Buku ini terbagi menjadi dua bagian yaitu awal dan akhir, yakni bagian awal: Tujuan Terakhir Komunisme (Bab tentang Tiongkok); bagian akhir: Tujuan Terakhir Komunisme (Bab tentangDunia).
Dajiyuan (Epoch Times) pertama-tama akan menerbitkan bagian awal yakni Bab tentangTiongkok, bagian akhir tidak lama setelahnya akan dipublikasikan, tetaplah bersama kami.
Dengan hormat mempersembahkan buku ini kepada seluruh manusia yang dengan tulus mengharapkan peradaban bangsa Tionghoa berhati bajik, makmur dan kuat!
IV. Kelapangan dada, Toleransi dan Pengampunan
Mayoritas kebudayaan bangsa di dunia semuanya didirikan dengan landasan kepercayaan agama utama dari bangsa tersebut. Namun kebanyakan pengikut agama menganggap kepercayaannya sendiri sebagai “satu-satunya Tuhan sejati”, dan memandang kepercayaan lain sebagai sesat.
Perang agama dalam sejarah pihak Barat seolah terus berlangsung tanpa henti. Ada intelektual bahkan beranggapan, perang antarnegara berbeda di dunia, penyebab mendasarnya adalah konflik yang ditimbulkan oleh antarkepercayaan yang berbeda.
Sedangkan di Tiongkok, gereja dan kuil dari kepercayaan yang berbeda, saling bertoleransi dan saling menjaga tanpa masalah. Di dalam sejarah Tiongkok belum pernah terjadi perang agama yang parah.
Bahkan di dalam sejarah, yang masuk ke Zhong Yuan, seperti Mongol dan Manchu, malah mendapat pencerahan dari kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa, tapi sebaliknya juga melarutkan esensi kebudayaan mereka ke dalam bangsa Tionghoa serta menjadi satu bagian dari kebudayaan Tionghoa. Inilah sifat toleransi yang maha besar dari kebudayaan Tiongkok.
Dewata alam semesta mencakupi Buddha dan mencakupi Tao, juga mencakupi Dewa dengan bentuk lainnya, itu sebabnya di dalam kebudayaan Tiongkok juga tanpa henti ditanamkan konsepsi “Buddha – Tao – Dewa”, dan juga tentang bagaimana xiulian (laku jiwa dan raga).
Pada saat yang sama juga menanamkan dasar-dasar etika moralitas dan berbagai macam nilai-nilai universal dari manusia, antara lain seperti “Dao, Kebajikan, Kasih, Kebenaran, etika, Kebijaksanaan, Keyakinan”dan lain-lain.
Di dalam kebudayaan berbagai bangsa juga tercatat, bahwa Sang Pencipta di saat akhir kalpa pasti akan datang untuk menyelamatkan semua manusia. Jika sungguh demikian, maka kebudayaan bangsa Tionghoa yang bersifat “kelapangan dada, toleransi dan pengampunan” ini, telah dipilih oleh Sang Pencipta, hal yang juga mudah untuk dipahami mengingat dari situlah akan disebarkan Fa terakhir yang menyelamatkan manusia, menyelamatkan semua bangsa dan semua pemeluk kepercayaan.
Di satu sisi, di dalam kebudayaan semacam ini telah ditanamkan elemen dari Hukum Langit terakhir yang menyelamatkan manusia dari berbagai macam kebudayaan dan kepercayaan serta sumber kehidupan; di sisi lain, di dalam kebudayaan semacam ini, disebarkan Fa Langit yang terakhir yang mudah diterima oleh orang-orang dengan latar belakang agama yang berbeda.
Tentu saja, dari sudut pandang lain, kebudayaan dengan sifat toleransi maha luas dan kekayaan maha besar semacam ini, juga pastinya telah diatur dengan baik secara sistematis oleh Sang Pencipta sendiri sejak masa paling awal, selangkah demi selangkah diendapkan dan dikembangkan sekaligus diwariskan sampai hari ini, tujuannya adalah untuk menyelamatkan semua manusia di dunia di saat akhir kalpa.
V. Mengalami Bencana Kalpa Namun Tidak musnah
Kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa berkat perlindungan Tuhan, telah melewati masa ribuan tahun tidak surut, terus diwariskan hingga pertengahan abad ke-19. Peradaban Barat dengan Revolusi Industri-nya menimbulkan keunggulan teknologi, memaksa masuk dengan kekuatan militer, yang menimbulkan “situasi perubahan yang belum pernah ada selama beberapa ribu tahun”.
Setelah itu, bumi pertiwi bangsa Tionghoa, terjadi kekacauan berkali-kali lipat, pada kesempatan itu roh gentayangan dari Barat, menyusup. Kebudayaan Tionghoa mengalami kerusakan parah seolah bunga dan buah yang berguguran habis, dan nyawanya sudah berada di ujung tanduk.
