Sejumlah LSM Luncurkan Deklarasi untuk Mencegah Panen Organ Tubuh Secara Paksa

Frank Fang – The Epoch Times

Kelompok advokasi yang berbasis di Amerika Serikat yakni Doctors Against Forced Organ Harvesting (DAFOH) dan empat lembaga swadaya masyarakat lainnya menyerukan kepada pemerintah dan publik untuk mendukung sebuah inisiatif baru dengan tujuan mengakhiri praktik panen organ secara paksa yang didukung rezim Tiongkok.

Secara bersama-sama mereka mengeluarkan Deklarasi Universal untuk Memerangi dan Mencegah Panen Organ Secara Paksa pada Minggu (26/10/2021) dalam  kesimpulan dari The World Summit on Combating and Preventing Forced Organ Harvesting atau KTT  Dunia tentang ‘Memerangi dan Mencegah Pengambilan Organ Secara Paksa’ selama dua minggu, yang menarik para ahli, politisi, dan saksi dari 19 negara untuk diskusi online mengenai praktik keji itu.

Sebuah video yang menyertai deklarasi tersebut menyerukan kepada orang-orang untuk membubuhkan tanda tangan dalam deklarasi tersebut untuk menghentikan kekejaman terkejam abad ini, sejak rezim Tiongkok mengubah para dokter menjadi algojo” untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah untuk dipanen organ tubuh mereka.

Deklarasi tersebut menyerukan semua pemerintah untuk memerangi dan mencegah panen organ secara paksa dengan menyediakan tindakan pidana tertentu, dan  memfasilitasi penuntutan, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional, para pelaku kejahatan  panen organ secara paksa, kata Arthur Caplan, seorang profesor bioetika di Universitas New York, selama sesi online dari Konferensi  itu pada 26 September.

Tindakan  tersebut termasuk memaksa orang-orang untuk menyumbangkan organ-organ mereka serta mengangkat organ dari para donor yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia tanpa hak persetujuan, menurut Arthur Caplan.

Arthur Caplan juga adalah direktur di Divisi Etika-Etika Medis di  Fakultas Kedokteran Grossman Universitas New York. 

Arthur Caplan mengatakan pemerintah harus mengadopsi Undang-Undang yang mempidana tindakan ini yang disarankan oleh deklarasi tersebut.

Arthur Caplan mengatakan sudah waktunya untuk memastikan panen organ secara paksa yang mengandalkan persetujuan palsu atau paksaan untuk dihentikan.

“Negara-negara yang terlibat dalam praktik semacam itu harus diidentifikasi, dimintai pertanggungjawabannya, bertanggung jawab, dan bahkan diboikot, sampai transplantasi beroperasi di bawah sebuah kerangka moral pilihan bebas dan rasa hormat. Saya pikir  deklarasi ini melakukannya,” kata Arthur Caplan.

Empat Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya adalah the Taiwan Association for International Care of Organ Transplants (TAICOT), Korea Association for Ethical Organ Transplants (KAEOT), Transplant Tourism Research Association (TTRA) dari Jepang dan CAP Freedom of Conscience dari Prancis.

Partai Komunis Tiongkok mengubah Tiongkok menjadi sebuah tujuan utama untuk prosedur transplantasi organ karena  rumah sakit Tiongkok sering menemukan pasien dengan organ yang cocok dalam jumlah waktu yang sangat singkat waktu. 

Rezim Tiongkok menolak tuduhan keterlibatannya dalam panen organ yang dicap sebagai “desas-desus”. Komunis Tiongkok mengklaim memiliki sistem sumbangan nasional untuk  pengadaan organ.

Tuduhan panen organ secara paksa dari praktisi Falun Gong yang ditahan pertama kali muncul pada tahun 2006. Praktisi Falun Gong, yang menjadi target penganiayaan Tiongkok pada tahun 1999, masih menjadi korban atas kebijakan Beijing  yang menindas sampai hari ini.

Sebuah pengadilan independen yang berbasis di London menyimpulkan dalam sebuah laporan tahun 2019 bahwa panen organ secara paksa yang disetujui Tiongkok telah terjadi di Tiongkok selama bertahun-tahun “dalam sebuah skala signifikan.” Pengadilan independen mengatakan bahwa adalah “pasti” bahwa organ-organ itu bersumber dari praktisi Falun Gong yang dipenjara dan bahwa praktisi Falun Gong “mungkin adalah sumber utama.”

“Sistem sukarela [Tiongkok] saat ini untuk mendapatkan organ-organ tampaknya sedang beroperasi di samping penggunaan terus-menerus dari donor-donor yang tidak sukarela”–yang paling masuk akal, para tahanan dan orang yang secara salah digolongkan sebagai para tahanan dan sebagai donor sukarela–untuk menjaga kecepatan Tiongkok melakukan transplantasi,” kata Arthur Caplan.

Rezim Tiongkok mengklaim kebijakannya  itu yang menargetkan orang-orang Uyghur di  wilayah Xinjiang barat Tiongkok ditujukan untuk membasmi ekstremisme. Demikian juga, Beijing menciptakan propaganda mengenai Falun Gong, dengan tujuan menghasut kebencian publik terhadap Falun Gong dan mengubah warganegara untuk mendukung kampanye penganiayaan Beijing, kata para analis.

Bahkan, diserukan beberapa bentuk boikot terhadap Beijing selama  sesi online pada 26 September yang disampaikan oleh David Curtis, profesor kehormatan genetika di Universitas College London.

“Sudah waktunya bagi kita di Barat untuk berpikir mengenai boikot profesional yang lebih formal, terutama di kalangan para dokter dan ilmuwan atas dasar bahwa profesi medis dan ilmu pengetahuan di Tiongkok terlibat dalam sebuah  tingkat institusional dalam praktik-praktik ini,” kata David Curtis.

Pembicara lain, Elisabetta Zamparutti, seorang pengacara dan mantan anggota Parlemen Italia, menyerukan PBB, Organisasi Kesehatan Dunia, Dewan Eropa, dan Parlemen Eropa untuk berbicara menentang kerja sama di bidang kesehatan dengan Tiongkok.

Dr. Torsten Trey, Direktur Eksekutif DAFOH, mengatakan pada deklarasi tersebut untuk mengatasi praktik keji panen organ secara paksa.

“Kami meminta dukungan anda dengan cara bergabung dengan kami dalam upaya kami untuk mengakhiri ini penyimpangan etika-etika medis,” kata Dr. Torsten Trey. (Vv/asr)