Frank Fang
Rezim Tiongkok dapat menggunakan penguatan kemampuan nuklirnya untuk memaksa Amerika Serikat dalam waktu beberapa tahun, para ahli mengatakan, mengikuti laporan baru-baru ini yang mengungkap upaya rahasia Beijing untuk memperluas persenjataan nuklirnya.
Komunis Tiongkok akan memiliki sekitar 250 silo baru, fasilitas bawah tanah untuk perumahan dan meluncurkan rudal-rudal balistik antar-benua, setelah Tiongkok selesai membangun silo-silo baru tersebut, demikian Federasi Ilmuwan Amerika Serikat mengatakan dalam sebuah laporan yang dirilis minggu lalu.
Menurut Federasi Ilmuwan Amerika Serikat, angka itu adalah lebih dari jumlah semua rudal balistik antar-benua berbasis-silo yang dioperasikan oleh Rusia dan sekitar setengah jumlah kekuatan rudal balistik antar-benua Amerika Serikat.
“Program silo rudal Tiongkok merupakan konstruksi silo yang paling luas sejak konstruksi konstruksi silo rudal Amerika Serikat dan Soviet selama Perang Dingin,” kata laporan itu.
Sekitar 110 silo baru berada di lapangan dekat Hami, sebuah kota di bagian timur wilayah Xinjiang, yang terletak di barat jauh Tiongkok, Federasi Ilmuwan Amerika Serikat mengungkapkan, mengutip foto-foto satelit.
Situs lain ditemukan oleh Pusat James Martin yang berbasis di California pada Juni. Para peneliti menemukan sebuah bidang yang belum selesai di mana terdapat sekitar 120 silo terletak di Yumen, sebuah kota di Provinsi Gansu, tetangga Xinjiang.
“Pembangunan silo di Yumen dan Hami merupakan ekspansi persenjataan nuklir Tiongkok yang paling bermakna,” demikian laporan Federasi Ilmuwan Amerika Serikat menyatakan.
Pemaksaan Nuklir
Pentingnya penemuan silo terbaru adalah bahwa militer Tiongkok“mungkin dalam perjalanannya menuju sebuah inventaris hulu ledak awal lebih dari 3.000,” kata Rick Fisher, seorang rekan senior di Pusat Penilaian dan Strategi Internasional, lembaga pemikir yang berbasis di Virginia, kepada The Epoch Times.
“Kini Tiongkok sedang memulai sebuah sprint menuju keunggulan hulu ledak nuklir,” kata Rick Fisher dalam sebuah email.
Penemuan kegiatan rahasia Beijing juga menimbulkan pertanyaan apa lagi yang mungkin dilakukan Beijing untuk membangun kemampuan nuklirnya yang tidak diketahui masyarakat internasional, kata Patty-Jane Geller, seorang analis kebijakan untuk pencegahan nuklir dan pertahanan rudal di Heritage Foundation, lembaga pemikir yang berbasis di Washington.
Patty-Jane Geller mencatat bahwa beberapa negara telah mengabaikan ancaman yang ditimbulkan oleh Beijing dengan mengutip perkiraan publik mengenai cadangan nuklirnya Beijing yang menempatkannya di 350 hulu ledak, masih sebagian kecil dari persediaan yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan Rusia. Tetapi temuan itu menunjukkan bahwa “kita seharusnya tidak hanya mengandalkan angka ini,” kata Patty-Jane Geller.
“Kita tidak boleh lagi hanya mempertimbangkan Tiongkok sebagai sebuah negara yang hanya sedikit memiliki nuklir senjata. Kita harus menganggap Tiongkok lebih serius,” kata Patty-Jane Geller kepada The Epoch Times.
“Saya tidak berpikir sebagian besar orang Amerika Serikat akan baik-baik saja hidup dengan Tiongkok yang dapat memaksa Amerika Serikat dengan sebuah kemampuan militer yang kuat.”