Melalui pengelolaan penuh derita oleh partai komunis dan berbagai macam gerakan politiknya serta bencana besar sepuluh tahun Revolusi Kebudayaan; berbagai macam represi dengan kekerasan, perusakan agama dan penghapusan kepercayaan kepada Tuhan, ditambah lagi dengan kebudayaan partai, pendidikan pencekokan ateisme. Sehingga kaum generasi muda sejak lama sudah tidak memiliki kepercayaan kepada Buddha – Tao – Dewa, kaum generasi tua terbungkam, ketakutan akan pembantaian dan penindasan telah menghancurkan keberanian; bangunan tradisional, situs kuno, kuil, perkakas, artefak dan lain-lain dihancurkan, selanjutnya hubungan antara Tuhan dan manusia telah diputus.
Namun dengan hancurnya Konfusianisme, Buddhisme, Taoisme, dan berbagai aliran perguruan agama lainnya, tidak berarti manusia di dunia tidak bisa dibangunkan oleh Tuhan. Isi detail dan daya hidup yang sulit dikalahkan dari kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa – yang ditanamkan oleh Tuhan untuk umat manusia pada saat ini tampil keluar secara maksimal.
Setelah Revolusi Kebudayaan, orang Tiongkok hampir sepenuhnya tanpa kepercayaan kepada Tuhan, kesadaran menjadi kosong melompong, aktivitas kebudayaan secara ekstrem hampir tidak ada.
Namun ketika manusia di dunia mendengar Kisah Keluarga Jenderal Yang–Biografi Yuefei–Tiga Negara [Samkok]–Kisah Batas Air [108 Pendekar Liang Shan] dan karya terkenal lainnya, sebenarnya dalam waktu singkat merasa kesepian seperti di tengah jalan, setiap keluarga menjadi tersadarkan kembali, ketakutan hidup hilang berjatuhan, bahkan polisi juga tidak perlu menjalankan tugas.
Tepatnya adalah akumulasi kebijaksanaan dari kebudayaan hasil warisan Dewa selama beberapa ribu tahun, sekali lagi membangunkan kembali pikiran lurus dan ingatan lama dari lubuk hati manusia di dunia.
Orang-orang mengapa begitu mengagumi Yi (kebenaran) yang ditampilkan oleh cerita Tiga Negara (Samkok)?
Manusia dunia setiap kali menyinggung huruf Yi (kebenaran), segera teringat Yi (kebenaran) yang ditampilkan pada zaman Tiga Negara (Samkok). Yi (kebenaran) yang ditampilkan oleh tiga pahlawan Liu Bei – Guan Yu – Zhang Fei yang bersumpah mengikat persaudaraan, sehingga membuat generasi berikutnya terkagum-kagum – ditiru, sifat menjunjung tinggi kebenaran dibanding materi – tindakan serta perbuatan yang mengabaikan hidup dan memprioritaskan kebenaran – membuat kagum semua orang.
Zhuge Liang membantu Liu Bei, “berjuang hingga titik penghabisan, sampai hari kematian tiba” telah menjadi teladan pejabat generasi selanjutnya, mendapat gelar sebagai perdana menteri nomor satu dalam ribuan tahun.
Kaisar Agung Wei Wu Caocao –siang bicara strategi militer, malam membahas kisah klasik, merencanakan logistik menentukan kemenangan, berhasil menyatukan wilayah utara; pada pertemuan plum muda memasak arak menyanjung Liu Bei sebagai pahlawan, dan sama sekali tidak mengambil keuntungan dari posisi gentingnya; Perkataan harus dapat dipercaya, dia membebaskan Guanyu; menggunakan Yi (kebenaran) para menteri dan pejabatnya untuk memenangkan hati rakyat di empat samudera. Yi (kebenaran) yang ditampilkan oleh Tiga Negara selama ratusan tahun telah menjadi standar kebudayaan tradisional selama lima ribu tahun di seluruh Huaxia serta menjadi moralitas – perilaku moral manusia di dunia yang ditulis dengan pena tebal.
Orang-orang mengapa demikian tersentuh oleh loyalitas Yang Liu Lang (Yang Yanzhao) – Yuefei?
Liu Lang dari Dinasti Song Utara,“kehebatannya mengguncang tiga gerbang, jenderal wanita Keluarga Yang” dalam membasmi musuh dan melindungi negara sangat menyentuh perasaan. Yuefei dari Dinasti Song Selatan telah menjalani ratusan perperangan, sama sekali tidak pernah terkalahkan.
Sayangnya saat ingin menyerang langsung ke sarang musuh dan merebut kembali dinasti, telah dicelakai oleh pejabat korup Qin Hui, meninggal secara tragis di Fengboting. Cerita Liu Lang – Yuefei tersebar selama ribuan tahun. Bahkan rakyat jelata yang buta huruf dan tidak dapat membaca buku sejarah, dapat mengetahui peristiwa tersebut lewat cerita yang didengar. Mereka mengenali baik dan jahat, mengagumi pejabat loyal, terus diwariskan lewat mulut dan telinga yang mengajari generasi-generasi selanjutnya.
