Chả rươi, atau telur dadar cacing pasir, adalah hidangan musiman di Vietnam yang dibuat dari cacing laut sepanjang 5 sentimer yang tidak sedap dipandang mata, namun menurut beberapa orang memberi “kelezatan” rasa seperti kaviar.
Setiap tahun, pada akhir musim gugur, warung-warung jajanan di Vietnam utara, khususnya di Hanoi, menyajikan hidangan yang sangat istimewa yang sekilas terlihat sangat biasa, tetapi sebenarnya mengandung bahan yang sangat khas.
Chả rươi terlihat seperti hidangan telur matang yang dicampur dengan berbagai bumbu, tetapi teksturnya yang seperti daging dan rasa seafoodnya berasal dari bahan yang memberi nama pada camilan tersebut – Chả rươi (cacing pasir).
Telur kocok, kulit jeruk keprok, bawang bombay, adas manis dan rempah-rempah, sebelum ditambahkan cacing laut sepanjang 5 cm. Hasilnya adalah telur dadar yang tampak biasa namun rasanya sangat ‘nendang’ yang tidak bisa didapatkan oleh penggemar di bulan-bulan menjelang musim dingin.
Cacing pasir “palolo” tidak aneh di Vietnam. Ini dapat ditemukan di sepanjang pantai di banyak negara yang berbatasan dengan Samudra Pasifik, termasuk Tiongkok, Jepang, Indonesia, atau Samoa.
Cacing pasir juga digoreng dan disajikan dengan roti panggang, dipanggang bersama roti atau bahkan dimakan hidup-hidup. Tetapi mengapa dikonsumsi hanya satu atau dua bulan dalam setahun? Nah, itu ada hubungannya dengan kebiasaan kawin makhluk laut tersebut.
Secara teknis, hanya sebagian cacing palolo yang dipanen untuk dikonsumsi. Cacing pasir Palolo berkembang biak secara epitoky, suatu proses di mana cacing mulai menumbuhkan segmen khusus dari belakang, yang terus meningkat hingga cacing dapat dengan jelas dibagi menjadi dua bagian.
Bagian belakang ini berisi telur dan sperma, dan ketika waktunya untuk kawin (biasanya selama bulan kesembilan dan kesepuluh dari kalender lunar), mereka terlepas dari cacing dan naik ke permukaan, membentuk massa yang besar dan merayap.
Cacing pasir terus hidup di dasar laut, dan bisa mengalami epitoky beberapa kali dalam setahun. Karena manusia hanya memanen beberapa segmen reproduksi yang terapung-apung ini, populasi cacing pasir tidak terpengaruh.
Berabad-abad yang lalu, para nelayan dan petani tidak tahu kapan kumpulan cacing yang merayap akan muncul ke permukaan, jadi melihat mereka adalah masalah keberuntungan. Orang-orang akan terjun ke dalam air dan menangkap cacing sebanyak mungkin dengan menggunakan jaring atau tangan kosong.
Namun saat ini, para petani di Vietnam sudah mulai mengisi kolam dan sawah mereka dengan cacing karena mereka dapat hidup di lumpur. Saat cacing muncul pada hari-hari tertentu dalam kalender lunar, mereka hanya mengeringkan kolam mereka untuk memanen bahan yang berharga itu.
Tetapi karena cacing pasir telah menjadi sumber daya yang berharga baik di Vietnam dan Tiongkok, para petani tidak lagi mengonsumsinya, lebih memilih menjualnya untuk mendapatkan keuntungan.
Sebelum ditambahkan ke telur dadar chả rươi, cacing pasir harus direbus untuk menghilangkan tentakel dan bau amisnya. Yang terakhir ini juga dapat dihilankan dengan kulit jeruk keprok yang segar dan semua herba.
Namun, karena cacing pasir bisa jadi terlalu mahal bagi sebagian orang, sehingga lama kelamaan versi chả rươi yang tidak terlalu mahal muncul, mereka mengganti cacing pasir dengan daging babi. Tetapi untuk penggemar sejati, versi asli yang lebih mahal adalah satu-satunya pilihan yang nyata.
Di ibu kota Vietnam, Hanoi, cha ruoi sangat populer sepanjang tahun ini, dan baunya memenuhi jalan, menggoda beberapa orang yang lewat, dan juga memicu refleks muntah pada orang lain. (yn)
Sumber: odditycentral
Video Rekomendasi: