hancurnya mata uang Hongkong. Bagaimana Xi Jinping memutuskan, akan berkaitan dengan masa depan Komunis Tiongkok dan nasib dirinya sendiri.
Yang juga menyangkut nasib Komunis Tiongkok dan individu, Xi Jinping pada KTT G20 di Jepang akhir bulan Juni mendatang, apakah akan meredakan perselisihan masalah perdagangan AS-Tiongkok lewat “pertemuan Trump dan Xi”. Pada 7 Juni, saat berpidato di Rusia, Xi Jinping secara terbuka menyebut Trump adalah ‘temannya’, yang berarti melontarkan sinyal positif kepada pihak AS.
Pada 9 Juni, Menteri Keuangan AS Mnuchin kepada CNBC juga menyatakan, pertemuan Trump dan Xi kali ini akan berupaya memastikan apakah Xi Jinping bersedia menuju “ke arah yang benar” dalam suatu kesepakatan, untuk membangun kembali hubungan dagang dan ekonomi AS dan Tiongkok. Jika pihak Tiongkok tidak mau maju terus, maka Presiden Trump akan sangat senang memberlakukan bea masuk, demi menyeimbangkan ulang hubungan dagang AS-Tiongkok.
Akan tetapi, pada 10 Juni, juru bicara Kemenlu Tiongkok pada konferensi pers tidak secara jelas memastikan akan digelarnya “pertemuan Trump dan Xi”, hanya menyatakan “pihak AS berkali-kali menyatakan berharap dapat mengatur pertemuan ini”.
Pernyataan ini sepertinya menunjukkan, petinggi Komunis Tiongkok sampai Xi Jinping, mungkin karena tekanan dari AS, atau karena konflik internal yang sengit, belum bisa memastikan pengaturan untuk pertemuan tersebut.
Bisa dikatakan, jika Xi Jinping menghadiri KTT G20, interaksi dengan Trump hanya ada dua kemungkinan. Pertama adalah pertemuan tidak resmi sepintas, tidak membicarakan masalah perdagangan, dan sikap seperti ini akan menyampaikan pesan apa terhadap AS, sudah bisa ditebak. Maka diberlakukannya bea masuk bagi produk dari Tiongkok senilai USD 300 milyar akan segera diwujudkan.
Kemungkinan kedua adalah pertemuan resmi, kedua belah pihak akan mengusung masalah dagang ke meja perundingan. Janji apa pun yang diucapkan Xi Jinping akan dipublikasikan. Jika Beijing tidak mampu memenuhi tuntutan AS berupa larangan memaksakan pengalihan teknologi, larangan men-subsidi BUMN, membebaskan penggunaan internet di Tiongkok dan lain-lain, maka pertemuan kedua belah pihak akan berakhir buruk. Pemberlakuan bea masuk AS terhadap produk Tiongkok senilai USD 300 milyar akan segera terjadi, ekonomi Tiongkok yang sudah tidak begitu menggembirakan akan semakin terpuruk.
Data menunjukkan, di tahun 2018, perusahaan swasta yang menopang perekonomian Tiongkok dengan laba total 1,71 triliun, tapi asset bersihnya justru menyusut 1,7 triliun, laba yang diinvestasikan kembali mencapai -199,5%.
Ini berarti di tahun 2018 perusahaan swasta tidak hanya tidak menempatkan sepeser pun laba untuk diinvestasikan pada produksi kembali. Melainkan memilih untuk menghentikan perusahaan atau membiarkan penyusutan asset. Januari hingga April tahun ini, laba perusahaan swasta yang diinvestasikan kembali terus menurun hingga mencapai taraf -258,3%.
Sedangkan perusahaan investasi asing yang banyak berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Tiongkok, di tahun 2018 juga mencatat laba 1,68 trilyun tapi asset bersih justru menyusut 26,7 milyar dan laba yang diinvestasikan kembali adalah -101.6%.
Januari hingga April tahun ini, terus menurun hingga -103%. Ini persis merefleksikan kondisi terkini percepatan hengkangnya perusahaan asing.
Tanpa adanya investasi ulang dari perusahaan swasta dan perusahaan asing pada perekonomian Tiongkok, dan hanya mengandalkan kebutuhan dalam negeri saja untuk menggairahkan ekonomi maka hanya akan menjadi cerita dongeng semata, karena akibat deraan terus menerus oleh Komunis Tiongkok. Uang milik rakyat banyak telah tertahan di sektor properti, sama sekali tidak ada lagi uang untuk berkonsumsi. Perkembangan pesat dari belanja produk murah Pinduoduo e-commerce Platform di dalam negeri adalah refleksinya.
Dampak dengan memaksakan meloloskan peraturan dan menolak tuntutan Trump pada KTT G20 di akhir Juni, Komunis Tiongkok dan Xi Jinping tidak akan mampu menanggungnya, apalagi jika di masa mendatang Xi Jinping terus mengarah pada jalan ini, maka hanya akan menuju jalan buntu.
Oleh karena itu, dua peristiwa besar di bulan Juni ini akan memberikan kesempatan pada Xi Jinping untuk menentukan pilihan yang tepat, mungkin dengan demikian akan memperoleh peluang eksis. (SUD/WHS/asr)
Pada 9 Juni 2019, lebih dari satu juta orang di Hong Kong turun ke jalan mereka menentang keinginan Pemerintah Hong Kong meloloskan RUU Ekstradisi. (FOTO : Anthony Kwan/Getty Images)