ETIndonesia — Sedikitnya 544 warga sipil turut terbunuh, dan lebih dari 2.000 orang terluka sejak serangan militer yang dipimpin Rusia terhadap benteng pemberontak terakhir di Suriah barat laut. Serangan dimulai dua bulan lalu, kata kelompok-kelompok hak asasi dan penyelamat pada 6 Juli 2019.
Jet Rusia bergabung dengan tentara Suriah pada 26 April dalam serangan terbesar terhadap bagian-bagian provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak dan berdampingan dengan provinsi Hama utara. Dalam eskalasi terbesar dalam perang antara Presiden Suriah Bashar al Assad dan musuh-musuhnya sejak musim panas lalu.
Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SNHR), yang memantau korban dan memberi pengarahan kepada berbagai lembaga PBB, mengatakan ada 544 warga sipil tewas dalam ratusan serangan yang dilakukan oleh jet Rusia dan tentara Suriah. Korban termasuk 130 anak-anak. Sebanyak 2.117 orang lainnya terluka.
“Militer Rusia dan sekutu Suriahnya sengaja menargetkan warga sipil dengan sejumlah fasilitas medis yang dibom,” kata Fadel Abdul Ghany, ketua SNHR, kepada Reuters.
Rusia dan sekutu Suriahnya menyangkal jet-jet mereka mengenai wilayah sipil tanpa pandang bulu dengan amunisi beruntun dan senjata pembakar, yang menurut penduduk di daerah oposisi dimaksudkan untuk melumpuhkan kehidupan sehari-hari.
Moskow mengatakan pasukannya dan tentara Suriah menangkis serangan teror oleh para teroris Al Qaeda yang menurut mereka menghantam penduduk, daerah-daerah yang dikuasai pemerintah, dan menuduh pemberontak merusak perjanjian gencatan senjata yang disepakati tahun lalu antara Turki dan Rusia.
Bulan lalu, Human Rights Watch yang bermarkas di AS mengatakan operasi militer gabungan Rusia-Suriah telah menggunakan munisi tandan dan senjata pembakar dalam serangan itu, bersama dengan senjata peledak besar yang dijatuhkan dari udara dengan efek luas di wilayah-wilayah sipil berpenduduk, berdasarkan laporan oleh para responden pertama dan saksi.
Penduduk dan penyelamat mengatakan operasi militer dua bulan itu telah meninggalkan puluhan desa dan kota menjadi reruntuhan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, setidaknya 300.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka demi keamanan, pada daerah yang lebih dekat ke perbatasan dengan Turki.
“Seluruh desa dan kota telah dikosongkan,” kata juru bicara Pertahanan Sipil yang berpusat di Idlib, Ahmad al Sheikho.
Dia mengatakan itu adalah operasi militer yang paling merusak terhadap provinsi Idlib sejak sepenuhnya jatuh ke tangan militer oposisi pada pertengahan 2015.
Pada 5 Juli, 15 orang, termasuk anak-anak, tewas di desa Mhambil di provinsi Idlib barat setelah helikopter tentara Suriah menjatuhkan bom barel pada sejumlah warga sipil, kata kelompok pertahanan sipil dan saksi mata.
Kepala 11 organisasi kemanusiaan global utama memperingatkan pada akhir bulan lalu bahwa Idlib berada di ambang bencana, dengan 3 juta jiwa warga sipil terancam, termasuk 1 juta anak-anak.
“Terlalu banyak yang telah mati. Dan bahkan perang memiliki undang-undang,” mereka menyatakan, dalam menanggapi berbagai serangan oleh pasukan pemerintah dan sekutu mereka di rumah sakit, sekolah, dan pasar.
Pada 4 Juli, serangan udara ke rumah sakit Kafr Nabl menjadikannya fasilitas ke-30 yang dibom selama operasi militer. Sehingga ratusan ribu orang tidak memiliki akses medis, menurut kelompok bantuan.
“Membom fasilitas medis ini dan menghancurkan layanan dalam waktu kurang dari dua bulan bukanlah kecelakaan. Mari kita sebut ini apa adanya, kejahatan perang,” Dr. Khaula Sawah, wakil presiden Serikat Perawatan Medis dan Organisasi Bantuan yang berbasis di AS, yang menyediakan bantuan di barat laut, mengatakan dalam sebuah pernyataan. (Reuters/The Epoch Times/waa)
Video Pilihan :
Simak Juga :