EtIndonesia- Sejak Sabtu (10/8/2019), aksi protes menolak RUU Ekstradisi ke Tiongkok memasuki akhir pekan ke-sepuluh. Demonstran sempat terlibat bentrok dengan aparat kepolisian. Akan tetapi, masyarakat di Tiongkok melihat dengan versi yang sangat berbeda dari berbagai peristiwa di Hong Kong.
Seperti dilaporkan oleh The Epochtimes, seorang wanita yang tersiar kabar sebagai petugas medis ditembak di bagian mata dengan bean bag round — kantong kain kecil yang berisi pellet. Bean bag round juga ditemukan di kacamatanya. Insiden itu terjadi ketika bentrokan antara demonstran Hong Kong dan polisi pada (11/8/2019).
Segera setelah itu, media pemerintah pro Komunis Tiongkok, mulai menyebarkan informasi palsu tentang insiden tersebut. Tujuannya untuk memicu penentangan warga Tiongkok daratan terhadap demonstran.
Sementara itu, polisi Hong Kong secara diam-diam membenarkan, bahwa mereka telah meniru para demonstran untuk berbaur dan melakukan penangkapan secara mendadak.
Sedangkan media Inggris, The Guardian, melaporkan bahwa, kini senjata baru Beijing untuk meredam protes Hong Kong adalah dengan berita palsu. Ketika protes pada akhir pekan lalu, media pro Komunis Tiongkok, People’s Daily memposting sebuah artikel di layanan medsos Tiongkok, WeChat yang mengatakan elemen dari “semua bagian masyarakat Hong Kong” menyerukan “kekerasan untuk berhenti.”
Sedangkan, ketika demonstrasi berlangsung damai di bandara Hong Kong, media pemerintah Komunis Tiongkok memposting video di Weibo tentang perselisihan antara demonstran dan seorang warga yang berteriak : “Kami hanya ingin Hong Kong aman”.
Laporan khusus lainnya tentang surat menyurat antara polisi Tiongkok dan Hong Kong yang mengapresiasi atas “keberanian besar” polisi Hong Kong – yang disebut sebagai target utama protes.
Pekan lalu, seorang jurnalis dengan kantor berita Xinhua melakukan perjalanan ke Hong Kong. Ia menggambarkan kota itu sebagai “Diselimuti teror hitam”.
Selama dua bulan terakhir, outlet media pemerintah daratan Tiongkok telah nyaris bungkam tentang aksi protes. Bahkan, menyensor rekaman demonstrasi yang mana secara aktif memicu berita, editorial, video dan diskusi online.
Fang Kecheng, professor di Chinese University of Hong Kong, yang berspesialisasi dalam komunikasi mengatakan kepada The Guardian, soal topik Hong Kong, media daratan tidak bisa dilihat sebagai produk jurnalisme. Fang Kecheng menjelaskan, laporan media-media ini murni sebagai propaganda, memangkas sebagian informasi, mendistorsi dan membesar-besarkannya.
Para pengamat mengatakan, media pemerintahan Komunis Tiongkok sengaja mengaburkan mengapa para pengunjukrasa berdemonstrasi selama dua bulan terakhir. Sebagai gantinya, berfokus pada bentrokan antara demonstran dan polisi. Media pemerintah Komunis Tiongkok, menggambarkan pria bersenjata yang telah menyerang para pengunjuk rasa sebagai “patriot”.
Seorang blogger di Weibo, yang meminta untuk mengidentifikasi dirinya hanya sebagai Z, dikutip The Guardian, telah mencoba untuk berbagi artikel yang menurutnya menunjukkan kejadian sebenarnya dari apa yang terjadi di Hong Kong. Unggahannya sering dihapus atau diblokir di WeChat atau Weibo. Sebuah artikel yang coba diedarkan bersama teman-temannya, tentang jadwal kegiatan di Hong Kong dan jawaban atas pertanyaan tentang aksi protes, akhirnya diblokir setelah 100.000 view.
Bloger ini mengatakan, alasan utama mengapa orang-orang Hong Kong menentang RUU ekstradisi, adalah ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan di daratan, jadi bagaimana pemerintah bisa membiarkan 1,4 miliar orang Tiongkok melihat fakta itu. Ia menilai, tindakan yang dilakukan orang-orang Hong Kong masuk akal dan dapat dimengerti.
Unggahan yang Menyesatkan Tembakan di Mata
Media Televisi CCTV, media penyiaran yang dikelola pemerintahan Komunis Tiongkok, memposting di akun resminya di Weibo, platform media sosial yang mirip Twitter, bahwa seorang pemrotes wanita terluka oleh sesama demonstran.
Saksi mata dan media Hong Kong sangat jelas mengatakan bahwa polisi yang menembak petugas medis itu. Tembakan itu mengenai sebelah matanya.
