EpochTimesId – Pemerintah Tiongkok mengklaim akan menjadikan Tiongkok sebagai negara ekonomi maju sebelum tahun 2050. Pemerintah memiliki penekanan khusus pada promosi inovasi dan teknologi. Namun, media asing menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata masyarakat Tiongkok yang rendah, bisa jadi akan menggagalkan pencapaian target itu.
Bloomberg seperti dikutip dari EpochTimes.com melaporkan, bahwa masyarakat negara-negara Barat beranggapan bahwa sekolah di Tiongkok penuh dengan murid-murid genius di bidang matematika dan sains. Tetapi ini adalah pemahaman yang keliru.
Pernyataan tentang murid-murid Tiongkok memiliki nilai tinggi dalam ujian standar itu sesungguhnya adalah hasil evaluasi terhadap murid-murid kota besar saja. Tetapi, ketika populasi yang lebih luas disertakan, maka peringkat ujian di semua disiplin ilmu jadi menurun.
Data resmi juga mengkonfirmasi situasi tersebut. Menurut Sensus Penduduk tahun 2010, tercatat lebih dari sembilan persen warga Tiongkok pernah mengikuti pendidikan tingkat tinggi. Sementara sebanyak 65 persen warga tidak pernah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas.
Jumlah mahasiswa pascasarjana di Tiongkok dari tahun 2008 hingga 2016 telah menurun sebanyak 1%. Selain di daerah makmur, masih terdapat cukup banyak warga Tiongkok yang belum memiliki ketrampilan dasar yang dibutuhkan oleh ekonomi berpenghasilan tinggi.
Hal yang memperparah kondisi adalah jutaan anak di daerah pedesaan itu dibesarkan oleh anggota famili, orangtua mereka bekerja di kota-kota yang jauh sehingga kurang perhatian dan memiliki tingkat kecerdasan dan rapor yang lebih buruk daripada teman sebayanya yang kondisinya berbeda.
Tim peneliti yang dipimpin Ekonom Universitas Stanford, Scott Rozelle menemukan bahwa lebih dari setengah siswa kelas delapan di daerah pedesaan miskin memiliki IQ kurang dari 90, sehingga sulit bagi mereka untuk mengikuti kurikulum resmi. Sepertiga anak desa tidak menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Dengan mempertimbangkan fakta bahwa 15% anak-anak perkotaan memiliki tingkat IQ yang rendah, Rozelle membuat prediksi yang menakjubkan, “Ketika anak-anak ini kelak menjadi tenaga kerja di Tiongkok, maka 400 juta orang tenaga kerja itu akan tergolong memiliki tingkat pendidikan rendah atau IQ rendah.”
Rozelle menyebut hal ini sebagai Krisis yang tak terlihat.
Pada saat ini, orang bisa dengan mudah untuk mengabaikan masalah ini. Tingkat pengangguran resmi tetap rendah, upah meningkat dan kelas ekonomi menengah terus bertumbuh. Tetapi seiring dengan percepatan penambahan populasi dan kemajuan teknologi, kesenjangan pendidikan akan segera meningkat.
Seiring dengan kenaikan upah, para produsen Tiongkok akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dari negara-negara berkembang lainnya. Seiring meningkatnya otomatisasi, maka manufakturing akan membutuhkan tenaga-tenaga yang lebih ahli.
Namun, tampaknya Tiongkok belum siap memenuhi perubahan ini. Ketika hanya 25% dari populasi usia kerja yang memiliki ijazah SMA, Tiongkok akan sulit untuk mempertahankan ekonominya yang maju, yang berorientasikan pelayanan.
Rozelle menemukan, dalam 70 tahun terakhir, di setiap negara yang pendapatan ekonominya telah melompat dari menengah ke pendapatan lebih tinggi, sebelum dimulainya masa transisi, setidaknya 75% penduduk usia kerja mereka memiliki ijazah SMA.
Dengan cuma mengandalkan sejumlah kecil sekolah elit, Tiongkok akan tidak mampu mendorong perkembangan ekonomi negara berpenduduk 1,4 miliar itu. Tetapi untuk meningkatkan kualitas pendidikan membutuhkan investasi dan reformasi.
Bloomberg dalam artikelnya memberikan 3 saran. Pertama, Perlu meningkatkan investasi dalam bidang pendidikan. Bahkan pada sentral-sentral kota besar di Tiongkok, masih sering dijumpai satu ruang kelas dijejali sekitar 50 orang murid yang akhirnya banyak upaya pendidikan terpaksa ‘berpindah tangan’ ke pihak orangtua.
Tugas mendesak kedua adalah mereformasi sistem kependudukan. Sistem ini justru menyebabkan banyak anak desa tinggal berjauhan dengan orangtua mereka karena mereka tidak diijinkan masuk sekolah di kota meskipun orangtua mereka bekerja di kota.
Tugas terakhir adalah mengubah kurikulum pendidikan. Pendidikan di Tiongkok lebih menganut pada sistem hafalan. Artikel Bloomberg berpendapat bahwa penekanan seharusnya dialihkan pada pengembangan keterampilan seperti kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah.
Ini akan membantu meningkatkan kemampuan inovasi dan kewirausahaan, serta membuat murid tidak gentar untuk berkompetisi di era robotika dan pesawat tak berawak. (Qin Yufei/Sinatra/waa)