Sebuah fosil misterius berusia 68 juta tahun yang ditemukan di Pulau Seymour di lepas pantai Antartika yang tampak seperti bola sepak kempes ternyata merupakan penemuan unik – telur terbesar kedua dalam catatan dan mungkin milik reptil laut besar yang hidup berdampingan dengan dinosaurus.
Fosil telur – berukuran 29 cm x 20 cm – hanya sedikit lebih kecil dari telur burung-burung gajah raksasa Madagaskar yang punah hanya dalam beberapa abad terakhir, kata para ilmuwan, Rabu (17 Juni).
Sementara burung, buaya, dan banyak dinosaurus bertelur keras, tapi telur Antartika ini memiliki cangkang yang lembut, seperti perkamen.
“Telur baru ini adalah telur fosil pertama dari Antartika, dan telur bercangkang lunak terbesar yang pernah ditemukan,” kata ahli paleontologi Universitas Texas, Dr. Lucas Legendre, penulis utama penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature.
“Itu tampak seperti bola sepak yang kempes: memanjang, penyok, dengan banyak lipatan dan lekukan di permukaannya. Satu sisi rata, menunjukkan di sinilah ia bersentuhan dengan dasar laut. Cangkang telurnya sangat tipis dan kurang mineral, seperti telur kadal dan ular,” tambahnya.
Satu-satunya makhluk di Antartika pada waktu itu yang cukup besar untuk bertelur adalah reptil laut: kadal laut yang disebut mosasaurs dan plesiosaurus berleher panjang.
Fosil itu menentang gagasan bahwa hewan-hewan ini tidak bertelur dan sepenuhnya vivipar, melahirkan anak.
“Kami menduga reptil besar ini memiliki strategi reproduksi yang sama dengan kadal dan ular vivipar, yang bertelur dengan cangkang sangat tipis yang menetas segera setelah diletakkan,” kata Dr. Legendre.
Telur itu tidak memiliki sisa embrionik dan kerangka induknya tidak ditemukan untuk mengidentifikasi hewan apa yang meletakkannya.
“Di antara para kandidat adalah spesies mosasaurs yang panjangnya mencapai 15m dan plesiosaurus yang mencapai 10m,” kata Dr. Legendre.
Mosasaur dan plesiosaurus punah pada saat yang sama dengan dinosaurus setelah asteroid menghantam Bumi 66 juta tahun yang lalu.
Para ilmuwan dari Universitas Chili dan Museum Sejarah Alam negara itu menemukan fosil tersebut pada tahun 2011. Awalnya bingung oleh hal itu, mereka menjulukinya “The Thing,” setelah nama film fiksi ilmiah.
“Ketika kami tiba di kemah, kami bertanya kepada ahli geologi yang menemani kami apakah mereka pernah melihat yang seperti itu,” kata peneliti Universitas Chili, Rodrigo Otero.(yn)
Sumber: Asiaone
Video Rekomendasi: