oleh Terri Wu
Pengungkapan bahwa para pemimpin Bank Dunia yang menekan staf untuk mencurangi laporan yang berpengaruh demi menguntungkan Tiongkok sekali lagi menjelaskan pengaruh rezim Beijing dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebuah penyelidikan terbaru menemukan bahwa Presiden Bank Dunia saat itu, Jim Yong Kim dan Kepala Eksekutif saat itu Kristalina Georgieva mengajukan “tekanan yang tidak semestinya” terhadap staf untuk meningkatkan peringkat Tiongkok dalam laporan “Doing Business” Tiongkok pada tahun 2018.
Pada saat itu, kepemimpinan Bank Dunia dikonsumsi dengan negosiasi-negosiasi sensitif” atas peningkatan modal besar, sebuah langkah yang meningkatkan saham Tiongkok di pemberi pinjaman, kata para penyelidik. Para pemimpin juga menerima tawaran berulang kali dari para pejabat senior Tiongkok yang menginginkan skor Tiongkok dinaikkan untuk mencerminkan inisiatif Tiongkok dalam reformasi.
Dampak dari penyelidikan telah melaju cepat. Bank Dunia mengumumkan pengabaian laporan oleh pihaknya terhadap laporan Doing Business secara keseluruhan. Kristalina Georgieva, sekarang adalah Kepala Dana Moneter Internasional (IMF), telah menghadapi seruan untuk pengunduran dirinya, termasuk oleh majalah The Economist. Namun demikian, Kepala Dana Moneter Internasional yang diperangi itu, tentu dengan keras membantah temuan penyelidikan itu.
Analis sekarang mengatakan bahwa skandal itu semakin menekankan pengaruh jahat rezim Tiongkok di lembaga-lembaga multilateral yang penting.
Rezim komunis Tiongkok melihat tatanan internasional yang ada sebagai sebuah ancaman terhadap kepentingannya, kata Seth Cropsey, seorang rekan senior Institut Hudson, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Washington, kepada The Epoch Times.
“Jadi rezim komunis Tiongkok ingin untuk mencerai-beraikannya bila memungkinkan. Pengaruh dan keanggotaan dan partisipasi dalam organisasi internasional memberi kesempatan bagi rezim komunis Tiongkok untuk mulai beraksi melakukan apa yang rezim komunis Tiongkok butuhkan mencapai tujuan itu,” ujarnya.
Dan untuk mencapai tujuannya, kata Seth Cropsey, Beijing bersedia menggunakan suap, ancaman kekerasan, tekanan politik dan cara lainnya.
Sejarah Kerjasama
Bank Dunia memainkan sebuah peran penting dalam membentuk reformasi ekonomi Partai Komunis Tiongkok pada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika rezim Tiongkok berusaha untuk melepaskan Tiongkok dari status terpencil, menurut pakar Tiongkok Michael Pillsbury.
Dalam bukunya The Hundred-Year Marathon, Michael Pillsbury menulis bahwa Bank Dunia secara diam-diam menasihati Partai Komunis Tiongkok sejak tahun 1983. Tahun itu, para eksekutif Bank Dunia bertemu dengan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Deng Xiaoping. Akibatnya, Bank Dunia setuju untuk mempelajari Tiongkok dan memberi anjuran bagaimana rezim Tiongkok dapat sejajar dengan Amerika Serikat secara ekonomi dalam beberapa dekade berikutnya.
Sementara pemberi pinjaman itu merilis “beberapa laporan yang tidak jelas” mengenai kepentingan-kepentingan Tiongkok untuk mengembangkan pasar bebas, secara pribadi, Bank Dunia pada pertengahan tahun 1980-an mendukung pendekatan sosialis rezim Tiongkok dan tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk membela sebuah ekonomi pasar yang sebenarnya,” tulis Michael Pillsbury.
“Tiongkok tidak akan menghentikan kampanyenya yang sejauh ini berhasil untuk mendapatkan kemenangan pengaruh yang menentukan di semua badan khusus PBB dan untuk melanjutkan keberhasilannya mendapatkan keuntungan dari Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia,” kata Michael Pillsbury kepada The Epoch Times melalui sebuah email.
Pengaruh Tiongkok
Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia termasuk di antara 15 badan khusus PBB, yang dikepalai oleh tiga perwakilan Tiongkok. Tidak ada negara lain yang memimpin lebih banyak dari satu badan. Sementara itu, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional baru saja dikepalai oleh Tiongkok sejak bulan Agustus setelah jangka waktu tujuh tahun.
“Sejak saya menulis The Hundred-Year Marathon enam tahun lalu, orang-orang Tiongkok belum mengalami sanksi signifikan yang akan menyebabkan mereka mengubah lintasan keberhasilan mereka untuk melampaui Amerika Serikat dalam keunggulan global,” tulis Michael Pillsbury.
Satu-satunya kemunduran Partai Komunis Tiongkok baru-baru ini dalam sistem PBB, menurut Michael Pillsbury, terjadi ketika calon Tiongkok kalah suara untuk posisi teratas di Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
Menjelang pemilihan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia pada Maret 2020, pemerintahan Donald Trump mengerahkan sebuah upaya untuk memastikan bahwa Wang Binyang, seorang perwakilan rezim Tiongkok–yang terkenal karena kurangnya perlindungan kekayaan intelektual oleh Tiongkok — Wang Binyang tidak berhasil dalam upayanya untuk memimpin badan yang ditugaskan untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual di seluruh dunia.
