Ronald J. Rychlak
Ada banyak pembicaraan menarik hari ini mengenai “berita palsu” dan disinformasi atau informasi salah yang sengaja disampaikan.
Hampir selalu, objek disinformasi adalah seseorang atau sesuatu yang menerima kritik yang dianggap tidak patut. Namun, itu bukanlah satu-satunya cara disinformasi bekerja. Terkadang, disinformasi dapat “membingkai” suatu objek secara positif.
Saat badan intelijen Rusia/Soviet mengembangkan seni disinformasi terkait apa yang mereka sebut sains. Hal demikian sama pentingnya untuk dapat memberikan cahaya positif pada suatu entitas atau individu biasanya pemimpin yang berkuasa, seperti halnya untuk dapat menempatkan seseorang dalam cahaya yang buruk.
Tampaknya Komunis Tiongkok terlibat dalam upaya disinformasi yang serupa, terutama saat menyangkut emisi karbon dan perubahan iklim. Bahkan, upaya itu telah berlangsung selama beberapa waktu.
Pada tahun 2007, menanggapi pengumuman oleh Tiongkok yang menyalahkan Amerika Serikat atas pemanasan global, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore mengatakan, “Tiongkok adalah benar mengatakan hal itu.”
Faktanya, Al Gore berkata, “ekonomi-ekonomi yang baru muncul seperti Tiongkok dibenarkan untuk menahan diri melawan emisi gas rumah kaca sampai para pencemar yang lebih kaya seperti Amerika Serikat berbuat lebih banyak untuk menyelesaikan masalah tersebut,” demikian pernyataan yang dilaporkan The Associated Press pada 8 Februari 2007 silam.
Al Gore berada di Tiongkok pada tahun 2011 untuk berpidato di Forum Pengembangan Urban Global. Ia memuji rezim komunis Tiongkok karena “keberhasilan rezim komunis Tiongkok yang tidak biasa” dalam tindakan pengurangan karbon.
Pada bulan Desember 2017, Al Gore memuji “pasar karbon” baru Tiongkok sebagai “tanda kuat lain bahwa revolusi keberlanjutan global sedang berlangsung. …Adalah jelas bahwa kita berada pada titik kritis dalam krisis iklim.”
Satu tahun kemudian di Polandia, Al Gore memuji kepemimpinan Tiongkok karena mengatasi perubahan iklim, dengan mengatakan bahwa Komunis Tiongkok adalah “salah satu dari sedikit negara yang memenuhi komitmennya dalam Perjanjian Paris,” menurut kantor berita pemerintah Tiongkok Xinhua.
Al Gore kemudian menjelaskan bahwa Tiongkok telah melampaui beberapa targetnya sendiri mengenai energi terbarukan.
Pada tahun 2011, James Hansen, pensiunan ilmuwan NASA yang disebut sebagai “bapak kesadaran perubahan iklim,” menyebut rezim Komunis Tiongkok sebagai “harapan terbaik” untuk menyelamatkan dunia dari pemanasan global. Ia bahkan menyerukan boikot ekonomi untuk memaksa Amerika Serikat agar sesuai dengan upaya Tiongkok.
Pada tahun 2015, James Hansen sekali lagi mengatakan, bahwa ia mengharapkan Tiongkok untuk memberikan kepemimpinan pengurangan emisi karbon yang tidak mau diberikan oleh Amerika Serikat.
Al Gore dan James Hansen bukanlah aktivis lingkungan hidup satu-satunya yang mengatakan hal yang baik mengenai Tiongkok, ataupun bukanlah hanya pada saat-saat itu mereka membicarakan hal tersebut. Hal ini merupakan contoh-contoh untuk memberikan jalan bagi aktivis pemanasan global berbicara mengenai kediktatoran komunis di Tiongkok.
Yang menakjubkan di sini adalah bahwa Komunis Tiongkok memiliki jejak karbon terbesar di dunia sejak tahun 2006.
Pada tahun 2017, Komunis Tiongkok bertanggung jawab atas 27,2 persen emisi karbon dioksida global, menurut Global Carbon Atlas. Tiongkok juga merupakan salah satu penghasil metana terbesar di dunia, gas rumah kaca lainnya. Faktanya, metana 34 kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca.
Ronald J. Rychlak mengungkapkan, masalah Tiongkok adalah batu bara. Tiongkok mungkin merupakan produsen panel surya terbesar di dunia. Akan tetapi banyak di antara panel surya tersebut dibuat untuk diekspor. Tiongkok menggunakan batu bara. Tiongkok adalah produsen batubara terkemuka dunia maupun konsumen batubara terkemuka dunia, dan kapasitas Tiongkok yang sedang berkembang. Dari tahun 1985 hingga 2016, batubara menyediakan sekitar 70 persen energi Tiongkok. Tentu saja, hal tersebut sangat berdampak buruk bagi lingkungan hidup.
Batubara menghasilkan karbon dioksida sebanyak dua kali lipat dari bahan bakar fosil lainnya. Sementara Tiongkok melaporkan bahwa penggunaan batu baranya telah menurun sejak tahun 2014, Tiongkok masih mengonsumsi lebih banyak batu bara daripada gabungan seluruh negara pengguna batu bara di dunia.
