Associated Press/Reuters
Setidaknya 45 pengunjuk rasa ditembak mati oleh pasukan keamanan Irak pada Kamis 28 November. Tembak mati tersebut terjadi setelah demonstran membakar konsulat Iran pada malam sebelumnya. Pembakaran terjadi di kota suci Syiah di Irak, Najaf.
Pembakaran terjadi di tengah perlawanan dari rakyat Irak selama berbulan-bulan terhadap pemerintah yang didukung oleh Iran. Pembakaran tersebut digambarkan sebagai salah satu serangan terburuk yang menargetkan kepentingan Iran di negara itu, sejak aksi protes pertama kali meletus dua bulan lalu.
Tidak ada staf Iran yang terluka dalam serangan itu, karena mereka berhasil melarikan diri dari pintu belakang.
Kementerian luar negeri Iran mengutuk serangan konsulat itu. Pihak Iran menyerukan tanggapan “tanggung jawab” atas insiden dari pemerintah Irak seperti disampaikan oleh Abbas Mousavi, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, dalam pernyataan kepada kantor berita resmi IRNA Iran.
Aksi protes anti-pemerintah telah mengguncang Irak sejak 1 Oktober lalu, ketika ribuan orang-orang turun ke jalan-jalan di Baghdad dan daerah selatan yang didominasi aliran Syiah.
Gerakan yang sebagian besar tidak memiliki pemimpin itu, menuduh pemerintah Irak yang korup. Massa mengecam pengaruh rezim Iran yang semakin besar dalam urusan Irak.
Perdana menteri Irak, Adel Abdul Mahdi, sejauh ini menolak seruan untuk mundur. Itu terjadi setelah ia bertemu dengan politisi senior yang dihadiri oleh komandan Pasukan Pengawal Revolusi Iran Quds, unit elit yang mengarahkan sekutu milisinya ke luar negeri.
Pada Tahun 2007, Departemen Keuangan AS mengumumkan Pengawal Revolusi Iran Quds sebagai teroris dan menggambarkannya sebagai “lengan utama Iran untuk melaksanakan kebijakannya mendukung kelompok teroris dan pemberontak.”
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis awal bulan ini oleh Amerika Serikat, sekretaris pers Gedung Putih Stephanie Grisham mengutuk serangan Irak terhadap pengunjuk rasa dan media.
Grisham pada 11 November mengatakan, Amerika Serikat sangat prihatin dengan serangan secara terus-menerus terhadap demonstran, aktivis sipil, dan media, serta pembatasan akses internet, di Irak.
Grisham mengatakan, rakyat Irak tidak akan tinggal diam ketika rezim Iran menghabiskan sumber dayanya dan menggunakan kelompok-kelompok bersenjata serta sekutu politik untuk menghentikan mereka dari mengekspresikan pandangan mereka secara damai.
Sekretaris Gedung Putih itu mengatakan, meskipun menjadi sasaran kekerasan mematikan dan menolak akses ke Internet, rakyat Irak telah membuat suara mereka didengar, menyerukan pemilu dan mereformasi pemilu.
Grisham menegaskan, Amerika Serikat bergabung dengan Misi Bantuan PBB ke Irak dalam menyerukan pemerintah Irak untuk menghentikan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Selain itu, memenuhi janji Presiden Salih untuk meluluskan reformasi pemilihan dan mengadakan pemilihan awal.
Stephanie Grisham menyerukan kepada seluruh komunitas internasional untuk bergabung dengan AS dalam mendukung masa depan yang lebih baik bagi rakyat Irak.
Saat itu, Pasukan keamanan Irak telah menewaskan sedikitnya 350 orang . Pasukan tersebut secara ruitn menggunakan amunisi tajam dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa. Kadang-kadang menembak secara langsung pengunjuk rasa dengan tabung gas.
Pada 21 November lalu, Presiden Donald Trump mengutuk tindakan sensor yang diambil oleh rezim Iran terhadap rakyatnya sendiri.
Trump dalam cuitannya menyatakan,Iran menjadi sangat tidak stabil sehingga rezim tersebut telah mematikan seluruh Sistem Internet sehingga orang-orang Iran yang hebat tidak dapat berbicara tentang kekerasan luar biasa yang terjadi di negara itu.
“Mereka menginginkan transparansi NOL, berpikir dunia tidak akan menemukan kematian dan tragedi yang disebabkan oleh Rezim Iran!” demikian cuitan Trump.
Rezim Syiah Iran dimulai dengan kombinasi subversi gaya Soviet dan pengaruh Sayyid Qutb — bapak pendiri Ikhwanul Muslimin — yang menggabungkan sosialisme dengan Islam untuk menciptakan ideologi sebagai inti dari teologi totaliter di seluruh dunia, menurut Zuhdi Jasser, presiden dan pendiri American Islamic Forum for Democracy.
Dalam sebuah pernyataan 6 November, Kedubes Amerika Serikat di Irak mengatakan pihaknya memiliki “minat kuat dan tetap pada Irak yang aman dan makmur yang mampu membela negara terhadap kelompok-kelompok ekstremis yang kejam dan mampu menghalangi mereka yang akan merusak kedaulatan dan demokrasi Irak.”
Kedubes Amerika Serikat di Irak menyatakan, Ketika dunia menyaksikan peristiwa di Irak semakin terbuka, semakin jelas bahwa Pemerintah Irak dan para pemimpin politik negara itu harus terlibat secara serius dan mendesak dengan warga Irak yang menuntut reformasi.
Pihak Kedubes AS menegaskan, tidak ada jalan progresif berdasarkan penindasan kehendak rakyat Irak.
“Kami menyesalkan pembunuhan dan penculikan demonstran yang tidak bersenjata, ancaman terhadap kebebasan berekspresi, dan siklus kekerasan yang terjadi. Rakyat Irak harus bebas untuk membuat pilihan sendiri tentang masa depan bangsanya,” demikian pernyataan Kedubes AS. (asr)