Zhou Xiaohui
Pada 10 Desember 2019, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump berturut-turut melangsungkan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Lavrov di Washington DC. Topik pembicaraan antara lain memperpanjang “New Strategic Arm Reduction Treaty (New START), Intermediate-Range Nuclear Force Treaty”, pengendalian nuklir militer, kerjasama dagang Rusia dengan Amerika Serikat, situasi Semenanjung Korea, masalah Suriah, situasi di Venezuela dan wilayah timur Ukraina dan lain-lain.
Kunjungan dan pernyataan sikap Lavrov mau tak mau menjadi sorotan Beijing, dan tindakan Rusia itu membuat Beijing merasa terzalimi.
Peristiwa itu terjadi di tengah sikap dan tindakan Amerika Serikat terhadap Komunis Tiongkok secara menyeluruh mulai dari aspek ekonomi dagang, politik, militer, Hak Asasi manusia, teknologi, internet dan lain-lain. Juga saat upaya Beijing menggandeng Rusia, Korut, Turki, Iran dan Suriah untuk membentuk “Pakta Warsawa” baru guna melawan Amerika Serikat.
Awalnya, baik Amerika Serikat maupun Rusia menyampaikan niat untuk memperbaiki hubungan. Dalam konferensi pers bersama Pompeo dan Lavrov, Pompeo menyatakan, bahwa Amerika Serikat dan Rusia harus memperbaiki hubungan. Sementara Lavrov menyatakan, pihak Rusia akan terus berdialog dengan Amerika dan memperbaiki hubungan kedua negara yang saat ini kurang menguntungkan kedua negara, juga kurang sejalan dengan kepentingan global secara keseluruhan.
Jelas bahwa makna perkataan Lavrov adalah memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat akan sejalan dengan kepentingan Rusia, termasuk kepentingan politik dan juga ekonomi.
Seperti dalam bidang ekonomi, Lavrov mengatakan, walaupun ada sanksi, namun nilai perdagangan Rusia dengan Amerika Serikat di masa pemerintahan Trump telah meningkat hingga USD 27 milyar atau sekitar Rp. 377 triliun. Nilai itu naik sekitar sepertiga dari masa pemerintahan Obama yang hanya USD 20 milyar atau sekitar Rp. 279 triliun.
Hal itu menjelaskan pesatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat juga telah menguntungkan Rusia yang masih terkena sanksi. Dan keajaiban yang diciptakan Trump bagi Amerika Serikat serta dampak keras terhadap perekonomian Tiongkok. Itu juga dilihat jelas oleh Rusia. Oleh sebab itu Rusia kembali menyampaikan sinyal akan terus memperbaiki hubungan.
Lavrov juga mengungkapkan, bahwa pihaknya pernah membandingkan dengan data di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) Swedia. Diperoleh data bahwa perlengkapan militer Tiongkok dan Amerika Serikat ternyata jauh berbeda, baik dalam hal jumlah senjata maupun dalam struktur gudang nuklir. Tiongkok sama sekali bukan pemain yang setara dibandingkan dengan Rusia apalagi Amerika Serikat. Pompeo juga membenarkan.
Yang dimaksud dengan struktur gudang senjata nuklir adalah masing-masing rasio jumlah sarana pengangkut strategis dan jumlah hulu ledak nuklir strategis.
Menurut kesepakatan “New START” yang dicapai Amerika Serikat dengan Rusia tahun 2010 lalu, penempatan aktual hulu ledak nuklir strategis oleh Amerika Serikat dan Rusia harus dikurangi hingga kurang dari 1.550 buah. Penempatan aktual sarana angkut strategis harus dikurangi hingga kurang dari 700 unit. Setelah kesepakatan itu ditandatangani, baik pihak Amerika Serikat maupun Rusia telah mewujudkan aturan tersebut.
Kini, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat maupun Rusia sama-sama membenarkan jumlah senjata nuklir dan struktur gudang nuklir Tiongkok tidak setara dengan Amerika maupun Rusia. Lalu apakah demi memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat, membuat Rusia membocorkan rahasia Komunis Tiongkok pada pihak Amerika Serikat?
Dengan terungkapnya rahasia itu, sebenarnya memberitahu Beijing, seberapa berat bobot Komunis Tiongkok, baik Amerika Serikat maupun Rusia sangat paham.
Rusia menyetujui usulan Amerika Serikat agar Tiongkok ikut serta dalam perundingan militer. Menurut Lavrov, jika Komunis Tiongkok bersedia berunding, maka akan membahas sebuah program pelucutan nuklir secara multilateral.
Sementara Pompeo menyatakan, “Banyaknya sistem persenjataan akan mengakibatkan ketidak-stabilan strategi, maka kami berpendapat tidak hanya melibatkan Komunis Tiongkok dalam perundingan pengendalian militer, juga harus memasukkan segala bentuk ‘sarana kekuasaan’ milik Komunis Tiongkok yang dapat menyebabkan ketidak-stabilan strategi ke dalam New START. Di samping itu, juga Intermediate-Range Nuclear Force Treaty dan semua kesepakatan lain yang telah ditandatangani sejak puluhan tahun lalu sampai sekarang. Itulah tujuan Amerika Serikat, yang juga merupakan tujuan Rusia. Kami harus mewujudkan hal ini!”
