Anders Corr
Sejak tahun 2014, menurut sebuah laporan baru yang dirilis oleh Uyghur Human Rights Project -UHRP- dan Justice for All, pihak berwenang Tiongkok telah menangkap setidaknya 1.046 Imam Muslim dari wilayah Xinjiang (Turkistan Timur).
Penangkapan tersebut, menurut sebuah email dari UHRP, adalah sebuah “upaya oleh pemerintah Tiongkok untuk memutuskan transmisi pengetahuan agama lintas generasi.”
Direktur Eksekutif Uyghur Human Rights Project Omer Kanat menuduh bahwa “penangkapan para imam di Xinjiang, mengungkap niat pemerintah Tiongkok: untuk menghancurkan Iman dan tradisi kita, sekali dan untuk selamanya. Imam-imam Uyghur dan Imam-imam Turki lainnya, adalah para pemelihara pengetahuan dan pengajaran agama. Menghilangkan guru-guru agama adalah sebuah senjata untuk melenyapkan Islam dari tanah air kita.”
Dari 1.046 kasus, 428 imam dikirim ke penjara-penjara formal, dan 202 imam ditahan di kamp-kamp konsentrasi, termasuk fasilitas-fasilitas penahanan “pendidikan ulang.”
Delapan belas imam tewas selama dalam penahanan, dan dari imam-imam yang dipenjara, 96 persen dijatuhi hukuman lima tahun atau lebih, dan 25 persen dijatuhi hukuman sampai 20 tahun atau lebih, seringkali dengan tuduhan-tuduhan yang tidak jelas.
Tuduhan-tuduhan mencakup, “mengajar orang-orang untuk berdoa,” “menolak menyerahkan Alquran untuk dibakar,” “belajar selama enam bulan di Mesir,” dan hukuman seumur hidup karena “menyebarkan Iman dan karena mengatur orang-orang.”
Menurut Uyghur Human Rights Project, 1.046 kasus yang tercatat adalah “tidak lengkap, memberikan kerahasiaan yang ekstrim dan kurangnya transparansi di Wilayah Uyghur, dan sangat mungkin mewakili sebagian kecil dari jumlah total tokoh agama yang ditahan.”
1.046 Penahanan itu tidak selalu mencakup para imam yang melarikan diri dari Tiongkok untuk menjadi pengungsi-pengungsi religius. Para imam cenderung melarikan diri dari Tiongkok. Itu ketika kendali-kendali pemerintahan Tiongkok terhadap aktivitas-aktivitas para Imam, “mencapai titik di mana para imam merasa bahwa mereka tidak dapat lagi memainkan sebuah peran positif bagi jemaatnya dan semakin berisiko untuk ditahan,” menurut email Uyghur Human Rights Project.
Peter Irwin, penulis laporan tersebut, berkata bahwa “penganiayaan Tiongkok terhadap para imam telah terjadi beberapa dekade silam, tetapi baru pada tahun 2016 sekrup-sekrup itu semakin diperketat dan ribuan orang cenderung ditangkap dan dijatuhi hukuman.”
Partai Komunis Tiongkok sangat menindas agama, sejak Partai Komunis Tiongkok mengambil alih kekuasaan pada tahun 1949, termasuk melawan umat Muslim, umat Buddha Tibet, umat Kristen, dan praktisi Falun Gong.
Praktik “pendidikan ulang” oleh rezim Tiongkok baru-baru ini berasal dari tindakan yang diambil terhadap Falun Gong.
Menurut ahli Tiongkok Adrian Zenz, “Pada 1950-an, Tiongkok menetapkan praktik-praktik ‘reformasi melalui tenaga kerja’ (劳动 改造) dan praktik-praktik ‘pendidikan ulang melalui kerja’ (劳动 教养). Kemudian, di awal tahun 2000-an, pemerintah Tiongkok memprakarsai kelas-kelas ‘transformasi melalui pendidikan’ (教育 教育) untuk praktisi Falun Gong.”

