DPR AS Sahkan RUU Uighur yang Menuntut Sanksi Atas Pelanggaran HAM di Kamp-kamp Xinjiang

Isabel Van Brugen

Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pada (3/12/2019) sangat menyetujui suatu RUU untuk melawan penindasan Komunis Tiongkok terhadap etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya di wilayah Xinjiang, barat laut Tiongkok, yang segera dikecaman oleh Beijing.

Undang-Undang Uyghur tahun 2019 adalah Undang-Undang Peraturan Hak Asasi Manusia Uyghur yang diamandemenkan, dan diterbitkan versi yang lebih kuat oleh bipartisan Amerika Serikat yaitu oleh Senator Marco Rubio (R-FL) dan Bob Menendez (D-NJ), yang membangkitkan kemarahan Beijing saat undang-undang tersebut diloloskan oleh Senat Amerika Serikat pada bulan September.

RUU Uyghur membutuhkan pemerintahan Donald Trump untuk memperkuat tanggapan RUU tersebut terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Tiongkok di wilayah tersebut.

RUU tersebut menyerukan kepada Presiden Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap para pejabat Tiongkok dan untuk menutup jaringan kamp-kamp tahanan massal di mana setidaknya satu juta warga Uyghur ditahan secara tidak sah.

RUU tersebut menyerukan untuk mengatasi “pelanggaran berat hak asasi manusia yang diakui secara universal, termasuk pemusnahan massal lebih dari 1.000.000 warga Uyghur.”

RUU tersebut diloloskan sangat banyak oleh Partai Demokrat yang menguasai DPR dengan hasil suara 407-1 setelah negosiasi berbulan-bulan lamanya di antara anggota parlemen mengenai ketentuan undang-undang tersebut. Senator Partai Republik AS, Thomas Massie dari negara bagian Kentucky adalah satu-satunya yang menentang undang-undang tersebut.

Di antara pejabat senior Tiongkok yang menurut undang-undang tersebut bertanggung jawab dan harus diberi sanksi adalah Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo, yang, sebagai anggota politbiro, berada di eselon atas kepemimpinan Tiongkok.

RUU itu masih membutuhkan persetujuan dari Senat yang dikendalikan oleh Partai Republik, setelah itu RUU tersebut akan dikirim ke Presiden. Gedung Putih belum mengatakan apakah Donald Trump akan menandatangani atau memveto RUU tersebut, yang berisi ketentuan yang memungkinkan presiden untuk melepaskan sanksi jika ia menentukan bahwa sanksi itu untuk kepentingan nasional.

“Rezim Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok; “Sedang berupaya untuk secara sistematis menghapus identitas etnis dan budaya Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang,” kata Marco Rubio dalam sebuah pernyataan setelah pemungutan suara.

“Hari ini, Kongres mengambil langkah penting lainnya untuk meminta pertanggungjawaban pejabat Tiongkok atas pelanggaran HAM yang mengerikan dan berkelanjutan yang dilakukan terhadap Uighur.”

“Saya memuji DPR karena mengambil tindakan cepat dan mengeluarkan versi amandemen RUU yang saya ajukan, dan saya berharap untuk bekerja sama dengan rekan-rekan Senat saya untuk meloloskannya dan dikirim ke Presiden untuk disahkan,” tambah Marco Rubio.

Peneliti senior Proyek Hak Asasi Manusia Uighur, Henryk Szadziewski, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa pengesahan RUU tersebut merupakan “tonggak sejarah.”

“Ini menunjukkan pengakuan penindasan yang dialami oleh Uighur, serta tindakan nyata atas nama mereka seharusnya sudah terjadi sejak dahulu,” kata Henryk Szadziewski.

“Tidak ada preseden untuk ukuran ini, dan Undang-Undang tersebut menawarkan harapan bagi Uyghur selama masa kelam dalam sejarahnya. Rakyat Uyghur tidak akan lagi menjadi ‘rakyat yang dilupakan.’”

Undang-Undang tersebut terbit hanya dalam waktu satu minggu setelah pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong untuk mendukung pengunjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong.

Undang-undang tersebut mengharuskan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk meninjau setiap tahun apakah bekas koloni Inggris itu “mendapatkan otonomi yang memadai” dari Tiongkok Daratan untuk membenarkan hak-hak ekonomi khusus yang diberikan kepada Hong Kong berdasarkan Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut Undang-Undang Uyghur sebagai serangan jahat terhadap Tiongkok dan merupakan gangguan serius dalam urusan internal negara itu.

Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok , mendesak Amerika Serikat untuk “segera memperbaiki kesalahannya,” dan dengan demikian menghentikan RUU itu “menjadi suatu hukum.”

