Militer Sudan melancarkan kudeta dan terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa yang marah. Selama periode itu, Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan pejabat penting kabinet ditangkap dan ditahan. Di bawah tekanan internasional, Hamdok akhirnya dibebaskan dan dipulangkan pada 26 Oktober. Akan tetapi, anggota kabinet dan pemimpin sipil lainnya masih berada di balik jeruji besi.
Kudeta militer di ibu kota Sudan Khartoum pada 25 oktober, diprakarsai oleh Letnan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Saat menggelar konferensi pers pertama setelah kudeta pada 26 Oktober, ia membela kudeta dan mengatakan sebagai langkah untuk menghindari perang saudara.
Burhan menyatakan bahwa tentara tidak punya pilihan, selain mengusir politisi yang menghasut warga Sudan untuk melawan tentara. Dia juga mengklaim bahwa Abdalla Hamdok dibawa ke “rumah saya” untuk menghindari bahaya. Hamdok kini dalam keadaan sehat dan bisa pulang setelah krisis berakhir.
Media Al Jazeera mengutip sumber-sumber militer yang mengatakan bahwa Hamdok dan istrinya telah kembali ke rumah. Kantor Perdana Menteri juga mengonfirmasi bahwa Hamdok telah kembali ke rumah, tetapi masih “dipantau secara ketat.” Anggota kabinet dan pemimpin sipil lainnya belum dibebaskan.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa Menteri Luar Negeri Antony Blinken berbicara dengan Hamdok pada 26 Oktober.
“Menteri Luar Negeri menyambut baik pembebasan Perdana Menteri (Sudan) dan sekali lagi menyerukan kepada militer Sudan untuk membebaskan semua pemimpin sipil yang ditahan dan memastikan keselamatan mereka,” kata Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price.
Setelah militer Sudan mengambil alih kekuasaan dari pemerintah transisi, Burhan menyatakan keadaan darurat di Sudan. Ia menyatakan bahwa negara itu membutuhkan angkatan bersenjata untuk melindungi keselamatan rakyat dan negara.
Dia juga berjanji untuk menggelar pemilu pada Juli 2023 dan mengalihkan kekuasaan kepada pemerintah sipil terpilih.
Kementerian Informasi Sudan, yang setia kepada Perdana Menteri Hamdok, menyatakan di Facebook bahwa di bawah konstitusi transisi, hanya perdana menteri yang memiliki hak untuk menyatakan keadaan darurat. Ia menuding tindakan militer merupakan kejahatan. Kementerian Penerangan Sudan mengatakan bahwa Hamdok masih merupakan pemerintahan transisi yang sah dalam kekuasaan.
Puluhan ribu orang menentang kudeta dan turun ke jalan serta membakar ban. Pada 25 Oktober, mereka menghadapi tembakan artileri militer di dekat markas militer di ibu kota Khartoum, menewaskan 7 orang dan melukai 140 orang lainnya.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan akan menangguhkan pemberian 700 juta dolar AS dalam bantuan ekonomi ke Sudan. Tujuan dari program bantuan ini adalah untuk membantu transisi Sudan menuju demokrasi setelah diktator Bashir digulingkan. Uni Eropa juga akan mengambil tindakan serupa.
Selain itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyerukan “pembebasan segera” Hamdok sebelum Dewan Keamanan menggelar pertemuan darurat untuk membahas krisis di Sudan. Selain itu, mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk kudeta di Sudan.
Beberapa tahun ini, Sudan sedang menjalani pemerintahan transisi setelah lengsernya Omar al-Bashir. Ia adalah Presiden yang sempat memimpin sekelompok perwira militer melancarkan kudeta militer pada Juni 1989, untuk menggulingkan Presiden Ahmed al-Mirghani dan Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi saat itu.
Setelah pemerintahan terpilih secara demokratis yang dipimpin oleh Mahdi, ia mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin negara dengan gaya otokratis. Ia memenangkan banyak pemilihan umum sesudahnya dan memerintah Sudan selama 30 tahun, hingga ia mengundurkan diri pada April 2019.
Setelah Bashir mengundurkan diri, dia dijatuhi hukuman penjara karena korupsi dan kejahatan lainnya.
Media “The Ghana Report” mengutip laporan juru bicara Komite Pembongkaran Rezim dan Antikorupsi Sudan, Salah Manaa pada 25 mei 2020, menyatakan bahwa saham dan real estat dari berbagai perusahaan yang disita atas nama Bashir diperkirakan bernilai sekitar 3,5 hingga 4 miliar dolar AS. (hui)