Sedangkan, dalam postingan 12 Agustus, CCTV menyebut orang yang dianggap sebagai “sesama pengunjuk rasa” bersama dengan foto yang menunjukkan lima warga Hongkong berpakaian hitam-hitam berdiri bersama-sama menghitung setumpuk uang. Foto lain menunjukkan dua pria yang berlatih menembakkan steel ball gun.
Sebagian besar pengunjuk rasa di Hong Kong menentang RUU ekstradisi yang kontroversial, mengenakan pakaian hitam. Adapun unggahan di medsos itu, bermaksud mengklaim bahwa pengunjuk rasa adalah massa bayaran. Sedangkan petugas medis wanita yang terluka, akibat tembakan steel ball gun pengunjuk rasa.
Kwong Chun-yu, seorang anggota parlemen Hong Kong, mengunggah di Facebook, bahwa pemrotes wanita itu terluka parah pada (11/8/2019) dan menjalani operasi darurat.
Pertanyaan Soal Tindakan Polisi
Halaman Facebook dari persatuan mahasiswa University of Hong Kong, menggunggah foto yang diambil di tempat kejadian. Statusnya menjelaskan bahwa seorang pemrotes muda ditahan oleh polisi pada 11 Agustus lalu.
Sementara tangannya diikat oleh polisi, petugas polisi lainnya membuka ransel pemrotes. Parahnya, polisi menempatkan tongkat bambu di dalamnya. Rekaman serupa juga telah beredar di internet Hong Kong. Polisi Hong Kong juga tampaknya berpakaian sebagai pengunjuk rasa. Pada malam 11 Agustus, media lokal menangkap adegan pria berpakaian hitam yang membantu polisi menahan para demonstran yang berkumpul di Causeway Bay.
Ketika wartawan di tempat kejadian bertanya tentang mereka, pria ini menjawab: “Cabang hubungan masyarakat departemen kepolisian akan menjawab Anda.” Pada konferensi pers 12 Agustus, Tang Ping-keung, wakil direktur kepolisian Hong Kong, mengatakan: “Petugas kepolisian berpura-pura menjadi tipe orang yang berbeda.”
Ketika didesak oleh jurnalis apakah petugas telah menyamar sebagai pengunjuk rasa, Tang menjawab: “Anda harus tahu satu hal, tidak mudah untuk menahan inti ekstrimis, pengunjuk rasa yang kejam.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa polisi telah melakukannya untuk menangkap demonstran yang kejam.
Tanggapan Rezim Komunis Tiongkok
Media yang dikontrol pemerintahan Komunis Tiongkok, meningkatkan retorika mereka pada 12 Agustus lalu. Laporan media-media ini, membela tindakan polisi selama akhir pekan dan menjelekkan para pemrotes.
Media pemerintah Xinhua, dalam komentarnya, menyebut pengunjuk rasa sebagai “perusuh” dan memohon penduduk setempat untuk menentang mereka. “Para perusuh sekali lagi mengepung kantor polisi,” demikian bunyi artikel itu.
Tulisan lainnya berbunyi : “Semua orang yang memiliki cinta sejati untuk Hong Kong tidak harus terus menanggung ini dalam kebisuan, tetapi harus berdiri untuk menghentikan penyebaran tumor ganas ini.”
Artikel itu tidak merujuk pada tindakan polisi pada malam 11 Agustus, termasuk menembakkan gas air mata di dalam stasiun kereta bawah tanah, menembakkan peluru karet dan bean bag round kepada pengunjuk rasa dari jarak dekat.
Komentar dari juru bicara Komunis Tiongkok, People’s Daily, mendorong warga Hongkong untuk fokus pada pengembangan ekonomi.
Karya tulis itu menyebut pemrotes sebagai “radikal” dan “kejam.” Laporan itu menuduh mereka menyabotase apa yang telah dicapai Hong Kong selama beberapa generasi. Laporan itu menghilangkan referensi untuk tindakan polisi dalam membubarkan para demonstran.
Sementara itu, kelompok HAM mengkritik taktik yang digunakan oleh kepolisian. Amnesty International pada 12 Agustus memperingatkan bahwa “pendekatan kepolisian dengan tangan berat hanya akan meningkatkan ketegangan dan memicu permusuhan, yang mengarah ke eskalasi keseluruhan situasi.”
Seorang pejabat Amnesty dalam sebuah pernyataan,mengatakan, polisi Hong Kong sekali lagi menggunakan gas air mata dan peluru karet dengan cara yang tidak memenuhi standar internasional.
Sedangkan, Tang Jingyuan, seorang komentator tentang Tiongkok yang berbasis di AS, mengatakan kepada The Epoch Times pada 12 Agustus, bahwa komentar hawkish Xinhua adalah upaya untuk memperingatkan warga Hongkong, bahwa rezim Komunis Tiongkok tidak takut untuk mengerahkan pasukan untuk mengakhiri perlawanan warga sipil. (asr)
Sumber : The Epochtimes, The Guardian
FOTO : Pada pukul 3:30 sore pada tanggal 14 Agustus 2019, situasi bandara Hong Kong. (Song Bilong / Epoch Times)