Langkah-langkah kendali sosial yang keras yang dirintis di Tibet, dipindahkan ke Xinjiang pada tahun 2016.
Menurut Adrian Zenz, “Pada bulan Agustus 2016, Chen Quanguo menjabat sebagai Sekretaris Partai Komunis Tiongkok yang baru di Xinjiang. Sebelumnya ia menjabat sebagai Sekretaris Partai Komunis Tiongkok di Tibet, di mana ia menenangkan wilayah yang bergolak itu melalui sebuah kombinasi mekanisme-mekanisme keamanan yang kuat dan kendali sosial yang meluas.”
Freedom House menemukan bahwa “pihak berwenang Tiongkok memberlakukan paksaan-paksaan yang berat terhadap praktik agama Buddha Tibet, khususnya pengabdian kepada Dalai Lama yang diasingkan, sebuah prinsip inti bagi banyak umat.”
Ada kehadiran pemerintah Tiongkok yang menghalangi agama di Tibet, termasuk pengacauan-pengacauan ke dalam biara, kampanye-kampanye “pendidikan ulang” yang rutin, menyebar luas pengawasan, membatasi perjalanan, mengurangi komunikasi, dan peraturan-peraturan yang menghambat praktik agama oleh mahasiswa dan pegawai pemerintahan.
“Pasukan keamanan Tiongkok di wilayah Tibet, bergerak cepat untuk menggunakan langkah-langkah yang memaksa untuk menekan perbedaan pendapat agama yang dirasakan, termasuk penggunaan peluru tajam terhadap warga sipil yang tidak bersenjata,” menurut Freedom House.
Hal yang sama ditemukan di Xinjiang. Menurut Uyghur Human Rights Project, “Selain penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh agama [di Xinjiang], pihak berwenang melarang pengajaran agama di semua tingkat pendidikan; melarang penggunaan nama-nama tradisional Islam seperti Muhammad dan Madinah untuk anak-anak Uyghur. Kemudian melarang memelihara jenggot yang panjang untuk pria Uighur dan melarang wanita Uighur memakai jilbab; sebuah kampanye ‘anti-halal’ yang dilembagakan untuk mencegah pelabelan makanan dan produk-produk lainnya dengan cara ini.
Kemudian, mengkriminalisasi perjalanan Haji tanpa persetujuan pemerintah; dan mengadopsi undang-undang yang secara luas mendefinisikan praktik-praktik keagamaan yang dilakukan setiap hari sebagai ‘para ekstrimis.’ Isinya yang mana didesak oleh sekelompok ahli independen PBB, untuk dicabut secara keseluruhan.”
Uyghur Human Rights Project, membandingkan kampanye saat ini melawan Muslim Turki dengan kampanye “kengerian Revolusi Kebudayaan seperti yang dialami di Turkistan Timur,” kecuali saat ini Partai Komunis Tiongkok memiliki akses yang lebih besar ke “teknologi-teknologi canggih ke ‘memprediksi’ kriminalitas. Bahkan, menyusup ke unit sosial yang paling intim, yaitu rumah tangga.”
Laporan-laporan sebelumnya telah merinci bagaimana Partai Komunis Tiongkok mengirim kader-kader suku Han ke rumah-rumah Muslim Turki di Xinjiang, untuk tinggal bersama mereka, berbagi makanan, dan tempat-tempat tidur yang luas, dan memastikan bahwa Muslim Turki tidak lagi religius. Tanda agama apapun atau perbedaan pendapat di rumah, dapat menyebabkan para penghuni rumah tersebut dikirim ke kamp-kamp “pendidikan ulang.”
Orang-orang Uighur merasa dimata-matai di rumahnya sendiri, dipaksa makan daging babi dan minum minuman keras. Mereka dipaksa untuk menghentikan kegiatan keagamaan, dan menyerahkan putri-putrinya untuk dinikahi para pria suku Han.