Amerika Serikat mungkin mulai melihat “pemaksaan nuklir” oleh Beijing “sebagai” paling tidak pada pertengahan dekade kecuali Amerika Serikat mengambil tindakan balasan sekarang,” menurut Rick Fisher.
Ancaman tersebut meningkat jika rezim Tiongkok bekerja sama dengan Rusia untuk menggabungkan kekuatan nuklir untuk memaksa Amerika Serikat. Misalnya, ancaman tersebut dapat mencegah “seorang Presiden Amerika Serikat yang lemah di masa depan datang untuk mempertahankan Taiwan” jika Beijing menyerang, kata Rick Fisher.
“Kecuali Amerika Serikat menanggapi dengan cepat, kita akan menghadapi sebuah era penindasan yang strategis yang bersifat merendahkan secara terus-menerus, dan bahkan serangan nuklir oleh Tiongkok dan Rusia,” kata Rick Fisher.
Pencegahan Minimum
Ekspansi nuklir Tiongkok menimbulkan pertanyaan apakah Beijing masih berkomitmen untuk sebuah sikap pencegahan minimum, yang telah dipertahankan secara umum selama beberapa dekade. Kebijakan tersebut meminta rezim Tiongkok untuk menjaga persediaan nuklirnya ke tingkat minimum yang diperlukan untuk mencegah ancaman-ancaman nuklir.
Fu Cong, Direktur Jenderal Kementerian Kendali Senjata di Kementerian Luar Negeri Tiongkok, mengulangi komitmen rezim Tiongkok selama Konferensi Non-Proliferasi dan Perlucutan Senjata Uni Eropa tahunan pada bulan November lalu.
“Saya pikir sudah jelas sekarang bahwa Tiongkok sedang bergerak menjauh dari [pencegahan minimum] dan menjadi lebih ambisius,” kata Patty-Jane Gellar.
Patty-Jane Gellar mengatakan bahwa selain membangun silo-silo baru, Tiongkok juga mengerahkan pengebom-pengebom berkemampuan nuklir yang baru dan mengembangkan rudal balistik antar-benua yang dapat membawa beberapa hulu ledak sekaligus.
Laporan Federasi Ilmuwan Amerika Serikat berpendapat bahwa mengingat silo-silo baru tersebut, Tiongkok telah “bergerak[d] keluar dari kategori ‘pencegahan minimum’.”
“Pembangunan ini adalah sangat memprihatinkan, [dan] menimbulkan pertanyaan apa maksud Republik Rakyat Tiongkok,” kata seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan kepada The Epoch Times.
Juru bicara itu menambahkan: “Terlepas dari kebingungan Republik Rakyat Tiongkok, pembangunan yang cepat ini menjadi lebih sulit untuk disembunyikan dan menyoroti bagaimana Tiongkok menyimpang dari beberapa dekade strategi nuklir yang didasarkan pada pencegahan minimum.”
Pada saat penulisan, Kementerian Luar Negeri Tiongkok belum mengomentari silo-silo baru tersebut.
Di dalam negeri Tiongkok, seruan-seruan telah meningkat agar rezim Tiongkok memperluas gudang senjata nuklirnya. Misalnya, pada bulan Mei lalu, Hu Xijin, pemimpin redaksi surat kabar yang dikelola pemerintah Tiongkok Global Times, menggunakan akun media sosial Tiongkok miliknya yang menyerukan agar Beijing segera meningkatkan jumlah hulu ledak nuklirnya menjadi lebih dari 1.000, termasuk minimal rudal-rudal balistik antar-benua 100 DF-41. Hu Xijin mengatakan hulu ledak diperlukan untuk “mengekang agresi strategis Amerika Serikat.”
Para ahli memperkirakan bahwa rudal-rudal balistik antar-benua DF-41 memiliki jangkauan operasional 15.000 kilometer, membuat rudal-rudal balistik antar-benua DF-41 itu mampu mencapai benua Amerika Serikat.
