oleh Iswahyudi
Mogok nasional terjadi akibat Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan DPR 5 Oktober 2020. Demo dari berbagai elemen masyarakat menyebar hampir merata di penjuru negeri.
Rakyat marah merasa tak dihargai dan diakomodasi aspirasinya oleh anggota dewan dan pemerintah. Bentrok pendemo dan aparat tak terhindarkan. Aksi vandalisme merebak dimana-mana. Ketika lembaga legislasi minim tampung aspirasi, parlemen jalanan tak terhindarkan.
Setelahnya pemerintah mengatakan para pendemo termakan berita tidak benar yang beredar, meski ada 3 versi draf yang beredar. Bahkan dikabarkan para anggota dewan (DPR) tidak mememiliki draf tersebut.
Banyak pihak mengganggap UU sapu jagat ini asal ketok, tanpa pembahasan yang mendalam yang melibatkan banyak stakeholder.
Ketok palu undang-undang super cepat ini bukanlah kali ini saja. Sebelumnya ada revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang hanya butuh waktu 7 hari untuk disahkan, yang salah satu perubahannya adalah perpanjangan masa kerja hakim MK sampai 70 tahun yang konsekuensinya tidak akan banyak perubahan arah peradilan ini untuk sepuluh dan dua puluh tahun ke depan.
Setahun sebelumnya DPR dan pemerintah juga membuat revisi super cepat untuk revisi Undang-Undang KPK yang hanya butuh waktu 14 hari untuk diketok, yang dampak nyatanya adalah membuat lembaga anti rasuah ini tak bertaji lagi. 6 orang mahasiswa meninggal akibat demo bentrok dengan aparat menentang UU KPK baru.
Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menulis sebuah kolom di media Tempo (12/10/2020) berjudul “Robohnya Demokrasi Kami”2 yang menyoroti gejala democracy backsliding (pembalikan demokrasi) yang sedang melanda Indonesia.
Gejala pembalikan demokrasi ini terjadi bukan lewat sebuah kudeta tapi lewat arsiteksi legislasi oleh agen demokrasi itu sendiri sehingga terjadi bukan penguatan pilar dan institusi demokrasi, melainkan perobohan sendi-sendi demokrasi yang dibentuk di era reformasi semisal KPK dan Mahkamah Konstitusi. Sementara Partai Politik tak tersentuh radar yang harus diperbaiki lewat legislasi, sehingga menghasilkan politik dinasti, panen oligarkhi, dan kelompok kepentingan bisnis di baliknya yang semakin menggurita. Di sisi lain pilar demokrasi yang keempat pers juga malah ikut arus, karena pers juga dikuasi oleh kaum oligarki.
Menanggapi pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang baru, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid-3 (5/10/20)
mengatakan: “Pengesahan Ciptaker hari ini menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia. Mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam.”
“Serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil seharusnya dilibatkan secara terus-menerus dalam pembahasan Undang- Undang ini, dari awal, karena anggota mereka-lah yang akan menanggung langsung dampak dari berlakunya Omnibus Ciptaker.” “Peristiwa penting di rapat paripurna hari ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja, dan akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.”
“Belum lagi, perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus- menerus menjadi pegawai tidak tetap.”
“Kami mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan. Pemerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari mereka yang dirugikan atas pengesahan Ciptaker ini. Pandemi Co- vid-19, lagi-lagi, tidak boleh dijadikan alasan untuk melindungi hak mereka karena bersuara adalah satu-satu-nya jalan untuk didengar bagi mereka yang haknya dirampas.”
“Jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam.”
Arus pembalikan demokrasi yang mengglobal
Apakah fenomena pembalikan demokrasi hanya terjadi di Indonesia saja? Ternyata tidak, fenomena ini ternyata sudah menjadi tren dunia. Sejak 2017 terjadi guncangan, ketidakstabilan politik mulai menjangkiti seluruh dunia. Demokrasi dalam krisis4.
Amerika Serikat menarik diri secara cepat dari perjuangan demokrasi. Tiongkok dan Rusia mengekspor pengaruh anti demokasinya ke berbagai belahan dunia. Norma- norma demokrasi tererosi bahkan di negara pioner demokrasi yaitu Amerika Serikat. Negara-negara korup dan represif mengancam stabilitas dunia. Karnaval kekuatan anti demokrasi menguat di Asia Pasifik.
Populis sayap kanan memenangi kontestasi dan menolak nilai-nilai demokrasi terjadi di Eropa. Rezim otoriter dan ketidakstabilan saling mendukung di Timur Tengah dan Afrika Utara. Para pemimpin baru dari partai lama gagal membawa reformasi terjadi di Afrika Sub-Sahara.
