Komunis Tiongkok Memberlakukan Kebijakan 3 Anak Tetapi Hanya Menimbulkan Ramai Komentar di Jejaring Sosial

oleh Zheng Gusheng

Segera setelah pemerintah komunis Tiongkok melakukan Sensus Penduduk Nasional ke-7 pada tahun 2020 yang hasilnya baru diumumkan pada pertengahan bulan Mei tahun ini, pertemuan Politbiro langsung “menyambutnya” dengan mengumumkan kebijakan yang mengizinkan warga daratan Tiongkok memiliki 3 orang anak. 

Kebijakan tiga anak yang diberlakukan komunis Tiongkok dianggap menyoroti intensifikasi krisis populasi Tiongkok yang terjadi saat ini. Berita tersebut dengan cepat masuk ke dalam daftar pencarian teratas di Weibo, tetapi banyak netizen khususnya yang masih muda menanggapi secara negatif.  

Para anak muda mengatakan tidak mampu untuk menanggung beban mengasuh, memelihara, melindungi, dan mendidik anak. Selain itu, mereka juga tidak bersedia untuk bersusah payah memelihara anak, yang kemudian hanya dijadikan sebagai sapi perah bagi pemerintah komunis Tiongkok.

Ini bermula dari laporan media corong Partai Komunis Tiongkok, ‘Xinhua’ pada hari Senin 31 Mei melaporkan, bahwa dalam pertemuan Politbiro dari Komite Sentral PKT pada hari itu, setelah para peserta mendengarkan laporan ‘Repelita ke-15’ tentang perlunya mengambil langkah, guna mengatasi masalah penuaan populasi yang kini sedang mengancam Tiongkok. 

Laporan media PKT itu mengklaim, para peserta pertemuan merasa perlunya untuk mendesak pihak berwenang secepatnya menerapkan kebijakan tentang satu pasangan, dapat memiliki tiga orang anak beserta mengeluarkan beberapa tindakan pendukung guna mensukseskan kebijakan.

Berita itu memicu diskusi panas di antara para netizen muda di daratan Tiongkok dan dengan cepat menduduki tempat teratas dalam peringkat pencarian panas Internet. 

Namun, jumlah netizen yang mendukung jauh lebih sedikit daripada mereka yang berantusias untuk menyampaikan keluhan.

Postingan netizen

Seorang netizen muda yang memposting tulisan di atas, dengan mengasumsikan dirinya yang sudah berusia 63 tahun dan memiliki 3 orang anak yang masing-masing juga memiliki 3 orang anak. 

Saat itu kedua orang tua dan mertuanya masih hidup dan menjadi tanggungannya. Tulisan yang diposting di media sosial menyebutkan : Suatu pagi di usia 63 tahun, ketika alarm berbunyi pada jam 7 pagi, ia mendatangi ketiga kamar yang masing-masing dihuni oleh anaknya untuk melihat apakah mereka masih sedang tidur. Lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan buat 9 orang cucunya.

Setelah itu mendatangi kamar dari kesembilan orang cucunya untuk melihat apakah mereka masih tertidur pulas ? Lalu mendatangi 2 kamar yang dihuni oleh kedua orang tua dan mertuanya, juga untuk melihat apakah mereka masih belum bangun ? Setelah itu ia baru dapat dengan tenang berangkat kerja dengan naik kereta api bawah tanah yang berdesakan. Pada postingan berikutnya ia bertanya : Dengan kondisi seperti diatas berapa kamar yang ia butuhkan ?

Banyak netizen mengkritik bahwa, rakyat jelata bahkan tidak mampu membiayai kewajibannya untuk membesarkan satu orang anak pun. Jika pihak berwenang masih saja tidak secara serius memperbaiki kenyataan ini, maka situasinya yang dijumpai masyarakat adalah “bisa melahirkan tetapi tidak bisa memelihara”. Bahkan, jika pembatasan kesuburan dicabut sepenuhnya pun tidak akan berpengaruh banyak terhadap angka kelahiran nasional.

Ada juga netizen yang menyindir dengan tulisan: Bagaimana dengan pasangan yang kelahiran tahun 80-an dan 90-an, yang dibebani dengan biaya membesarkan 3 orang anak dan merawat 4 orang tua, untuk itu mereka bekerja mati-matian untuk memenuhi kewajiban, lalu sakit dan meninggal dunia sebelum berumur 65 tahun. Dimana uang pensiun pun belum turun, belum bisa dinikmati….. Apakah para ahli kemudian akan memberikan mereka masing-masing piagam penghargaan sebagai pahlawan bangsa, karena mereka telah lahir dan mati demi kepentingan negara. 

Ada pula netizen yang mengkritik bahwa kebijakan satu anak di masa lalu telah menimbulkan ketidakseimbangan populasi Tiongkok. 

Setelah para ahli berulang kali memperingatkan, pemerintah baru bersedia secara perlahan dan pasif memberlakukan kebijakan 2 anak. Kemudian setelah masyarakat Tiongkok berkembang menjadi lingkungan yang tidak kondusif untuk memiliki anak, pihak berwenang baru mau membuka kesempatan kepada pasangan muda untuk memiliki 3 orang anak. Namun, jelas nasi sudah menjadi bubur.

Netizen pun banyak yang meninggalkan pesan. Mereka menyebutkan bahwa kini banyak anak muda yang memilih untuk bersikap apatisme, memutuskan untuk tidak menikah dan tidak mau punya anak. Tidak ingin memiliki anak yang hanya dijadikan sapi perah oleh pemerintah.

Pemerintah komunis Tiongkok baru menerapkan kebijakan 2 anak pada tahun 2015. Namun, angka kelahiran bayi kecuali pada tahun 2016 mengalami sedikit peningkatan, 4 tahun berikutnya justru terus menurun. Pada tahun 2020, jumlah bayi baru lahir telah menurun sebanyak hampir 15% dibandingkan dengan tahun 2019. (Sin)