Pada tahun 2017, batu bara menyediakan lebih dari 60 persen total penggunaan energi nasional, menurut laporan ChinaPower.
Baru tahun lalu, rezim Komunis Tiongkok menyetujui pengembangan tujuh tambang batu bara baru. Itu berarti bahwa antara tahun 2017 hingga 2018, Tiongkok menambahkan hampir 200 juta ton kapasitas penambangan batu bara baru.
Kemudian, tahun ini, Tiongkok mengalokasikan dana untuk 17 tambang batu bara baru di seluruh Tiongkok. Emisi karbon dioksida Tiongkok tumbuh sekitar 4 persen pada paruh pertama tahun 2019.
Selama periode yang sama, permintaan batu bara nasional meningkat sebesar 3 persen, permintaan minyak nasional meningkat sebesar 6 persen, dan permintaan gas meningkat sebesar 12 persen.
Tentu saja, batu bara yang ditambang di satu daerah perlu dikirim melalui kapal jika akan digunakan di daerah lain. Tiongkok baru saja membuka Menghua Railway, jalur kereta api pengangkut batu bara terpanjang di negara itu. Kereta api ini, yang panjangnya lebih dari 1.600 KM. Diperkirakan akan mengangkut sekitar 200 juta ton batubara setiap tahun dari area pertambangan di utara Tiongkok ke pusat industri di selatan Tiongkok.
Tidak satu pun dari ekspansi dalam penambangan atau pengiriman melalui kapal ini menjadi pertanda baik untuk kualitas udara di Tiongkok, yang sudah merupakan masalah yang bermakna.
Dalam jajak pendapat baru-baru ini yang disponsori oleh China Daily, surat kabar pemerintahan komunis Tiongkok, lebih banyak responden yang menyatakan polusi sebagai masalah nomor 1 bagi mereka daripada masalah lainnya.
Perluasan ini juga menunjukkan bahwa mungkin Tiongkok bukanlah model pencerahan saat Tiongkok datang untuk memerangi perubahan iklim buatan manusia.
Tentu saja, agar kampanye disinformasi tersebut berhasil, maka kritik harus ditekan. Baru-baru ini, Administrasi Meteorologi Tiongkok mengeluarkan peraturan yang melarang ramalan cuaca oleh siapa pun selain badan meteorologi resmi negara. Pelanggar dikenakan denda hampir 8.000 dolar AS.
Mungkin, bahkan yang lebih membingungkan, pada tahun 2015, seorang mantan jurnalis TV di Beijing merilis film dokumenter berdurasi-panjang berjudul “Di Bawah Kubah.” Film tersebut disebut sebagai versi Tiongkok dari film dokumenter perubahan iklim Al Gore yang berjudul, “An Inconvenient Truth.”
Jutaan rakyat Tiongkok menonton “Di Bawah Kubah” online dan melihat kritik film tersebut terhadap rezim Tiongkok karena mentoleransi kualitas udara yang buruk.
Namun, dalam waktu seminggu setelah diposting, situs-situs web besar Tiongkok menariknya di bawah perintah dari departemen propaganda pusat Partai Komunis Tiongkok.
Debat terbuka – terutama kritik terhadap pemerintah – tidak dapat ditoleransi. Bahkan “kemajuan” yang dikutip oleh para pembela Tiongkok saat memuji catatan lingkungan hidup Tiongkok adalah menyesatkan.
Mengenai “target” Tiongkok, Komunis Tiongkok telah berjanji untuk mengurangi “intensitas emisi karbon,” tetapi Tiongkok belum berjanji untuk memberlakukan plafon emisi.
“Intensitas emisi karbon” mengukur jumlah karbon yang dilepaskan per dolar akibat kegiatan ekonomi. Dengan demikian, semakin banyak kegiatan ekonomi, maka semakin banyak emisi dapat dibenarkan.
Jadi, total tingkat emisi mungkin terus naik, dan Tiongkok masih akan memenuhi targetnya selama pertumbuhan ekonomi melampaui emisi tersebut.
Itu bukanlah janji yang dibuat atau diminta oleh negara-negara Barat. Pada akhirnya, ini adalah disinformasi yang indah.
Komunis Tiongkok secara agresif mengejar agenda ekonominya dengan menggunakan energi paling murah yang tersedia untuknya. Komunis Tiongkok dapat mengklaim telah memenuhi tujuan lingkungan hidupnya, dan “pakar” Barat menunjuk Tiongkok sebagai contoh yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Moskow juga akan bangga. (Vivi/asr)
Ronald J. Rychlak adalah ketua Jamie L. Whitten dalam bidang hukum dan pemerintahan di Universitas Mississippi. Dia adalah penulis beberapa buku, termasuk Hitler, the War, and the Pope,” “Disinformation” (ikut menulis bersama Ion Mihai Pacepa), dan ““The Persecution and Genocide of Christians in the Middle East” (disunting bersama dengan Jane Adolphe).
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis
FOTO : Asap mengepul dari tumpukan ketika orang-orang Cina menarik sepeda roda tiga di lingkungan di samping pembangkit listrik tenaga batu bara di Shanxi, Tiongkok, pada 26 November 2015. (Kevin Frayer / Getty Images)