Dalam perjalanan naik turunnya bangsa Tionghoa selama lima ribu tahun, satu per satu pertunjukan besar – mengguncang hati, satu per satu alur cerita – menyentuh hati sanubari manusia, tidak saja membuat manusia di dunia dapat mengenali baik dan jahat – antara benar dan salah – membedakan asli atau palsu – kenal dengan loyal dan korup. Tapi juga dapat mempertahankan bangsa Tionghoa sejak lampau terisi penuh dengan energi lurus, dalam ideologi – pemikiran – kesadaran – pembuluh darah manusia di dunia juga telah ditinggalkan tanda yang tidak bisa dihapus, tidak peduli rezim Partai Komunis Tiongkok (PKT) bagaimana menekan – mengelabui, juga tidak dapat mencekik keinginan hidup dari lubuk hati orang.
Orang-orang mengapa demikian tersentuh oleh loyalitas Yang Liu Lang (Yang Yanzhao, 958-1014) dan Yuefei (1103-1142)?
Liu Lang dari Dinasti Song Utara, kehebatannya mengguncang tiga gerbang lintasan, beserta jenderal wanita Keluarga Yang dalam membasmi musuh dan membela negara sangat menyentuh perasaan.
Yue Fei dari Dinasti Song Selatan telah tertempa melalui ratusan pertempuran dan tidak pernah sekalipun kalah. Sayangnya di saat hendak menghancurkan sarang musuh dan merebut kembali wilayah dinasti, telah dicelakai oleh pejabat bermental sengkuni Qin Hui dan dieksekusi mati secara tragis di Fengboting.
Cerita Liu Lang dan Yue Fei tersebar selama ribuan tahun, bahkan rakyat jelata yang buta huruf, yang tidak dapat membaca buku sejarah, juga dapat mengetahui peristiwa tersebut lewat cerita yang didengar, dalam mengenali manusia licik dan jahat serta mengagumi pejabat loyal, terus diwariskan dari mulut ke mulut, demi mendidik generasi penerus.
Dalam pengambilan kesimpulan tentang kejayaan dan kemerosotan bangsa Tionghoa selama lima ribu tahun, satu per satu pertunjukan besar yang mengguncang hati, satu per satu alur cerita menyentuh hati. Tidak saja membuat manusia di dunia dapat mengenali baik dan jahat, mengerti antara benar dan salah, membedakan asli atau palsu serta dapat membandingkan antara loyal dan licik serta mempertahankan bangsa Tionghoa yang sudah sejak masa lampau terisi penuh dengan energi lurus dalam ideologi, spiritual, pemikiran dan kesadaran. Sejatinya, telah meninggalkan tanda yang tidak bisa dihapus dalam pembuluh darah manusia di dunia, juga bagaimanapun rezim komunis Tiongkok menekan dan mengelabui, juga tidak mampu membinasakan daya hidup yang bagaikan menyambut datangnya musim semi dari lubuk hati.
KESIMPULAN
Dari 7 miliar jiwa di atas dunia, tidak setiap orang memercayai agama dan juga tidak setiap orang memercayai Tuhan. Sang Pencipta tidak ingin meninggalkan seorang pun, namun manusia di dunia perlu ada batas minimum moralitas, barulah layak menjadi manusia. Itulah mengapa Tuhan dalam banyak agama di dunia berulang kali memperingatkan manusia, bahwa harus menjaga batas minimum moralitas demi menunggu kembalinya sang Pencipta.
Hari di mana moralitas manusia terperosok turun sampai ujung kehancuran, itulah saat bencana yang menenggelamkan datang mendekat. Namun di saat ini, hanya Tuhan saja yang mampu mengulurkan tangan maha besar untuk mengendalikan Langit dan Bumi, memutar balik Qiankun (alam semesta), dan menyelamatkan orang baik agar terhindar dari maha bencana paling akhir.
Demi manusia, Tuhan telah menanamkan landasan kebudayaan yang berisikan fondasi moralitas, hal itu merupakan landasan bagi manusia untuk terlahir kembali, yakni manusia saat berada pada momentum paling berbahaya, dapat memahami rahasia Langit yang diungkap oleh Tuhan, sehingga ini juga merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh penyelamatan. Sebaliknya yang merusak jalan penyelamatan manusia ini, dia justru sedang memusnahkan umat manusia.
Di tengah gerakan politik tanpa henti dari PKT yang berniat buruk hendak memusnahkan kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa yang membuat manusia dalam saat-saat bencana keruntuhan moral, terhalang segala jalan keluarnya.
Ketika manusia dunia telah kehilangan kebudayaan semacam itu, serta perilaku moral di bawah pengaruh dan pendidikan kebudayaan seperti ini, maka ketika manusia tidak mampu lagi memahami Tuhan yang menyelamatkan manusia dan Fa yang diajarkan Tuhan, juga berarti akan kehilangan peluang takdir untuk memperoleh penyelamatan terakhir.
Kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa tepatnya adalah kebudayaan yang dikokohkan sendiri oleh Sang Pencipta di Tiongkok, demi menyelamatkan semua makhluk di saat terakhir. Inilah pengaturan khusus dan tujuan dari kebudayaan tradisional Tionghoa.
FOTO : Siluet Mao Zedong di bawah bulan mendung di Wuhan, provinsi Hubei, pada 22 Juli 2009. (AFP / AFP / Getty Images)