Pada 2018 Skor indeks demokrasi global cenderung menurun5. 2018 dapat dikatakan sebagai tahun kemunduran demokrasi dan protes global. Dalam Indeks Demokrasi 2019, skor global rata-rata untuk demokrasi turun dari 5,48 pada 2018 menjadi 5,44 (pada skala 0-10). Ini adalah skor global rata-rata terburuk sejak indeks kali pertama diproduksi pada 2006. Hasil 2019 bahkan lebih buruk dari yang tercatat pada 2010, setelah terjadinya krisis ekonomi dan keuangan global.
Penurunan skor global rata-rata pada 2019 didorong oleh kemunduran tajam di Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara, yang lebih kecil di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), dan dengan stag-nasi di empat wilayah tersisa yang dicakup oleh Indeks Demokrasi.
Amerika Latin adalah yang terburuk pada 2019, mencatat penurunan 0,11 poin dalam skor regional rata-rata dibandingkan dengan 2018, di angka 6,13.
Dimulai dari basis yang sudah rendah, kemunduran di Afrika Sub-Sahara juga mencolok: skor rata-rata regional turun 0,10 poin dari tahun ke tahun, menjadi 4,26. Kemerosotan demokrasi di Wilayah MENA lebih sederhana tetapi mengikuti tren regresi yang stabil yang dimulai pada 2012, ketika keuntungan Musim Semi Arab mulai berbalik.
Dalam Indeks Demokrasi 2019 berdiri tiga wilayah masih dalam hal skor rata- rata mereka, karena perolehan di beberapa negara dan kategori terhapus oleh kemunduran pada wilayah lain.
Asia dan Australia serta Eropa Timur dan Barat semuanya gagal membuat kemajuan di Indeks Demokrasi pada 2019. Pengecualian aturan regresi pada 2019 adalah Amerika Utara (Kanada dan AS), yang skor regional rata-ratanya naik 0,03 poin karena sedikit peningkatan pada Skor Kanada.
Pada 2019 sebanyak 68 negara mengalami penurunan total skor dibandingkan dengan pada 2018, namun hampir sebanyak (65) mencatat peningkatan. 34 lainnya mengalami stagnasi, dengan sisa skor mereka tidak berubah dibandingkan dengan 2018.
Ada beberapa peningkatan yang mengesankan dan beberapa dramatis menurun, dengan Thailand mencatat peningkatan terbesar dalam skor dan rezim komunis Tiongkok mengalami penurunan terbesar.
Skor Tiongkok turun menjadi 2,26, dan negara itu sekarang berada di peringkat ke-153, mendekati peringkat terbawah dunia, karena diskriminasi melawan minoritas, terutama di wilayah barat laut Xinjiang, dan karena semakin intensifnya pengawasan digital terhadap penduduknya. Hong Kong merosot lagi pada 2019, dari urutan ke-73 hingga ke- 75.
Gelombang protes berjilid-jilid di Hongkong akibat RUU ekstradisi yang menyulut kemarahan dan perjuangan hidup dan mati
rakyat Hongkong melawan otoritarianisme rezim komunis Tiongkok. Dan lebih tragis lagi rezim komunis Tiongkok memberlakukan Undang-Undang keamanan nasional yang membuat demokrasi Hongkong seketika suram dan berakhir.
Perampokan demokrasi saat gulita pandemi
2 Oktober 2020 Freedom House membuat laporan berjudul DEMOCRACY UNDER LOCKDOWN.6 Pandemi bisa diibaratkan sebagai gulitanya malam. Para pencuri dan perampok demokrasi memanfaatkan ketakutan pandemi untuk merampas sendi-sendi dan pilar demokrasi dengan alasan ancaman kesehatan. Laporan itu menyimpulkan bahwa Pandemi COVID-19 telah memicu krisis demokrasi di seluruh dunia.
Sejak wabah virus Corona dimulai, kondisi demokrasi dan hak asasi manusia telah cenderung memburuk di 80 negara. Banyak pemerintah di dunia telah menanggapi dengan terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, membungkam kritik mereka, dan seringkali melemahkan atau menutup institusi penting merusak sistem akuntabilitas yang diperlukan melindungi kesehatan masyarakat. “Pemerintah menjadikan virus corona sebagai kesempatan untuk menghancurkan ruang demokrasi.” Ungkap salah satu responden dari Kamboja.
Rezim Komunis Tiongkok sebagai episentrum pembalikan demokrasi
Fenomana pembalikan demokrasi di tingkat dunia apakah berjalan secara alamiah tanpa ada pihak yang mendalangi? Hal ini tentu tidak terjadi secara alamiah. Dalam indeks demokrasi posisi Tiongkok berada pada posisi paling bawah, namun secara ekonomi membuat dunia terkagum dengan “lompatan kemajuan ekonominya”.
Dari sinilah moralitas dan keimanan global akan kebebasan dan demokrasi digoyahkan oleh sosialisme ala Tiongkok. Xi Jinping dengan Inisiatif jalur sutra menginginkan Tiongkok menjadi model pembangunan dunia. Negara-negara yang menandatangani banyak meniru model pembangunan ala rezim komunis Tiongkok dengan melakukan trade- off antara kebebasan dengan pembangunan ekonomi.
