Paramiliter Tiongkok Melatih Pasukan Keamanan Kuba yang Bertanggung Jawab untuk Menekan Pengunjuk Rasa

Eva Fu – The Epoch Times

Laporan dari media pemerintahan Komunis Tiongkok menunjukkan pasukan militer dan polisi Kuba yang bertanggung jawab untuk menekan para pengunjuk rasa telah menerima pelatihan “kontra-terorisme” dari paramiliter Tiongkok.

Unjuk rasa anti-pemerintah yang langka meletus di Kuba pada Juli lalu, di mana penduduk turun ke jalan-jalan menyerukan kebebasan yang lebih besar dan kondisi kehidupan yang lebih baik. 

Sementara itu, hampir belasan negara di seluruh dunia telah menyuarakan dukungan untuk para pengunjuk rasa, rezim komunis yang berkuasa telah menanggapi dengan meluncurkan represi kekerasan, tindakan yang didukung oleh Beijing.

Catatan kembali ke satu dekade lalu menunjukkan bahwa, pihak berwenang Kuba mungkin belajar beberapa taktik dari rekan-rekan mereka yaitu Tiongkok, yang memberikan pelatihan dan dukungan lainnya atas nama memerangi terorisme.

Paramiliter Tiongkok, yang dikenal sebagai People’s Armed Police (PAP) atau Kepolisian Bersenjata Rakyat, mulai mengirim personel untuk melatih rekan-rekan mereka di Kuba pada awal tahun 2008, media pemerintah Tiongkok melaporkan. Pada tahun 2019, Kepolisian Bersenjata Rakyat menunjukkan keterampilan tempur di sebuah acara di Tiongkok, yang mendapat pujian dari pejabat keamanan Kuba yang menghadiri acara tersebut.

Sebuah pasukan paramiliter khusus yang ditugaskan untuk memadamkan kerusuhan domestik, Kepolisian Bersenjata Rakyat memainkan peran utama dalam menghancurkan unjuk rasa di wilayah barat jauh dari Xinjiang selama bertahun-tahun. 

Pasukan keamanan Kuba berpose bersama pelatih Tiongkkk mereka di sekolah pelatihan pemerintah Kuba pada 2016. (Courtesy of ADN Cuba)

Satu skuadron yang telah membunuh 91 “perusuh” di wilayah itu, diberi penghargaan khusus oleh pemimpin Tiongkok Xi Jinping pada Juli. Di Hong Kong, Kepolisian Bersenjata Rakyat juga bergabung dengan polisi setempat di garis depan untuk mengamati unjuk rasa pro-demokrasi tahun lalu, Reuters melaporkan, mengutip sumber anonim.

Tidak jelas kapan pelatihan Kepolisian Bersenjata Rakyat di Kuba pertama kali dimulai. Yang paling awal pelatihan terdokumentasi, berdasarkan laporan media, berlangsung selama sekitar dua bulan mulai November 2008. 

Di antara lebih dari 90 peserta pelatihan yang ambil bagian, dua pertiga dari mereka adalah “pasukan khusus” milik Kementerian Dalam Negeri Kuba, menurut media pemerintah Tiongkok. Satuan pasukan khusus, dikenal sebagai “Baret Hitam,” adalah sebuah kelompok elit dari Pasukan Tentara Revolusioner, militer rezim Kuba. Para peserta pelatihan yang tersisa adalah perwira militer.

Empat pelatih Kepolisian Bersenjata Rakyat dari Tiongkok melatih perwira Kuba seni tentang bela diri campuran, penyelamatan sandera, dan penanganan “kerusuhan skala besar,” kata laporan itu. Sebelum kembali ke Tiongkok, mereka dianugerahi oleh Kementerian Dalam Negeri dengan perbedaan tertinggi versi Kementerian Dalam Negeri untuk “kontribusi khusus” yang mereka berikan.

Pada April 2016, Kepolisian Bersenjata Rakyat di Ningxia, sebuah wilayah di tengah-utara Tiongkok, mengirim enam perwira ke sekolah pelatihan pertempuran khusus nasional Kementerian Dalam Negeri Kuba untuk mengajar program pelatihan selama sebulan.

Pasukan khusus Kuba, yang disebut Baret Hitam, berpose bersama pelatih Tiongkok mereka dari paramiliter di sekolah pelatihan yang dikelola pemerintah di Kuba dalam sebuah foto tak bertanggal. (Courtesy dari ADN Kuba)

Kursus tersebut yang terlibat lebih dari 160 keterampilan di enam kategori, mencakup menembak taktis, seni bela diri Tiongkok, Tai Chi, dan taktik-taktik untuk menaklukkan kekerasan, menurut sebuah artikel dari sebuah situs yang dikelola tentara Tiongkok berjudul “Polisi Bersenjata Kembali Dengan Kehormatan.”

Pihak Kuba, terkesan dengan kemajuan pelatihan itu, memasukkan konten ke dalam agenda pelatihan militer negara Kuba, menurut artikel lain dari situs tersebut.

Foto-foto dari pelatihan tahun 2016 yang dirilis oleh media Tiongkok, termasuk segelintir foto yang baru-baru ini digali oleh media Kuba ADN, menunjukkan para perwira Kuba mengenakan seragam hitam khas mereka dan baret hitam, dengan pelatih mereka dari Tiongkok.

