Ntdtv.com
Gencarnya arus hengkang perusahaan asing dari daratan Tiongkok, industri dalam negeri berhenti berproduksi. Akibatnya masalah pengangguran menjadi semakin serius.
Media ekonomi dan keuangan Tiongkok ‘Time Weekly’ melaporkan pada hari Selasa, 14 April 2020 bahwa pada 10 April, ‘Laporan Perekrutan Lulusan Musim Semi Tahun 2020’ yang dirilis oleh Liepin Big Data Research Institute menunjukkan bahwa lulusan tahun ini adalah yang paling kritis dalam memilih pekerjaan.
Di antara faktor-faktor itu, pendapatan dan stabil adalah dua yang menempati posisi teratas, sedangkan persyaratan gaji ada di sekitar RMB 6.100.
Data menunjukkan bahwa skala kebutuhan perusahaan untuk merekrut mahasiswa baru lulus telah turun 22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di antara mereka, kebutuhan untuk merekrut mahasiswa baru lulus dari perusahaan-perusahaan di Beijing, Shanghai, Guangzhou dan Shenzhen turun lebih dari 30%. Itu adalah angka terendah selama 3 tahun terakhir.
Dalam sebuah wawancara dengan Radio Free Asia (RFA), Shao Hua, seorang penanggung jawab dari perusahaan ‘Futian’ di kota Shenzhen mengatakan bahwa banyak mahasiswa masih tidak mengetahui bahwa banyak perusahaan berhenti berproduksi bahkan bangkrut akibat pandemi virus komunis Tiongkok.
Jadi patut bersyukur jika dapat memperoleh sebuah pekerjaan saat ini, tetapi mungkin sulit untuk memenuhi permintaan gaji bulanan sebesar RMB. 8.000 atau lebih.
“Akibat terpengaruh oleh epidemi, jumlah kebutuhan akan tenaga kerja baru tahun ini jelas menurun. Saat ini, operasi ekonomi riil sangat sulit, termasuk produksi, ekspor, perdagangan dan lainnya. Perusahaan-perusahaan tersebut berusaha untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Jadi mereka tidak mempertimbangkan untuk menawarkan lebih banyak posisi pekerjaan kepada perusahaan perekrut tenaga kerja di pasar guna dipilih oleh mahasiswa”, kata Shao Hua.
Tahun ini ada 8,74 juta lulusan perguruan tinggi di daratan Tiongkok, meningkat sebanyak 400.000 dari tahun lalu, tetapi posisi pekerjaan yang tersedia justru turun 30%. Selain itu, lulusan harus menghadapi tekanan di-PHK oleh perusahaan.
“Persaingan antar mahasiswa lulusan akan menjadi semakin dan semakin sengit, belum lagi menghadapi tenaga kerja yang terkena PHK, mereka juga mencari pekerjaan. Jadi di pasar tenaga kerja, pasokan jelas jauh lebih besar dari permintaan”, lanjut Shao Hua.
Ahli memperingatkan bahwa krisis pangan akibat pandemi kian mendekat
Selain soal lapangan kerja, masalah yang lebih mendesak adalah krisis pangan.
Provinsi Liaoning adalah salah satu dari tiga provinsi penghasil biji-bijian utama di wilayah timur laut Tiongkok. Petani setempat bernama Ms. Li mengungkapkan kepada RFA bahwa saat ini, sebagian besar lahan pertanian di daerah pedesaan telah dibiarkan tanpa tanaman karena kaum mudanya lebih memilih mencari pekerjaan di kota ketimbang menggarap sawah.
Menurut Ms. Li , setiap hari berbicara tentang politik dan situasi epidemi. Ketika epidemi ini berakhir, yang tersisa adalah krisis pangan. Diperkirakan bahwa tahun ini ada 3 bulan akan menghadapi kehabisan persediaan pangan.
“Jika musim semi tahun ini dilewati dengan tanpa menanam, maka di musim dingin nanti Anda akan mati kelaparan. Krisis pangan berarti tidak ada bahan pangan meskipun Anda berduit. Sekarang ini ada sekitar 60% dari lahan petani yang tidak ditanami karena mereka semua sudah berusia lanjut, antara usia 60 sampai 80 tahun. Para pemudanya yang tidak memiliki pekerjaan bahkan juga tidak mau turun ke sawah, kecuali duduk-duduk bermain kartu atau mahjong”, kata Ms. Li .
Hari Senin, 13 April, situs web ‘kunlunce.com’ memuat sebuah artikel yang menarik perhatian banyak netizen. Artikel itu berjudul ‘Manfaatkan Waktu 3 Bulan Ini untuk Bercocok Tanam di Semua Lahan yang Kosong, Jika Tidak, Ratusan Juta Orang akan Mati Kelaparan’.