Dengan terang-terangan rezim komunis Tiongkok mengingkari perjanjian tentang daerah otonomi Hongkong, dengan menerapkan undang-undang keamanan nasional yang seketika membuat Hongkong menjadi daerah gelap demokrasi. Undang-undang baru ini ternyata bukan hanya berlaku untuk di teritorial saja tapi bisa menyasar ke seluruh dunia7. Tak bisa dibantah bahwa episentrum democracy backliding jelas dari rezim komunis Tiongkok.
Tesis ini dikuatkan oleh temuan dari buku berjudul Hidden Hand: Exposing How The Chinese Communist Party Is Reshaping The World karya Clive Hamilton yang dirilis September baru lalu. Penulis buku ini, Clive Hamilton dan Mareike Ohlberg menguak fakta mengejutkan bagaimana Partai Komunis Tiongkok telah menyebarkan tentakelnya ke seluruh dunia.
PKT, yang mendominasi pedesaan Tiongkok untuk mengepung kota- kotanya dan memenangkan perang saudara adalah bagian dari latar belakang sejarahnya, sekarang bermaksud melakukan hal yang sama secara internasional.
Menggunakan faktor pengungkit apa pun yang ada – dengan murah hati mendanai sebuah think tank di Washington, memiliki andil saham dari pelabuhan Rotterdam, mendorong klub “persahabatan” seperti Klub Grup 48 Inggris – ini bertujuan untuk menciptakan soft discourses (wacana lunak) internasional dan infrastruktur keras yang mengelilingi pusat-pusat kekuatan barat sehingga dominasi partai di dalam dan luar negeri menjadi tak tertandingi.
Tiongkok memiliki definisi yang sangat berbeda tentang terorisme, hak asasi manusia, keamanan, dan bahkan multilateralisme dengan yang diterima secara internasional.
Inti fenomena dan faktor X dari pembalikan demokrasi ini adalah rezim komunis Tiongkok.
Ini terjadi karena dunia telah masuk dalam penjara pikiran yang dibuat oleh rezim tiran ini dan dunia dalam perangkap sindrome stockholm masif yang diciptakan. Arus besar pembalikan demokrasi ini tidak akan berhenti selama rezim jahat ini masih eksis. Dunia berada dalam persimpangan yang menentukan apakah di jalur kebebasan atau jalur tirani.
End the CCP (Chinese Communist Party) adalah kata kunci kebebasan abad ini. Langit memusnahkan CCP adalah momen yang ditunggu. Namun ini tidak terjadi kalau manusia di bumi masih mengakui-nya sebagai panutan. Hati penduduk bumi harus tergerak tidak mengakui eksistensinya dan memberikan pangsa pasar. Baru langit memusnahkan PKT. Sebab sejatinya, langit dan bumi adalah menyatu.
Catatan:
1.Yayasan LBHI membuat sebuah twittan (12/10/2020) berupa infografis yang berisi kronologi di mana “pada tanggal 5 oktober 2020 konon katanya DPR mengesahkan RUU Omni- bus Law Cipta Kerja menjadi UU, tapi tak ada satupun anggota DPR RI memegang naskah RUU yang disahkannya. 6 hari setelah disahkan beredar tiga naskah yang berbeda yang mengaku sebagai UU Omnibuslaw Cipta Kerja; versi 1028, versi 1052 dan versi 905 halaman. Klarifikasi DPR lebih mengejutkan karena UU masih diperbaiki, lalu manakah yang disahkan dari 3 naskah yang beredar. Atau mereka sahkan UU hantu yang mereka sendiri tak pernah lihat dan baca naskah RUU-nya? Ajaibnya sudah ada orang yang ditangkap polisi dengan ala- san menyebarkan HOAX, padahal polisi yang menangkap tersebut juga tidak tahu manakah naskah yang benar.
2.https://majalah.tempo.co/read/ko- lom/161415/kolom-bivitri-susanti-ro- bohnya-demokrasi-kami?fbclid=IwAR1t 4irGJwUDyPXumNPh8y2KI7turmlAp8V 9GKugMftltElaVVYIhTi2duo
3.https://www.amnesty.id/ruu-ciptak- er-sah-indonesia-berpotensi-alami- krisis-ham/
4.Abramowitz , Michael J (2018), Freedom in the World 2018: Democracy in Crisis , Freedomhouse, Inc,
5.Economist Inteligent Unit (2019), DEMOCRACY INDEX 2019 :A YEAR OF DEMOCRATIC SETBACKS AND POPU- LAR PROTEST
6.Freedom House (2020), DEMOCRACY UNDER LOCKDOWN, 2 Oktober 2020, Freedomhouse.org
7.Baca: https://www.dw.com/en/hong- kong-national-security-law-targets- overseas-activists/a-54608853