Frank Fang – The Epochtimes
Pihak berwenang di Tiongkok daratan mulai menahan netizen Tiongkok yang menyatakan dukungan di dunia untuk aksi protes Hong Kong terhadap RUU Ekstradisi pro Komunis Tiongkok. Ini dikarenakan demonstrasi yang terus berlangsung di kota itu telah menarik perhatian masyarakat dunia.
Banyak warga Hongkong khawatir jika RUU itu disahkan, Beijing berpotensi menekan pemerintah Hong Kong untuk menyerahkan warga negara dari setiap kewarganegaraan untuk menghadapi di bawah persidangan pengadilan rezim Komunis Tiongkok dengan tuduhan palsu.
Mereka juga menganggap tindakan itu sebagai bukti lebih lanjut dari Beijing yang mengikis otonomi Hong Kong sejak wilayah tersebut dikembalikan dari Inggris ke pemerintahan Komunis Tiongkok pada tahun 1997.
Ada dua aksi protes RUU anti-ekstradisi di Hong Kong — pawai 9 Juni yang diikuti 1,03 juta orang dan 16 Juni yang dihadiri oleh 2 juta orang yang menyerukan penarikan penuh undang-undang itu setelah Ketua Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mengumumkan bahwa RUU itu akan ditangguhkan tanpa batas waktu.
Pada bulan Februari, pemerintah Hong Kong pertama kali mengusulkan undang-undang, yang akan memungkinkan Kepala Eksekutif – pejabat tinggi kota – untuk menandatangani permintaan ekstradisi, termasuk dari Tiongkok daratan tanpa persetujuan dari legislatif.
Sejak aksi protes massa dimulai, Komunis Tiongkok telah memberlakukan penguncian informasi untuk mencegah warganya menemukan aksi ketidakpuasan warga Hongkong.
Dalam beberapa hari terakhir, beberapa aktivis HAM di Tiongkok telah didatangi oleh polisi Komunis Tiongkok setelah mereka berkomentar di media sosial tentang RUU ekstradisi sebagaimana dilaporkan pada 24 Juni oleh Radio Free Asia -RFA. Beberapa diantara mereka bahkan telah ditahan.
Menurut RFA, Wei Xiaobing, seorang aktivis HAM yang bekerja di Kota Huzhou di provinsi Zhejiang, baru-baru ini dipanggil oleh polisi setempat dan ditahan selama 15 hari karena ia memposting artikel online untuk mendukung tuntutan warga Hongkong atas penarikan RUU Ekstradisi.
Seorang aktivis lain, Hu Jiawei dari Kota Zhuzhou di Provinsi Hunan, juga dibawa ke kantor polisi setempat.
Menurut RFA, Hu diperingatkan untuk tidak mempublikasikan lebih banyak artikel secara online atau memposting ulang apa pun tentang aksi protes Hong Kong atau dia akan beresiko “benar-benar” ditangani.
Ketika dihubungi oleh RFA pada 24 Juni, Hu mengatakan bahwa dia sekarang tidak dapat berbicara karena dia berada di dalam kantor polisi.
Pei Li, seorang aktivis hak asasi dari Provinsi Sichuan, mengatakan bahwa polisi keamanan negara setempat telah menelepon untuk memperingatkannya agar tidak memposting ulang artikel lagi tentang protes Hong Kong. Dia menulis tentang kejadian itu di sebuah unggahan Twitter pada 21 Juni.
Pei menambahkan bahwa petugas mengancam bahwa dia akan dikenai “penghilangan paksa.” Artinya, biasanya polisi Komunis Tiongkok secara paksa membawa seseorang keluar dari kota kelahirannya untuk jangka waktu tertentu.
Tindakan ini merupakan beberapa teknik lazim yang digunakan oleh pejabat Komunis Tiongkok untuk membungkam para pembangkang dan pengkritik terhadap Komunis Tiongkok.
Kemudian, dalam cuitan di Twitter secara terpisah, Pei menulis: “Saya yakin akan segera kehilangan kebebasan saya. Jiayou, Hong Kong. “
Sejak itu, Pei telah berhenti mengupdate cuitan di akun Twitter-nya dan tidak dapat dihubungi oleh RFA.
Seorang netizen dengan nama keluarga Ou mengatakan kepada RFA bahwa upaya Komunis Tiongkok bertujuan untuk membungkam netizen tidak terbatas pada area tertentu di Tiongkok.
Sebaliknya, Ou mengatakan dia telah membaca informasi online tentang banyak netizen di seluruh Tiongkok yang telah dipanggil, diperingatkan, atau ditahan oleh polisi setempat karena membuat ulang gambar, artikel, atau video yang berkaitan dengan aksi protes di Hong Kong.
Seorang netizen yang tidak dikenal berbagi info dengan RFA bahwa kata-kata “Hong Kong” dalam bahasa mandarin “Xiang Kang” telah menjadi istilah sensitif yang disensor oleh pihak Komunis Tiongkok. Di aplikasi perpesanan populer WeChat, sebutan “Xiang Kang” telah mengakibatkan beberapa chatroom grup ditangguhkan.
Netizen juga melaporkan tidak dapat mengirim gambar dan video yang terkait dengan Hong Kong di berbagai platform media sosial. Media asing yang beroperasi di Tiongkok juga menjadi sasaran sensor.
Menurut laporan 13 Juni oleh surat kabar harian Taiwan Liberty Times dan siaran Jepang NHK di Tiongkok memutus sinyal transmisi secara tak terduga, sementara melaporkan pertikaian antara pengunjuk rasa dan polisi di Hong Kong pada 12 Juni.
Komentator politik yang berbasis di Beijing, Zhang Lifan, dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan Voice of America, menjelaskan mengapa Komunis Tiongkok mencegah warganya untuk belajar tentang aksi protes.
Dia mengatakan rejim Komunis Tiongkok khawatir terhadap aksi protes dapat memiliki efek domino karena dianggap mendorong rakyat Tiongkok untuk menuntut lebih banyak kebebasan di negeri Tiongkok. (asr)
Ikuti Frank di Twitter: @HwaiDer