Wang Binyang akhirnya dikalahkan oleh Daren Tang dari Singapura, yang didukung oleh Amerika Serikat dan banyak negara Barat lainnya, melalui pemungutan suara dari 28 sampai 55.
Orang-orang Tiongkok mengira mereka sebuah jalur yang cepat ke [posisi] itu, kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo saat itu pada Juli 2020. Kita memasang seorang calon yang bagus, Dan kita menghancurkan rezim Tiongkok. Itu adalah sebuah upaya diplomatik yang luar biasa.”
Mendorong Belt and Road Melalui PBB
Rezim Tiongkok juga telah menggunakan badan-badan PBB untuk melegitimasi dan mempromosikan proyek investasi infrastruktur globalnya yang besar, yang dikenal sebagai Inisiatif Belt and Road.
Rencana triliun dolar itu dikritik oleh pejabat Amerika Serikat karena memfasilitasi perluasan ekonomi dan kekuatan militer Beijing, sambil membebani negara-negara berkembang dengan beban utang yang tidak dapat dilanjuti.
Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, sebuah badan sekretariat, telah menjadi sebuah kendaraan utama yang digunakan oleh rezim Tiongkok untuk mempromosikan Inisiatif Belt and Road, menurut sebuah laporan tahun 2019 oleh lembaga pemikir Center for a New American Security yang berbasis di Washington.
Pejabat-pejabat Tiongkok memegang posisi teratas di Badan PBB sejak tahun 2007, memungkinkan Beijing untuk memanfaatkan sebuah jaringan warganegara Tiongkok yang luas untuk mengarahkan organisasi tersebut ke arah merangkul Belt and Road, kata laporan itu.
Melalui upaya ini, rezim Tiongkok telah mampu mengemas proyek Inisiatif Belt and Road di bawah tujuan pembangunan PBB yang berkelanjutan, kata laporan itu, sehingga memungkinkan sumber daya PBB diarahkan untuk mendukung investasi Tiongkok.
Organisasi Kesehatan Dunia, yang dipimpin oleh Margaret Chan dari Hong Kong dari tahun 2007 hingga 2017, juga mempromosikan Inisiatif Belt and Road di sektor perawatan kesehatan.
Pada Januari 2017, Margaret Chan menandatangani sebuah memorandum Inisiatif Belt and Road di bidang perawatan kesehatan dengan Tiongkok pada sebuah pertemuan dengan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping di Jenewa.
Pada Mei 2017, kurang dari dua bulan sebelum berakhirnya masa jabatannya, Margaret Chan mengunjungi Beijing dan menandatangani rencana aksi tersebut. Setelah meninggalkan Organisasi Kesehatan Dunia, Margaret Chan segera menjabat posisi tingkat tinggi di organisasi-organisasi Partai Komunis Tiongkok, termasuk Kongres Konsultatif Politik, sebuah badan penasihat politik yang merupakan sebuah organ penting, dalam upaya pengaruh di dalam dan luar negeri rezim Tiongkok, yang dikenal sebagai “kerja front terpadu.”
Selama masa jabatannya, Margaret Chan juga menunjuk istri Xi Jinping, Mayor Jenderal Peng Liyuan, dan pembawa acara TV milik pemerintah Tiongkok James Chau sebagai para duta besar Organisasi Kesehatan Dunia yang berniat baik, sebuah peran yang masih mereka emban sampai sekarang.
Ketua WHO saat ini Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang menggantikan Margaret Chan pada Juli 2017, memimpin sebuah delegasi Organisasi WHO ke Forum Belt and Road untuk Kerjasama Kesehatan di Beijing pada Agustus 2017. Selama perjalanan ke Tiongkok itu, Tedros Adhanom Ghebreyesus menandatangani sebuah perjanjian strategis yang mendukung Inisiatif Belt and Road, sementara WHO menerima sebuah kontribusi tambahan sebesar USD 20 Juta dari rezim Tiongkok.
Memorandum antara WHO dan Tiongkok ini, yang belum dipublikasikan, akan memungkinkan rezim penguasa Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya pada sistem rumah sakit di seluruh dunia, khususnya di bidang data, kata Ian Easton, direktur senior di lembaga pemikir Project 2049 Institute yang berbasis di Virginia, selama sebuah diskusi virtual pada Agustus lalu yang diselenggarakan oleh Institut Hudson.
Perjanjian tersebut membuka jalan bagi negara-negara klien di seluruh dunia untuk menggunakan teknologi, produk, dan perangkat lunak Tiongkok di rumah sakit dan organisasi lainnya yang berkaitan dengan kesehatan global, kata Ian Easton.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional tidak menanggapi pertanyaan dari The Epoch Times yang berkaitan dengan pengaruh Partai Komunis Tiongkok dalam sistem PBB. Pejabat-pejabat WHO juga tidak menanggapi permintaan komentar. (Vv)