Ratusan Aktivis pro Demokrasi Hong Kong Ditangkap Saat Turun Jalan pada Hari Ibu

Eva Fu

Polisi Hong Kong menangkap sekitar 230 pengunjuk rasa pada tanggal 11 Mei 2020, yang berusia 12 tahun hingga 65 tahun. Dikarenakan klaim kasus pelanggaran termasuk pertemuan ilegal, penyerangan polisi, dan gagal memberikan bukti identitas, menurut pernyataan polisi Hong Kong. 

Sebanyak 19 orang lainnya didenda karena melanggar peraturan kesehatan yang melarang pertemuan umum lebih dari delapan orang.

Unjuk rasa massal, dipicu oleh kekhawatiran akan pengaruh Beijing yang semakin besar di Hong Kong, meletus bulan Juni lalu. 

Sementara aksi protes sempat mereda di tengah wabah virus, pengunjuk rasa bersiap untuk kembali berunjuk rasa pada akhir minggu ini, setelah  penangkapan aktivis pro-demokrasi baru-baru ini dan campur tangan Beijing yang baru dalam politik Hong Kong.

Ratusan orang berkumpul di mal-mal di seluruh Hong Kong pada hari Minggu siang untuk meneriakkan slogan dan nyanyikan lagu-lagu protes setelah polisi menolak memberikan izin untuk pawai pada Hari Ibu, mengutip peraturan baru yang melarang pertemuan umum untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Polisi anti huru-hara segera muncul untuk membubarkan massa.

Polisi menggunakan semprotan lada di dalam pusat perbelanjaan untuk membubarkan pengunjuk rasa yang menolak untuk pergi dan mengepung petugas, menurut pernyataan polisi.

Di antara mereka yang ditangkap adalah anggota parlemen dari Partai Demokrat Roy Kwong, yang didorong ke jalanan oleh polisi anti huru hara. Seorang petugas menekan kepala Roy Kwong dengan menggunakan lututnya, menurut rekaman media sosial atas adegan itu. 

Roy Kwong, yang didakwa dengan perilaku tidak tertib, adalah satu dari 18 orang yang dirawat di rumah sakit Gary, seorang penduduk di lingkungan Tsim Sha Tsui, mengatakan ia melihat apa yang terjadi di televisi dan melangkah keluar gedung apartemennya untuk memeriksa situasi. Ia mengatakan tindakan pemerintah telah membuat rakyat Hong Kong marah, memaksa rakyat Hong Kong untuk berunjuk rasa di jalanan.

Telah terjadi beberapa kali unjuk rasa  massa pada tahun 2019, ia mengatakan ia sangat menghormati kegigihan dan perilaku sipil para pengunjuk rasa muda. 

“Mereka telah mengorbankan kariernya demi Hong Kong dan demi masyarakat Hong Kon, demi memperjuangkan keadilan bagi Hong, bila tidak berunjuk rasa maka semua itu sirna,” katanya dalam sebuah wawancara.

Jenny, seorang wanita pengunjuk rasa, mengatakan bahwa ia melihat banyak ibu-ibu berpartisipasi dalam acara unjuk rasa pada hari Minggu. Ibu-ibu itu “merawat generasi berikutnya,” katanya, menambahkan bahwa iman Kristennya memberinya keberanian untuk bangkit. “Saya harus berbicara kebenaran dan biarkan dunia tahu.”

Polisi yang kasar dan kadang-kadang menangani para pengunjuk rasa dengan kekerasan, yang mengundang pengawasan internasional tahun lalu, telah memicu aliran keluhan baru setelah acara hari Minggu itu.

Seorang pengunjuk rasa setengah baya di Tsim Sha Tsui mengatakan bahwa polisi mengancam akan memukulnya  sambil memeriksa identitasnya. “Ia tidak memprovokasi polisi, tetapi hanya meminta orang-orang di depan untuk waspada,” kata temannya kepada The Epoch Times Hong Kong.

Saat unjuk rasa berlanjut hingga malam di daerah Mong Kok, polisi melepaskan tembakan lada ke arah  anggota pers dan menyuruh para wartawan berhenti beroperasi dan mencari para wartawan di tempat kejadian.

Seorang jurnalis wanita dari surat kabar setempat Apple Daily pingsan setelah ia ditarik pergi oleh petugas polisi dan dicekik selama sekitar 20 detik, menurut Apple Daily.

TMHK, jurnalis warga, mengatakan para petugas memaksa fotografernya untuk berlutut lebih dari satu jam dan menekuk lehernya menyentuh jalanan. Ia ditahan di sana karena cairan semprotan lada dari tembakan polisi merembes ke jalanan.

Asosiasi jurnalis Hong Kong, bersama dengan setengah belasan asosiasi media setempat lainnya, mengeluarkan pernyataan bersama pada tanggal 11 Mei mengutuk polisi karena “menyerang” dan “mempermalukan” jurnalis.

“Menjelang akhir tahun lalu, kepolisian tahun lalu telah mengubah moto-nya menjadi ‘melayani Hong Kong dengan kehormatan, tugas, dan loyalitas’ … tetapi perilaku kepolisian selama setahun terakhir dan apa yang terjadi semalam benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai moto tersebut,” kata Asosiasi jurnalis Hong Kong.

Shelly, yang memegang spanduk unjuk rasa di Canton Road, sebuah jalan raya utama, mengkritik pemerintah karena menindas hak majelis rakyat atas nama memerangi wabah.

Shelly “tampil berunjuk rasa karena cintanya pada Hong Kong, Saya berpikir bahwa bila satu warganegara melangkah keluar, maka sedikit lebih aman untuk mahasiswa [pengunjuk rasa muda],” kata Shelly kepada The Epoch Times.

Chen, seorang pria yang sedang berkunjung dari Beijing, menyaksikan unjuk rasa yang terjadi. Ia mengatakan warga Hongkong tidak mungkin menyerah upaya mereka. 

“Ingat bagaimana generasi yang lebih tua datang ke Hong Kong? Mereka semua datang ke Hong Kong untuk melarikan diri dari Partai Komunis Tiongkok [setelah Partai Komunis Tiongkok mengambilalih Tiongkok pada tahun 1949],” kata Chen. (Vivi/asr)

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=l1lAJcpztiQ


FOKUS DUNIA

NEWS