Karena kesepakatan New START akan berakhir pada 2021 mendatang, Rusia berharap agar dapat diperpanjang. Namun menurut Amerika Serikat kesepakatan tersebut akan ditanda-tangani pada era lain. “Mulai saat itu ancaman stabilitas strategi telah mengalami perubahan”, yang bermakna bahwa Komunis Tiongkok juga secara besar-besaran mengembangkan senjata nuklir. Alasan yang sama sebelumnya ketika Amerika Serikat mundur dari Intermediate-Range Nuclear Force Treaty, untuk menghadapi tantangan dari Komunis Tiongkok, Amerika Serikat tidak ingin terbelenggu oleh kesepakatan tersebut.
Sebenarnya sejak 4 April 2019 lalu, saat menemui Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He, Trump telah menyatakan harapan agar Tiongkok, Rusia dan Amerika Serikat dapat bersama-sama mengurangi senjata. Waktu itu Rusia telah merespon aktif, tapi pihak Beijing justru menolak usulan Trump tersebut. Kali ini, Rusia kembali menyatakan sikap menyetujui usul Komunis Tiongkok, dan Beijing masih saja menolak melibatkan diri dalam perundingan pengendalian militer.
Diduga alasan Beijing menolak ikut serta dalam perundingan pengendalian militer adalah, agar Rusia dan Amerika Serikat tidak tahu persis jumlah senjata strategis yang dimilikinya, dan secara psikologis bermain strategi mengelabuhi lawan terhadapi Amerika Serikat.
Tokoh pengamat yang memahami perwira militer Amerika Serikat dan pasukan militer Tiongkok menyebutkan, di media cetak terkait jumlah rudal Tiongkok, tidak tertutup kemungkinan banyak unsur menipu. Mereka berkata, “penipuan” adalah strategi yang kerap digunakan oleh militer Tiongkok.
Tidak diragukan, tindakan Rusia mengambil hati Amerika Seikat dengan mengeluarkan uang banyak membeli minyak bumi dari Amerika Serikat, membuat petinggi Beijing yang berniat meminjam kekuatannya untuk bersama-sama melawan Amerika Serikat, tidak senang.
Sisa kegembiraan pesta beberapa bulan sebelumnya masih terasa. Xi Jinping yang berkunjung ke Moskow bulan Juni 2019 lalu, mendapat perlakuan skala tinggi dari Presiden Rusia, Putin. Keduanya menandatangani lebih dari 30 kesepakatan kerjasama, sehingga meningkatkan hubungan Tiongkok dan Rusia dari “hubungan rekan strategis” meningkat menjadi “hubungan rekan kerjasama strategi seluruh aspek era baru”. Kedua tokoh itu bahkan saling menyebut “sahabat yang paling baik” dan “sobat yang paling akrab”.
Akan tetapi, terlepas dari tujuan masing-masing tokoh, betapa pun permainan sandiwara mereka, tapi saling mewaspadai antara keduanya tidak pernah lenyap. Menurut berita Radio Free Asia, sejak sebelum kunjungan Pemimpin Tiongkok, Xi Jinping ke Rusia, juru bicara Rusia saat membicarakan perang dagang Amerika dengan Tiongkok mengatakan, “Ini bukan perang kami.”
Terhadap perang dagang Amerika Serikat – Tiongkok yang semakin menegang dan pengaruhnya terhadap Rusia, ajudan Presiden Rusia juga menyatakan sikap “tidak ada kaitannya dengan Rusia”. Pihak Rusia pun tidak mengeluarkan pernyataan dan tindakan apa pun yang mendukung Beijing dalam “menentang Amerika”.
Media massa Rusia lainnya mengungkapkan, proyek kereta api cepat “Moskow – Kazan” yang oleh Beijing selama ini dipropagandakan sebagai proyek percontohan kerjasama tingkat tinggi Tiongkok dengan Rusia, sampai saat ini tidak pernah terealisasi karena terus ditentang oleh Putin. Selain itu, banyak proyek kerjasama berskala besar Tiongkok dengan Rusia yang pernah digembar-gemborkan selama ini pada akhirnya tidak pernah ada realisasinya.
Kini Rusia telah beralih dari “tidak ada kaitannya dengan Rusia” terhadap perang dagang Amerika dengan Tiongkok, berubah menjadi menunjukkan bersikap baik pada Amerika. Rusia kembali menyatakan niatnya memperbaiki hubungan dengan Amerika. Sebenarnya itu merefleksikan, bahwa Moskow juga tidak memperhitungkan rezim Beijing, dan di baliknya terdapat kesimpulan yang diperoleh melalui analisa terhadap banyak data intelijen. Di tengah tren global anti komunis yang tengah terbentuk, pilihan Moskow sangat bijak. (SUD/WHS)
FOTO : Menlu AS Mike Pompeo bersaksi selama sidang di hadapan Komite Hubungan Luar Negeri Senat di Capitol Hill di Washington pada 25 Juli 2018. (Alex Wong / Getty Images)