Mulai 11 Juli, ribuan orang Kuba mulai turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan rasa frustrasi mereka, dengan rezim komunis yang berusia 62 tahun dan menyuarakan rasa frustrasi mereka atas kondisi kehidupan mereka, unjuk rasa terbesar yang pernah disaksikan Kuba sejak tahun 1990-an. 

Sebagai tanggapan, rezim Kuba melakukan penangkapan massal, memutus akses internet dan mengerahkan pasukan keamanan dan polisi, termasuk Baret Hitam, untuk mengambil alih kota besar dan kota kecil.

Amerika Serikat memberi sanksi kepada Menteri Pertahanan Kuba dan Black Baret pada 22 Juli, untuk penindasan kekerasan yang dilakukan rezim Kuba terhadap unjuk rasa tersebut, yang dilaporkan melihat penangkapan sekitar 500 aktivis.

Pada 30 Juli, pemerintahan Joe Biden lebih lanjut memberlakukan sanksi kepada Kepolisian Kuba dan dua pemimpinnya, atas serangan mereka terhadap para pengunjuk rasa, yang mencakup penangkapan seorang pastor Katolik yang berusaha membela para pengunjuk rasa muda, pemukulan terhadap beberapa anak di bawah umur, dan penggunaan pentungan untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang berunjuk rasa secara damai.

“Orang-orang Kuba berhak untuk memiliki kebanggaan di tanah airnya dan kebutuhan kehidupan dasar yang tidak dapat dilakukan oleh sistem Partai Komunis Kuba yang gagal untuk mewujudkan hal itu,” kata Menteri Luar Negeri Antony Blinken dalam sebuah pernyataan yang mengumumkan sanksi.

Memproyeksikan Kekuatan di Luar Negeri

Pasukan paramiliter Komunis Tiongkok, telah memainkan peran penting dalam ambisi Beijing untuk memproyeksikan kekuatan dan memperluas pengaruh militer Tiongkok di luar perbatasan Tiongkok.

Kepolisian Bersenjata Rakyat mendirikan “Pusat Pelatihan Polisi Sipil Penjaga Perdamaian Tiongkok” di dekat Beijing, untuk melatih polisi asing pada tahun 2000, dan dua tahun kemudian mulai membangun pusat yang lainnya, yang dikatakan akan menjadi pusat terbesar di Asia.

Pada tahun 2009, Kepolisian Bersenjata Rakyat mengirim delegasi ke lebih dari 30 negara “untuk pertukaran kontra-terorisme bilateral atau multilateral,” menurut laporan media yang dikelola Komunis Tiongkok, China Daily.

Sejak Januari 2016, undang-undang kontra-terorisme Tiongkok mulai berlaku untuk mengizinkan militer Tiongkok dan Kepolisian Bersenjata Rakyat mengirim perwira ke luar negeri untuk memerangi terorisme.

Kepolisian Bersenjata Rakyat telah membuat beberapa kemajuan di Asia Tengah, menjalankan sebuah kamp militer yang kecil di Tajikistan di wilayah yang berbatasan dengan Tiongkok dengan Afghanistan sejak tahun 2016. 

Seorang pengamat Tajikistan memperkirakan fasilitas tersebut menampung ratusan personel dan sekitar 20 menara pengintai, menurut sebuah laporan tahun 2020 oleh Komisi Peninjauan Ekonomi dan Sekuritas Amerika Serikat-Tiongkok.

Selama sebuah forum anti-terorisme tahun 2019, yang diselenggarakan oleh Kepolisian Bersenjata Rakyat di Beijing, para perwira melakukan taktik penembak jitu mereka yang terbaru dan dikatakan mendapat tepuk tangan meriah berkali-kali dari lebih dari 240 pejabat asing yang menghadiri acara tersebut, menurut media pemerintah Tiongkok Xinhua. 

Seorang peserta, dari seorang ahli dari Kementerian Dalam Negeri Kuba mengatakan kepada Xinhua, bahwa ia mendapat banyak inspirasi dari pelatihan tersebut di negara asalnya dan menyatakan harapan-harapan untuk meningkatkan pertukaran tersebut.

Kepolisian Bersenjata Rakyat bukanlah satu-satunya lembaga yang terlibat dalam dorongan penegakan hukum global Beijing. 

Sebuah dokumen internal The Epoch Times yang diperoleh pada tahun 2020 menunjukkan, sebuah perguruan tinggi polisi di Kunming, ibukota Provinsi Yunnan di Tiongkok, melakukan 115 sesi pelatihan untuk lebih dari 2.500 perwira penegak hukum dari 62 negara berkembang antara tahun 2002 hingga tahun  2017. 

Selama 16 tahun, perguruan tinggi tersebut melatih lebih dari 300 perwira dari Laos. Perguruan tinggi yang sama itu telah berjanji untuk memberikan pelatihan jangka-pendek dan jangka-menengah, untuk 2.000 pejabat Asia Tenggara dari tahun 2016 hingga tahun 2020, menurut Xinhua.

Tujuan dari program-program pelatihan ini adalah untuk “membangun koneksi” dan layanan Belt and Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Sabuk dan Jalan milik rezim Tiongkok, menurut dokumen itu. 

Inisiatif Sabuk dan Jalan, sebuah proyek infrastruktur yang bernilai miliaran dolar yang bertujuan untuk memperkuat ekonomi  dan kekuatan politik Beijing di seluruh dunia, telah menarik perhatian atas perannya dalam mengekspor model tekno-totaliterisme rezim Tiongkok dan rezim Tiongkok membebani negara berkembang dengan tingkat utang yang tinggi. (Vv)