Juga pada Mei 2020, ahli militer Tiongkok Song Zhongping mengatakan kepada Global Times bahwa Beijing “perlu meningkatkan jumlah senjata nuklirnya” untuk secara efektif mengekang serangan nuklir Amerika Serikat dan pencegahan nuklir oleh Amerika Serikat terhadap Tiongkok.”
Minggu lalu, Global Times menerbitkan sebuah tajuk rencana sebagai tanggapan atas dua laporan mengenai Amerika Serikat-ladang silo baru Tiongkok. Artikel itu tidak menyangkal atau menegaskan temuan-temuan itu, tetapi mengatakan bahwa rezim Tiongkok harus memiliki sebuah kekuatan nuklir yang cukup “kuat” untuk membuat Amerika Serikat—==dari militer hingga pemerintah–—takut.”
Peringatan Amerika Serikat
Patty-Jane Geller mengatakan laporan Federasi Ilmuwan Amerika Serikat menegaskan peringatan-peringatan sebelumnya oleh Laksamana Charles Richard mengenai kemampuan nuklir Tiongkok yang berkembang. Charles Richard adalah Kepala Komando Strategis Amerika Serikat, yang mengawasi senjata-senjata nuklir Amerika Serikat.
Selama sebuah sidang kongres pada bulan April, Charles Richard mengatakan bahwa cadangan nuklir Tiongkok sedang mengalami sebuah “ekspansi yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan Beijing “pada kecepatan yang diperlukan untuk menggandakan persediaan nuklirnya per akhir dekade itu.”
Charles Richard menambahkan bahwa rezim Tiongkok berada di puncak penyebaran sebuah strategi triad nuklir—rudal darat, kapal selam, dan pesawat pengebom yang menyeluruh.
“Tiongkok mampu melakukan strategi pekerjaan nuklir yang masuk akal secara regional sekarang dan akan segera dapat melakukan strategi pekerjaan nuklir di jangkauan antar-benua,” kata Charles Richard.
Menanggapi penemuan baru silo-silo Tiongkok, Komando Strategi Amerika Serikat mengatakan dalam tweet: “masyarakat telah menemukan apa yang telah kami katakan selama ini mengenai meningkatnya ancaman yang dihadapi dunia dan tabir rahasia yang melingkupinya.”
Kursus Baru
Washington perlu memetakan sebuah arah baru dalam menghadapi pertumbuhan ancaman militer yang ditimbulkan oleh Beijing.
“Untuk mengamankan Amerika dari ancaman nuklir Tiongkok dan Rusia di masa depan, pemerintahan Joe Biden harus membalikkan kendali senjata awalnya
dan preferensi pengurangan nuklir untuk menjadi memimpin pembangunan nuklir yang paling agresif oleh Amerika Serikat sejak Perang Dingin,” kata Rick Fisher.
Setelah menjabat pada Januari, Presiden Joe Biden memperbarui perjanjian pengendalian senjata New START untuk lima tahun ke depan hingga tanggal 5 Februari 2026. Perjanjian tersebut, yang ditandatangani pada tahun 2010, membatasi Rusia dan Amerika Serikat tidak memiliki lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir.
Rick Fisher mengatakan perjanjian tersebut harus ditinggalkan karena perjanjian tersebut “tidak lagi memajukan keamanan Amerika Serikat.”
Sementara upaya telah dilakukan untuk membawa Tiongkok untuk negosiasi kendali senjata trilateral, Beijing telah menolak panggilan mengatakan bahwa angka persenjataan nuklir milik Tiongkok adalah rendah dibandingkan dengan angka persenjataan nuklir milik Amerika Serikat dan Rusia.
Menurut Patty-Jane Geller, perjanjian kendali senjata New START sudah usang karena perjanjian tersebut ditandatangani pada suatu waktu itu–—11 tahun yang lalu—–ketika “kami secara pasti tidak tahu akan ekspansi Tiongkok yang kita lihat saat ini.”
“Hal minimum yang perlu kita lakukan adalah menyelesaikan sendiri upaya modernisasi nuklir kita ,” kata Patty-Jane Geller. (Vv)