Artikel tersebut menyebutkan bahwa seperempat tanah pertanian di Tiongkok dibiarkan tanpa tanaman, entah bagaimana pangan dapat diperoleh. Persediaan pangan seharusnya tersebar dan disimpan sendiri oleh masyarakat sesuai kebutuhan, karena penyimpanan yang desentralisasi jelas lebih aman daripada penyimpanan yang sentralisasi.
Namun, otoritas komunis Tiongkok sekarang berusaha menutupi dan semua rakyatnya pun berpura-pura bodoh, akhirnya setelah borok tiba-tiba terkuak, maka akan hancur tanpa bisa tertolong.
Penulis berpendapat bahwa dalam 3 bulan ini kita harus mengolah semua lahan kosong yang ditinggalkan. Katanya, “Ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk menyelamatkan diri.”
Organisasi Pangan PBB (FAO) pada 31 Maret menyatakan bahwa pandemi virus komunis Tiongkok telah menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja menurun dan mengganggu rantai pasokan, yang mempengaruhi ketahanan pangan di beberapa negara dan wilayah. Situasi terburuk diperkirakan terjadi pada bulan April dan Mei 2020.
Saat ini, untuk keamanan nasional, banyak negara telah mengumumkan penangguhan atau pembatasan ekspor bahan pangan. Karena seringnya terjadi bencana sekunder yang disebabkan oleh epidemi, krisis pangan telah muncul di daratan.
Baru-baru ini, media daratan telah membujuk masyarakat untuk tidak menimbun bahan pangan, mengklaim bahwa tingkat swasembada tanaman biji-bijian Tiongkok cukup tinggi dan cadangannya masih cukup. Namun, beberapa hari yang lalu, Wang Hong, kepada badan urusan logistik Tiongkok mengatakan cadangan bahan pangan untuk kota-kota besar dan menengah Tiongkok hanya untuk selama 10-15 hari.
Ada netizen yang menanggapi dengan menulis, “Selama sepersepuluh penduduk Tiongkok ingin menyimpan jatah makanan selama 4 bulan, maka mereka dapat menyapu bersih cadangan yang ada.”
Selain terpengaruh oleh epidemi, penyebab lain dari krisis pangan adalah termasuk serangan hama belalang dan ulat grayak.
Dalam ‘Dokumen No.1 Tahun 2020’ komunis Tiongkok menghendaki urusan pertanian untuk mementingkan kegiatan dalam pencegahan dan pengendalian serangan hama utama seperti ulat grayak dan sebagainya untuk mengamankan persediaan pangan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya serangan hama di Tiongkok adalah peristiwa dengan probabilitas tinggi yang akan mengarah pada pengurangan produksi pangan.
Ulat grayak telah membuat penurunan panen 20% hingga 70% bahan pokok pangan di banyak negara Asia dan Afrika. Departemen terkait memperkirakan bahwa kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh ulat grayak di Tiongkok akan lebih serius daripada tahun ini.
Sejak bulan Maret, ulat grayak secara bertahap telah bergerak ke arah utara dan mencapai wilayah timur laut pada bulan Juni, yang selanjutnya akan mencakup semua daerah penghasil biji-bijian utama. Mengakibatkan produksi biji-bijian menurun.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Jaringan Pemantauan Penyakit dan Serangga Hama Tanaman Tiongkok, area kerusakan tanaman akibat serangan ulat grayak di Tiongkok akan mencapai sekitar 100 juta mu pada tahun 2020.
Pada tahun 2019, wabah belalang padang pasir telah menyebar dari Afrika Timur ke Pakistan dan India, menyebabkan anjloknya panen di tempat-tempat yang terserang.
Tahun 2020 baru dimulai, belalang gurun sudah mengamuk di banyak negara. Wabah belalang di Pakistan, negara tetangga Tiongkok, sekarang sangat parah. 38% dari tanah Pakistan yang cocok untuk berkembang biaknya belalang telah diserang. Kejadian ini sangat jarang terjadi dalam sejarah.
Sedangkan sebelumnya, pada 2 Maret 2020, Biro Kehutanan dan Padang Rumput Nasional Tiongkok telah mengeluarkan pemberitahuan darurat bahwa wabah belalang yang mengamuk di Afrika Timur, Timur Tengah, dan Asia Selatan, dikhawatirkan akan terbawa oleh angin musim dan tiba di daratan Tiongkok melalui 3 rute antara bulan Juni dan Juli. Masing-masing rute dari Pakistan ke Tibet, dari Myanmar ke Yunnan, dan dari Kazakhstan ke Xinjiang.
Keterangan foto: Akibat mewabahnya pneumonia komunis Tiongkok, selain industri menghentikan kegiatan, kesulitan lapangan kerja bagi para mahasiswa lulusan baru, bahkan gejala krisis pangan sudah mulai tampak di Tiongkok akibat tidak ada lagi orang yang tertarik jadi petani. (China photos/Getty Images)
sin/rp
Video Rekomendasi