oleh Zhang Yujie
Baru-baru ini, pemerintah komunis Tiongkok mengaku berencana mengekspor sebanyak 2 miliar dosis vaksin buatan dalam negeri mereka pada tahun ini. Analis memperkirakan bahwa ini mungkin saja merupakan kebijakan diplomasi mereka. Namun, hingga saat ini pemerintah komunis Tiongkok masih menolak bekerja sama dengan lembaga internasional dalam upaya penyelidiki asal virus virus, bahkan masih melakukan penyembunyian fakta. Pada saat yang sama, sudah semakin banyak negara menghentikan penggunaan vaksin buatan Tiongkok. Jadi tampaknya diplomasi vaksin sulit dapat berhasil.
Ahli menaruh perhatian terhadap latar belakang diplomasi vaksin komunis Tiongkok
Pada 5 Agustus, pemerintah komunis Tiongkok menyatakan akan memberikan lebih banyak vaksin kepada negara lain dengan target ekspor tahun ini adalah sebanyak 2 miliar dosis.
Pada 9 Agustus, dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN dan Pertemuan komunis Tiongkok – Jepang – Korea Selatan.
Wang Yi memamerkan hasil diplomasi vaksin pemerintah komunis Tiongkok dengan mengatakan bahwa, pemerintah telah memasok lebih dari 750 juta dosis vaksin buatan Tiongkok ke seluruh dunia.
Pada 15 Agustus, Voice of America mengutip sebuah analisis yang dibuat oleh J. Stephen Morrison, direktur Pusat Kebijakan Kesehatan Global dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) memberitakan, bahwa janji vaksin komunis Tiongkok itu mungkin dibuat karena terkait dengan cara menangani epidemi pada tahap awal, yang metodenya banyak mendapat kritikan, tetapi praktik saat ini masih diragukan.
“Tentu saja, mereka yang kembali menghalangi WHO untuk melakukan penyelidikan asal usul virus masih akan menimbulkan spekulasi dan kecurigaan dari dunia luar bahwa pemerintah komunis Tiongkok mungkin menyembunyikan sesuatu. Oleh karena itu, inisiatif diplomatik ini dilakukan dalam konteks situasi seperti ini”, katanya.
3 hari sebelum pemerintah komunis Tiongkok mengklaim rencana memasok 2 miliar dosis vaksin tahun ini, yakni pada 2 Agustus, Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR dari Partai Republik, Michael McCaul mengeluarkan laporan tentang asal usul virus komunis Tiongkok (COVID-19), dengan mencantumkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa virus itu berasal dari Institut Virologi Wuhan, dan di awal epidemi pemerintah komunis Tiongkok terus berusaha untuk menyembunyikan faktanya.
Misalnya : Pada tahun 2019, laboratorium P4 Institut Virologi Wuhan telah beroperasi kurang dari 2 tahun tetapi terus melakukan “pemeliharaan”. ‘Database Patogen Virus Kelelawar dan Hewan Pengerat’ tiba-tiba offline. Pada saat yang sama, jumlah pasien dengan gejala COVID-19 di rumah sakit di dekat Institut Virologi Wuhan mendadak bertambah.
Selain itu, periode 90 hari yang diberikan Presiden AS Biden kepada lembaga intelijen AS untuk menyerahkan laporan tentang asal usul virus juga semakin dekat.
Diplomasi vaksin komunis Tiongkok akan menemui kegagalan
Voice of America juga mengutip analisis Bryce Barros, seorang analis urusan Tiongkok untuk Yayasan Marshall Jerman yang menjamin proyek Aliansi Demokratik di Amerika Serikat, mengatakan bahwa belum jelas apakah ini akan membantu pencitraan global rezim Beijing,
“Saya pikir jika negara anggota G7 dan G4 terus meningkatkan upaya mereka untuk membantu dunia dalam hal memasok vaksin, sementara pemerintah komunis Tiongkok terus mengekspor vaksinnya, dalam jangka panjang, saya kira ini dapat merusak sendiri citra mereka, sama halnya dengan efektivitas vaksin dan diplomasi serigala perang mereka” kata Bryce Barros.
Sementara pemerintah komunis Tiongkok berjanji untuk meningkatkan pasokan vaksin kepada dunia, beberapa negara sedang mempertimbangkan untuk menghentikan penggunaan vaksin buatan Tiongkok, seperti Thailand, Indonesia, Malaysia, Chili dan lainnya. Setelah negara-negara ini menggunakan vaksin buatan Tiongkok, justru jumlah kasus paparan COVID-19 yang dikonfirmasi tidak menurun tetapi meningkat.
Thailand telah mengumumkan bahwa masyarakat akan divaksinasi dengan vaksin Sinovac dan AstraZeneca. Staf medis yang telah divaksinasi lengkap dengan vaksin Sinovac juga wajib diberikan suntikan booster.
Pihak berwenang Indonesia telah memutuskan bahwa staf medis yang telah divaksinasi dengan vaksin Sinovac akan divaksinasi lagi dengan vaksin booster buatan pabrik Moderna. Selama periode bulan Februari hingga Juni di Indonesia, setidaknya 20 orang dokter dan 10 orang perawat telah meninggal dunia terpapar virus komunis Tiongkok meskipun sudah divaksinasi dengan Sinovac.
Kementerian Kesehatan Malaysia telah mengumumkan bahwa setelah pasokan vaksin Sinovac (16 juta dosis) habis, masyarakat akan menerima suntikan vaksin buatan Pfizer.
Pemerintah Singapura tidak memasukkan mereka yang telah menerima suntikan vaksin Sinovac ke dalam kategori sudah divaksin. Menteri Kesehatan Singapura mengatakan : “Saat ini tidak ada data medis dan ilmiah yang membuktikan efektivitas vaksin Sinovac dalam memerangi virus Delta”.
Pemerintah Chili mulai melakukan vaksinasi dosis ketiga kepada warganya pada 11 Agustus, target utamanya adalah warga mereka yang telah menyelesaikan vaksinasi dengan vaksin buatan Tiongkok, dan vaksin dosis ketiga menggunakan vaksin AstraZeneca Inggris atau Pfizer Amerika Serikat.
Selain itu, dalam pertemuan Kelompok Tujuh (G7) yang diadakan di Inggris pada Juni tahun ini, 7 negara mengumumkan akan segera membagikan kepada dunia setidaknya 870 juta dosis vaksin untuk mencegah COVID-19.
Presiden AS Joe Biden pada 3 Agustus mengumumkan bahwa, Amerika Serikat telah menyumbangkan 110 juta dosis vaksin buatan AS ke lebih dari 60 negara.
Biden secara khusus menekankan bahwa vaksin yang dibagikan oleh Amerika Serikat itu bersifat gratis, dan AS selain tidak menuntut imbal balik, tidak menuntut persyaratan tambahan, juga tidak ada perilaku pemaksaan. (sin)