oleh Jing Zhongming
Makalah yang ditulis oleh sarjana dari Universitas California dan diterbitkan oleh ‘ACS Nano’ (American Chemical Society) pada 23 Juni menyebutkan bahwa, antibodi yang dihasilkan seseorang usai disuntik dengan vaksin Pfizer dan Moderna, akan sama dengan antibodi pada tubuh orang yang secara alami terinfeksi virus komunis Tiongkok (COVID-19).
Sekitar 90% antibodi tersebut akan hilang dalam waktu 90 hari. Oleh karena itu, dianjurkan untuk terus memperbaikinya melalui suntikan tambahan, meskipun sudah menerima 2 dosis lengkap vaksin
Makalah tersebut mempelajari tingkat stabilitas relatif antibodi antara akibat induksi vaksin dan induksi akibat infeksi alami (terinfeksi sebelum divaksinasi). Objek penelitian utama adalah vaksin Pfizer dan Moderna di Amerika Serikat. Kedua vaksin tersebut menggunakan teknologi mRNA untuk memicu sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi.
Makalah menyebutkan bahwa meskipun kedua vaksin di atas dapat memberikan perlindungan sekitar 95% terhadap infeksi simtomatik dalam jangka pendek, tetapi masih terdapat masalah klinis yang penting.
Menurut penelitian, tingkat antibodi dihasilkan dalam tubuh pasien ringan yang secara alami terinfeksi virus komunis Tiongkok (COVID-19) setara dengan antibodi, yang dihasilkan melalui dosis vaksin pertama bagi orang yang belum pernah terinfeksi. Jadi mereka ini hanya butuh 1 dosis vaksin lagi untuk mencapai perlindungan yang maksimal.
Sedangkan suntikan dosis kedua bagi mereka ini, ternyata tidak membuat antibodi mereka bertambah. Hal mana berbeda dengan orang yang belum pernah terinfeksi, orang-orang ini membutuhkan 2 dosis suntikan vaksin untuk mencapai efek penetralisir yang maksimal.
Namun, bahkan setelah menerima 2 dosis vaksin, antibodi tubuh akan kehilangan sekitar 90% dalam waktu 90 hari. Pengurangan antibodi berarti bahwa perlu tambahan suntikan vaksin, jika tidak maka akan sulit juga untuk melawan virus, alias akan tertular virus komunis Tiongkok.
Pada tahun lalu ketika epidemi mulai merebak, sudah ada penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa orang yang telah pulih dari epidemi hanya dapat mempertahankan antibodi yang tinggi dalam tubuh mereka selama 2 atau 3 bulan, sehingga masih ada kemungkinan terkena infeksi sekunder.
Makalah di atas menunjukkan bahwa antibodi yang dihasilkan oleh vaksinasi, mirip dengan orang yang terinfeksi virus komunis Tiongkok secara alami.
Selain itu, mutasi virus komunis Tiongkok yang terjadi terus menerus, juga akan sangat mengurangi efektivitas antibodi pada orang yang telah pulih dari epidemi atau orang yang sudah divaksinasi.
Pada 25 Juni, pemerintah Israel mengumumkan bahwa, sekitar 90% dari kasus yang baru dikonfirmasi di negara itu disebabkan oleh virus varian Delta. Padahal sekitar setengah dari mereka telah menerima vaksinasi lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin masih memiliki kekurangan dalam mengatasi virus varian Delta yang lagi merajalela.
Baru-baru ini, Reuters mengutip laporan yang tidak dipublikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia -WHO- memberitakan bahwa karena mutasi dari virus komunis Tiongkok yang terjadi terus menerus, WHO bermaksud untuk merekomendasikan agar masyarakat umum menerima vaksinasi tambahan setiap 2 tahun sekali. Termasuk, suntikan tambahan setiap tahun bagi para lansia dan kelompok orang yang berisiko tinggi lainnya. Laporan itu juga menyebutkan bahwa, proposal tersebut dapat disesuaikan berdasarkan kondisi di lapangan. (sin)