Erabaru.net. Baru- baru ini Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif dalam memberikan atau menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah serta adanya peningkatan perbaikan pelayanan publik.
Hal tersebut beliau sampaikan saat memberikan pidato dalam rangka peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI. Jokowi juga memberikan pernyataan bahwa pajak gaji pekerja media digratiskan hingga Juni 2021 pada Selasa, 9 Februari 2021.
Namun, yang perlu perhatian Presiden Jokowi lebih dari sekedar pernyataan retorik dan kebijakan spotan yang tak konsisten, terdapat beberapa catatan mendasar bagi situasi kebebasan berekspresi dan pers di Indonesia saat ini:
Selama 2020 hingga awal 2021, justru banyak terjadi peristiwa yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden tersebut. Seperti munculnya Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 dari Kapolri terkait antisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/Presiden/Pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19.
Lalu ada penangkapan peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, yang sering menyuarakan kritik terhadap jalannya pemerintahan. Serta surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada salah satu pengguna akun twitter yang memberikan kritik guna perbaikan dan pembenahan penanganan Covid-19 di Indonesia.
Bahkan yang terbaru, di awal Januari 2021 terdapat somasi dari kuasa hukum salah satu Gubernur yang mengancam akan melaporkan setiap perbuatan yang menyudutkan kliennya ke Polisi dengan menggunakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE terkait unggahan foto atau video yang berhubungan dengan bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan hasil Survei Indikator Politik yang dirilis pada 25 Oktober 2020 lalu, 36% responden dari 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis serta 47,7% responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat.
Selain itu, berdasarkan survey yang dilakukan oleh ICJR, LBH Pers dan IJRS, sebanyak 35 dari 125 responden jurnalis atau setara 28%, mengungkapkan pernah mengalami penyensoran atas berita yang mereka buat.
“Teguran atau peringatan tidak resmi dari pihak pemerintah menjadi bentuk penyensoran yang paling banyak dialami oleh responden sebesar 25,7%. Dari sisi pelaku penyensoran, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku penyensoran dengan melakukan penyensoran sebesar 17%,” demikian catatan ICJR, LBH Pers dan IJRS.
Sementara, berdasarkan laporan LBH Pers, sepanjang 2020 terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis, dimana 5 kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan 3 kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.
Dari fenomena tersebut, ICJR, LBH Pers, dan IJRS melihat bahwa pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam memberikan kritik kepada pemerintah.
Selain itu, pasal-pasal pidana seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu masih kerap digunakan untuk tujuan membungkam ekspresi yang sah. Di sisi yang lain, aparat penegak hukum cenderung bertindak sewenang-wenang dalam menindak warga yang berbeda pandangan politiknya atau memberikan kritiknya terhadap pemerintah. Serta jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan pers masih berada pada tahap yang mengkhawatirkan dengan adanya praktik berbagai macam bentuk serangan baik berbentuk serangan fisik, non-fisik, siber dan hukum.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR, LBH Pers, dan IJRS mendesak kepada Pemerintah dan DPR jika serius menyatakan mendorong rakyat untuk kritis, bukan hanya pernyataan kosong belakang, maka harus melakukan evaluasi dan revisi atas UU ITE, terutama tindak pidana yang memiliki rumusan sangat “lentur” dan “karet” seperti Pasal 27 ayat (3) maupun 28 ayat (2) UU ITE, melakukan pengawasan yang ketat terhadap aparat penegak hukum terkait penggunaan pasal-pasal yang justru membungkam kritik-kritik masyarakat sebagai ekspresi yang sah, serta mendorong perbaikan hukum acara pidana di Indonesia melalui pembaruan KUHAP/RKUHAP.
ICJR, LBH Pers, dan IJRS juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk memperkuat peran Dewan Pers dalam menangani kasus-kasus terkait dugaan tindak pidana yang melibatkan Jurnalis dalam melaksanakan kerja-kerja pers yang seharusnya bebas dari ancaman kriminalisasi dan mengingatkan aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi produk pers dan jurnalis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara utuh.
(ICJR/LBH Pers/IJRS)