“Kami mendesak Amerika Serikat untuk berhenti menggunakan Xinjiang sebagai cara untuk mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok,” tambah Hua Chunying.

Para pejabat Partai Komunis Tiongkok mengatakan penahanan massal di antara populasi Uyghur, yang mayoritasnya beragama Islam, adalah bagian langkah-langkah untuk menindak terorisme, ekstremisme agama, dan separatisme di negara itu. Partai Komunis Tiongkok telah menggunakan alasan potensi “ancaman ekstremis” untuk membenarkan pengawasan ketat dan tindakan keras terhadap Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang.

Warga Uyghur di wilayah tersebut ditahan karena alasan seperti menghubungi teman atau kerabat di luar negeri, bepergian ke negara asing, menumbuhkan janggut, dan menghadiri pertemuan keagamaan, warga Uyghur yang memiliki anggota keluarga di kamp mengatakan kepada The Epoch Times.

Tangan pertama yang menggambarkannya kepada The Epoch Times juga telah mengungkapkan upaya oleh otoritas untuk melucuti para tahanan Uyghur dari budaya dan bahasa mereka, memaksa mereka untuk mencela keyakinannya dan berjanji loyalitas kepada Partai Komunis Tiongkok dan pemimpinnya. Jika gagal mengikuti perintah, maka tahanan dapat dikenakan beberapa bentuk penyiksaan sebagai hukuman.

Pemungutan suara bersejarah menyusul bocornya dua dokumen utama Partai Komunis Tiongkok yang bocor dalam beberapa minggu terakhir, yang merinci pekerjaan represif yang dilakukan Bejijng di wilayah tersebut.

Arslan Hidayet adalah menantu komedian Uyghur terkemuka bernama Adil Mijit, yang hilang selama 10 setengah bulan di wilayah tersebut. Arslan Hidayet khawatir Adil Mijit ditahan di salah satu kamp Xinjiang. Ia mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara telepon bahwa ia yakin dokumen yang bocor itu berperan penting dalam pengesahan RUU tersebut.

“Suara yang demikian begitu bulat. Ini adalah pertama kalinya dalam 70 tahun, dan pertama kalinya sejak Lapangan Tiananmen [pembantaian pada tahun 1989], di mana Barat, bukannya menenangkan Tiongkok, Barat malahan mengambil tindakan nyata. Ini bukan hanya momen bersejarah untuk Uyghur, tetapi juga momen bersejarah antara Tiongkok dan kebijakan Amerika Serikat, terutama selama beberapa tahun terakhir.”

“Saya khawatir RUU tersebut tidak lolos, tetapi untuk mendapatkan suara bulat, itu adalah benar-benar luar biasa, dan hal itu juga mengirim pesan ke seluruh dunia juga,” tambah Arslan Hidayet.

Arslan Hidayet mengatakan kepada The Epoch Times, kini RUU tersebut harus digunakan dengan tepat untuk memastikan tindakan yang diambil.

“Kini sudah ada RUU tersebut dan menggunakannya sebagai tongkat baseball untuk memukul Tiongkok di bidang yang menyakitkan, yaitu bidang ekonomi.”

Terlepas dari kemunculan dokumen-dokumen rahasia dan tekanan intensif dari masyarakat internasional yang mengecam Beijing, pemerintah Tiongkok terus menyangkal perlakuan buruk yang dilakukannya terhadap warga Uyghur atau yang lainnya di Xinjiang.

“Tiongkok akan dan mampu [terus menyangkal perlakuan buruk yang dilakukannya terhadap warga Uyghur]. Namun, satu hal yang belum dapat dijawab oleh Tiongkok adalah: Mengapa jurnalis tidak diberi akses tanpa batasan? Biarkan semua orang datang kepada kami dan buktikan bahwa kami adalah berita palsu,” tambah Arslan Hidayet.

“Saya sangat senang Undang-Undang ini telah lolos karena Undang-Undang ini akan datang pada waktu di mana kamp konsentrasi dapat atau mungkin masih tetap akan berubah menjadi kamp pemusnahan, hal yang kami coba hindari. Kami tidak ingin terjadi Holocaust kedua.”

Sarjana yang berbasis di Amerika Serikat, Tahir Imin, lahir di Kashgar, mengatakan kepada The Epoch Times, berita itu mengirimkan “pesan yang jelas bahwa Tiongkok tidak dapat membasmi rakyat Uyghur.”

“Semua warga Uyghur di seluruh dunia dengan sabar menunggu kabar baik dari dunia. Hari ini kami mendapatkannya,” kata Tahir Imin.

“Sudah waktunya bagi Tiongkok untuk mengubah kebijakan asimilasi yang tidak manusiawi sebelum Tiongkok diakui sebagai pelaku genosida dan penjahat kemanusiaan.” (Vv)