Pihak berwenang Tiongkok melangkah lebih jauh untuk mengiklankan para wanita Uighur menikah dengan para pria suku Han.
Pendekatan penindasan terhadap agama yang dilakukan Tiongkok, didorong oleh sebuah keyakinan anti-agama ditemukan dalam Marxisme, telah menjadi bencana bagi Tiongkok.
Tidak hanya dikritik keras oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional, tetapi dapat dikatakan berkontribusi pada korupsi dan kurangnya keterlibatan sipil di Tiongkok.
Sebaliknya, agama dan kehadiran di gereja meningkatkan keterlibatan dalam masyarakat sipil, misalnya, Amerika Serikat dan Kanada.
Tentu saja, Partai Komunis Tiongkok punya alasannya. Agama adalah sebuah ancaman bagi kendali Partai Komunis Tiongkok yang berkelanjutan. Di mana agama sering berperan dalam demokratisasi negara-negara. Sedangkan demokratisasi dalam kasus Tiongkok saat ini, kemungkinan akan berarti berakhirnya Partai Komunis Tiongkok sebagai partai yang berkuasa di Tiongkok.
Tetapi, tidak perlu sesederhana itu agama versus komunisme. Hal itu akan ada dalam kepentingan-kepentingan Partai Komunis Tiongkok sendiri, untuk mengambil sebuah pendekatan yang tidak terlalu keras terhadap agama. Tentunya dengan cara membangun jembatan dengan keagamaan, daripada langsung melarang keagamaan.
Gereja Katolik, misalnya, telah menunjukkan bagaimana keagamaan dapat melayani bagian masyarakat termiskin. Keagamaan cenderung menjadi sebuah kekuatan untuk kebaikan dalam masyarakat, karena keagamaan mempromosikan etika dan moralitas yang dapat meningkatkan perilaku warganegara di mana negara dan hukum tidak dapat mencapainya.

Kamera-kamera pengawasan yang ada di mana-mana di Tiongkok, tidak dapat melihat semuanya. Kamera-kamera pengawasan tersebut tidak dapat melihat ke dalam jiwa.
Jika Partai Komunis Tiongkok benar-benar menginginkan apa yang baik bagi masyarakat, Partai Komunis Tiongkok harus mempercayai agama sebagai sebuah mitra yang setara dalam upaya Partai Komunis Tiongkok untuk mereformasi Tiongkok, dan dunia.
Kerendahan hati dan rasa kemitraan semacam itu, akan menjadi sebuah langkah mundur yang besar dari ambang perang, karena dunia akan menyadari bahwa Tiongkok telah memulai sebuah babak internal yang sebenarnya dari reformasi hak asasi manusia.
Seperti halnya kemitraan apa pun, Partai Komunis Tiongkok harus berharap untuk diubah secara damai oleh agama, seperti halnya Partai Komunis Tiongkok melakukan perubahan.
Evolusi masyarakat yang saling menghormati adalah satu-satunya cara menuju perubahan politik yang damai.
Pendekatan Partai Komunis Tiongkok saat ini, berupaya mengendalikan agama dari atas ke bawah adalah pasti gagal. Bahkan, banyak suku Han Tiongkok, misalnya, secara diam-diam bergabung dengan agama-agama terlarang.
Beberapa orang mungkin mengklaim bahwa reformasi sukarela oleh Partai Komunis Tiongkok adalah sebuah mimpi yang mustahil. Tetapi, dihadapkan pada alternatif kemungkinan konflik militer di era nuklir, kita harus memimpikan yang mustahil.
Anders Corr, seorang Kepala Sekolah di Corr Analytics Inc., Penerbit Jurnal Risiko Politik, dan telah melakukan penelitian ekstensif di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Dia menulis buku berjudul “The Concentration of Power” dan “No Trespassing”, dan mengedit “Great Powers, Grand Strategies”.