oleh Li Yun
Laporan sejumlah media Myanmar menyebutkan bahwa sekitar 1.000 orang warga berkumpul di depan Kedutaan Besar komunis Tiongkok di Kota Yangon untuk berunjuk rasa pada (13/2/2021).
Para pengunjuk rasa memasang spanduk dalam bahasa Mandarin dan Inggris, seperti “Berhenti membantu kudeta militer”, “Para teknisi jaringan dari Tiongkok agar segera pergi dari Myanmar”, “Dukung Myanmar dan anti-kediktatoran”, dan slogan lainnya yang berisi kutukan terhadap Beijing yang bercampur tangan dalam urusan internal Myanmar.
Seorang guru wanita taman kanak-kanak yang ikut dalam unjuk rasa mengatakan bahwa, banyak orang yakin bahwa rezim Beijing berada di belakang kudeta militer Myanmar.
Seorang mahasiswi perguruan tinggi juga mengatakan bahwa, untuk mendapatkan kembali demokrasi membutuhkan dukungan dari dunia. Jika Tiongkok adalah tetangga yang baik, maka pemerintah Tiongkok seharusnya mengulurkan tangan membantu untuk mewujudkan masa depan yang sangat diharapkan oleh kaum muda Myanmar.
Keterangan Foto : Pada 11 Februari 2021, sejumlah warga Myanmar berkumpul di depan gedung kedutaan Tiongkok di Yangon untuk memprotes Beijing yang secara rahasia mendukung militer Myanmar melakukan kudeta. (STR/AFP/Getty Images)
Sementara itu, setelah militer Myanmar melancarkan kudeta pada 1 Februari, mereka memblokir Facebook, Twitter, Instagram dan media sosial lainnya.
Pada 6 Februari, unjuk rasa berskala besar meletus di kota terbesar Yangon, Myanmar. Ribuan warga turun ke jalan untuk mengutuk kudeta tersebut. Pada hari yang sama, pihak militer Myanmar pun memblokir Internet.
Situs web pemantau jaringan ‘NetBlocks’ melaporkan bahwa pemblokiran internet terjadi secara nasional, hingga tingkat koneksi jaringan telah turun menjadi 16% dari kondisi normal. Saksi melaporkan bahwa, layanan data seluler dan jaringan nirkabel diblokir.
Ada juga berita di internet yang menyebutkan bahwa, komunis Tiongkok telah mengirim teknisi untuk membantu militer Myanmar memblokir internet dan merumuskan undang-undang keamanan dunia maya yang baru bagi Myanmar. Sebuah “rancangan” undang-undang keamanan siber, telah menyebar luas di media sosial yang kemudian menyebabkan peningkatan protes masyarakat Myanmar terhadap pemerintah komunis Tiongkok.
Untuk memblokir pengunjuk rasa, Kedutaan Besar komunis Tiongkok di Myanmar memasang pagar kawat berduri di jalanan depan gedung kedutaan.
Keterangan Foto : Pada 12 Februari 2021, para pengunjuk rasa memegang spanduk menentang kudeta militer dan mendukung demokrasi di luar Kedutaan Besar Rusia di Kota Yangon, Myanmar. (Hkun Lat/Getty Images)
Gelombang protes menyebar sampai kota-kota besar lainnya di seluruh Myanmar. Media independen berbahasa Inggris ‘Myanmar Now’ melaporkan bahwa, tren protes tidak menunjukkan adanya penurunan, bahkan semakin banyak pegawai negeri dan bahkan polisi bergabung dalam barisan protes.
Voice of America melaporkan bahwa, komunis Tiongkok memiliki kepentingan ekonomi dan strategis yang signifikan di Myanmar dan sering kali mendukung sikap yang diambil militer Myanmar. Pasca kudeta di Myanmar, negara-negara Barat telah mengutuknya, tetapi pemerintah komunis Tiongkok bersikap ambigu dengan mengatakan harapan agar situasi di Myanmar stabil secepatnya.
Beberapa media resmi komunis Tiongkok bahkan, menyebut pengambilalihan kekuasaan oleh militer tersebut sebagai gerakan “reorganisasi kabinet”.
Jiang Feng, komentator media mengatakan bahwa Myanmar terletak di antara Tiongkok dengan India. Lokasi geografis ini selain kondusif untuk mengatasi konflik saat ini antara Tiongkok dengan India yang bersaing dalam status sebagai kekuatan di Asia, Myanmar juga merupakan fokus perebutan sistem politik antara Amerika Serikat dengan komunis Tiongkok.
Jiang Feng mengatakan bahwa, jika komunis Tiongkok ingin memanfaatkan situasi dimana kebijakan Tiongkok sedang relatif longgar akibat perubahan arena politik Amerika Serikat, bahkan jika “lubang jendela” ini dapat dimanfaatkan pula untuk menyelesaikan masalah Taiwan, maka komunis Tiongkok harus bersiap untuk perang dengan Amerika Serikat. Jadi, bagi komunis Tiongkok, Myanmar yang merupakan “leher” dalam penyaluran energi ini akan berupaya dipertahankan agar tidak sampai “tercekik” oleh Amerika Serikat. Dengan demikian, lokasi geografis Myanmar menjadi fokus strategis dari pertarungan antara komunis Tiongkok dengan Amerika Serikat. (sin)