Frank Fang dan Jan Jekielek
Rezim komunis di Tiongkok telah menciptakan sebuah aliansi baru untuk menantang Amerika Serikat dan demokrasi Barat, menurut Johnnie Moore, seorang mantan komisaris Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat.
Johnnie Moore mengatakan rezim komunis di Tiongkok menciptakan sebuah poros kolaborator yang baru melawan tatanan demokrasi Barat. Apa yang disampaikannya mengacu pada aliansi Tiongkok, Pakistan, dan Taliban, dalam wawancara baru-baru ini dengan program “American Thought Leaders” The Epoch Times. Johnnie Moore menyebut aliansi itu sebagai sebuah “bencana geopolitik.”
Komunis Tiongkok secara terbuka mendukung Taliban dalam beberapa bulan terakhir.
Pada Juni, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, pada sebuah pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Pakistan dan Menteri Luar Negeri Afghanistan, bersumpah untuk “membawa Taliban kembali ke arus utama politik.” Sebulan kemudian, Wang Yi menyambut sebuah delegasi Taliban yang berkunjung ke Tiongkok yang dipimpin oleh Mullah Abdul Ghani Baradar.
Setelah pengambilalihan Kabul oleh Taliban pada pertengahan bulan Agustus, Partai Komunis Tiongkok dengan cepat menyambut kebangkitan Taliban dari negara yang terkoyak oleh perang, meskipun rezim Tiongkok belum secara resmi mengakui kelompok teroris itu.
Taliban juga melihat Partai Komunis Tiongkok sebagai sebuah sekutu yang penting. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan surat kabar Italia la Repubblica, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid memuji Beijing sebagai “mitra utama” dan sebuah “gerbang ke pasar di seluruh dunia.”
Johnnie Moore mengatakan ada tiga alasan Beijing menghargai sebuah kemitraan dengan Taliban. Pertama, rezim Tiongkok ingin memanfaatkan logam tanah jarang dan mineral lainnya di Afghanistan, yang diperkirakan bernilai hingga 3 triliun dolar AS.
Logam tanah jarang adalah 17 unsur pada tabel periodik yang penting dalam banyak industri termasuk elektronik konsumen, pertahanan, dan teknologi ramah lingkungan. Saat ini, Tiongkok menguasai sekitar 80 persen pasar global pasokan logam tanah jarang, dan sebelumnya Tiongkok menghentikan ekspor-ekspornya sebagai sebuah taktik pembalasan terhadap negara lain.
Selain itu, Beijing ingin mengendalikan pergerakan di seluruh wilayah perbatasannya dengan Afghanistan, kata Johnnie Moore.
Wilayah perbatasan Xinjiang di barat jauh Tiongkok dengan Afghanistan adalah sepanjang 74 km. Rezim Tiongkok khawatir akan militan Uyghur mungkin menggunakan penyeberangan perbatasan untuk melancarkan serangan di Xinjiang, di mana Beijing telah mengurung lebih dari 1 juta orang Uyghur dan etnis minoritas lainnya di kamp tahanan.
Johnnie Moore mengatakan bahwa yang paling penting adalah Beijing ingin “mengeksploitasi situasi saat ini untuk mengurangi prestise Amerika Serikat.”
Beijing telah menggunakan penarikan Amerika Serikat yang kacau dari Afghanistan sebagai sasaran empuk untuk kampanye propagandanya, yang menggambarkan Amerika Serikat sebagai sebuah mitra yang tidak dapat diandalkan.
Baru-baru ini, pada 3 September, China Daily yang dikelola pemerintah menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik demokrasi Amerika Serikat. China Daily mengatakan bahwa ketika Amerika Serikat “mengekspor” “model demokrasinya”, Amerika Serikat membawa “bencana ke negara-negara yang khawatir.”
‘Neokolonialisme’ Partai Komunis Tiongkok
“Hubungan antara Beijing dengan Taliban adalah contoh sebuah neokolonialisme terbaru dan kebijakan luar negeri eksploitatif yang berasal dari Partai Komunis Tiongkok di Beijing, yang bertujuan untuk mengambil keuntungan dari semua negara dan semua pemimpin yang cukup mudah tertipu untuk menerima janji mereka, yang mana hampir tidak pernah terpenuhi,” kata Johnnie Moore.
Banyak negara berkembang, termasuk Kenya, Nepal, dan Mozambik, telah berutang budi pada Tiongkok setelah negara-negara tersebut mendaftar dalam Inisiatif Investasi Belt and Road. Beijing meluncurkan inisiatif tersebut pada tahun 2013 untuk membangun rute perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan bagian lain dunia, dalam sebuah upaya untuk membangun pengaruh geopolitik.
Pakistan maupun Afghanistan juga merupakan anggota proyek OBOR Tiongkok; Afghanistan menandatangani proyek ini pada tahun 2016. Pada 2 September, Taliban menyatakan sebuah keinginan untuk terus menjadi bagian proyek OBOR.
Hari itu, Abdul Salam Hanafi, seorang anggota senior di tim perunding Taliban, memberitahu asisten Menteri Luar Negeri Tiongkok Wu Jianghao bahwa Inisiatif Belt and Road akan “berkontribusi pada pembangunan dan kemakmuran di Afghanistan.”
Johnnie Moore berkata: “Apa yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok adalah Partai Komunis Tiongkok mengeksploitasi negara-negara yang rentan melalui para pemimpin untuk memajukan agenda Partai Komunis Tiongkok.
Ia menambahkan, apa yang terjadi di seluruh dunia secara perlahan dan apa yang akan dipelajari Taliban, dan apa yang akan dipelajari Pakistan, dan beberapa negara di antara negara-negara ini, telah memilih untuk menempuh jalan ini, adalah apa yang dipelajari orang-orang Tiongkok dahulu tetapi tidak diizinkan untuk mengatakan: Korban pertama dari kejahatan terburuk yang dilakukan Partai Komunis adalah rakyatnya sendiri, yaitu rakyat Tiongkok.” (Vv)