EpochTimesId – Pihak berwenang Tiongkok mengumumkan kebijakan tentang pelonggaran kepemilikan saham perusahaan sektor keuangan Tiongkok bagi investor asing. Kesempatan ini tampaknya cukup menggoda, tetapi peminat asing perlu waspada, bisa jadi kebijakan baru ini adalah sebuah jebakan.
Wakil Menteri Keuangan Tiongkok, Zhu Guangyao pada 10 Nopember 2017 mengumumkan kebijakan tentang pelonggaran kepemilikan asing atas perusahaan keuangan di Tiongkok. Investor asing sekarang akan diizinkan untuk memiliki saham di perusahaan-perusahaan sekuritas, asuransi, pengelola keuangan, dan perdagangan berjangka. Perbankan pun tak akan ketinggalan.
Bloomberg melaporkan bahwa meskipun ini terdengar seperti langkah maju menuju pasar yang lebih terbuka. Tapi jika demikian, mengapa kebijakan ini justru bertolak belakang dengan kecenderungan pemerintah Tiongkok ingin memperkuat proteksionisme dan nasionalisme ekonomi mereka?
Ketika pemerintah secara perlahan menutup pasar konsumennya, mengapa sistem keuangannya justru terbuka bagi investor asing?
Apakah ada motif tersembunyi?
Sistem keuangan Tiongkok selama 2 tahun terakhir mengalami fluktuasi, alasan mendasarnya adalah pertumbuhan ekonomi mereka yang pesat, kini terus mengalami pelemahan.
Akibat dari menurunnya tenaga kerja pedesaan, populasi yang menua, dan kenaikan biaya tenaga kerja dan produksi batubara yang sudah mencapai puncak, jadi perlambatan ini sebenarnya sudah dapat diprediksi. Namun meski terjadi perlambatan ekonomi, harga rumah dan harga saham terus membumbung.
Aset mengalami Kenaikan harga, namun fundamental ekonomi melambat. Penyesuaian pasar bisa saja terjadi. Bencana pasar saham tahun 2015 mungkin merupakan awal dari meledaknya sebuah gelembung besar.
Pada tahun lalu, modal keluar Tiongkok mengalir deras. Pemerintah Tiongkok terpaksa menjual sejumlah besar cadangan devisa untuk mendukung nilai mata uang mereka, Renminbi.
Pada akhirnya, pemerintah terpaksa turun tangan untuk mengekang laju pelarian modal.
Namun, sistem keuangan Tiongkok masih terus berjalan ‘di atas es tipis’ sehingga membutuhkan kehati-hatian yang tinggi. Salah satu alasannya adalah karena tingkat hutang yang melonjak.
Tingginya tingkat hutang dapat menjadi indikasi lemahnya sistem keuangan. Ketika semua orang berhutang dan dalam waktu bersamaan menunggak, sangat mungkin sekali sistem keuangan akan terganggu.
Ketika perusahaan keuangan memiliki tingkat leverage yang tinggi, mereka cenderung mengalami krisis likuiditas atau penurunan cadangan.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus melamban, namun tingkat hutang dan harga perumahan terus meningkat. Banyak orang percaya bahwa pasar perumahan sudah berada dalam zona gelembung.
Perusahaan Tiongkok sudah terbebani hutang yang menumpuk. Jika pertumbuhan terus melambat, mereka mungkin saja tidak mampu membayar hutang mereka dan ini akan menyulut ambruknya sejumlah Bank besar Tiongkok.
Bisa saja akibat kekhawatiran terhadap resiko ini, Gubernur Bank Sentral Tiongkok Zhou Xiaochuan baru-baru ini mengperingatkan bahwa, sektor keuangan Tiongkok mungkin akan muncul Minsky Moment yang mengacu pada jatuhnya harga aset yang disebabkan oleh pinjaman yang berlebihan.
Karena potensi terjadinya krisis keuangan di Tiongkok cukup tinggi, jika hal tersebut menjadi kekhawatiran para penguasa di Beijing, maka tidak heran jika mereka menggunakan jurus ‘mendahului serangan’ untuk melepaskan diri dari ancaman. Dan cara termurah untuk menyelamatkan perusahaan keuangan yaitu dengan menyertakan pihak asing dalam permodalan mereka.
Modal Barat mungkin akan dijadikan ‘modal konyol’ bagi perusahaan sektor keuangan Tiongkok yang sedang mengalami kesulitan. Ketika saham Barat, real estat dan segala sesuatu terlihat terlalu mahal, investor Barat sangat ingin menemukan beberapa transaksi yang bagus, dan menguntungkan.
Jadi Tiongkok dengan pasarnya yang sangat besar dan pertumbuhannya yang tampak cepat, selalu menjadi godaan yang menarik.
Masuknya modal asing ke sektor keuangan Tiongkok pasti akan bermanfaat dalam penyelamatan terhadap pecahnya gelembung perumahan, krisis likuiditas atau arus pailitnya perusahaan di Tiongkok.
Meskipun pemerintah di Beijing masih akan terus melakukan banyak tindakan pelepasan ancaman, tetapi begitu modal asing masuk maka bank asing-lah yang akan menanggung sebagian besar risiko.
Oleh karena itu, sebelum pemodal Barat, terutama investor institusional berinvestasi di sektor keuangan Tiongkok, mereka harus berpikir panjang.
Negara-negara Barat baru saja pulih dari pecahnya gelembung mereka sendiri, tentu saja harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam risiko gelembung di Tiongkok. (Qin Yufei/Sinatra/waa)