Michael Washburn
Penolakan Beijing untuk mematuhi surat dan semangat keanggotaannya di WTO selama dua dekade sejak masuknya Tiongkok ke dalam WTO, menyerukan sebuah perubahan strategi di pihak negara yang menghormati dan berusaha menegakkan aturan.
Tiongkok bergabung dengan WTO pada 11 Desember 2001, dan hari jadinya yang ke-20 keanggotaan Tiongkok telah mengilhami banyak refleksi terhadap tonggak sejarah, serta keluhan dan protes oleh negara anggota lain yang menolak ketergantungan rezim komunis Tiongkok berkelanjutan, pada perdagangan yang canggung dan tidak berorientasi pada pasar dan praktik- perburuhan, dari subsidi pertanian secara besar-besaran hingga kerja paksa.
Sebuah Pola Pelanggaran yang Berkelanjutan
Bagi banyak pengamat, Beijing bersalah bukan hanya atas pelanggaran yang kebetulan terhadap persyaratan keanggotaannya, tetapi sebuah pendekatan umum untuk perdagangan dan tenaga kerja yang bertentangan dengan aturan dan prinsip pendirian WTO.
“Ketika Tiongkok bergabung dengan WTO, Tiongkok setuju untuk bergabung dalam sebuah organisasi perdagangan global yang didasarkan pada prinsip perdagangan yang dipimpin oleh aturan yang dipimpin perusahaan swasta dan berdasarkan pasar, sesuai dengan prinsip dasar yang non-diskriminasi, timbal-balik, dan transparansi,” kata Stephen Ezell, wakil presiden Information Technology and Innovation Foundation (ITIF).
“Dan Tiongkok tidak pernah lebih jauh dari Tiongkok saat ini dari umumnya berpegang pada prinsip-prinsip tersebut. Tiongkok sudah sejauh ini.”
Terlepas dari harapan dan persyaratan bahwa pihak berwenang Tiongkok tidak campur tangan secara langsung atau tidak langsung dalam keputusan komersial
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Negara tunduk pada pengawasan Partai Komunis Tiongkok.
Sebuah laporan Juli yang diterbitkan oleh organisasi Stephen Ezell berjudul False Promises II: The Continuing Gap Between China’s WTO Commitments and Its Practices : Kesenjangan yang Berkelanjutan Antara Komitmen WTO oleh Tiongkok dan Praktik-Praktik Tiongkok,” mencatat bahwa per tahun 2016, ada 150.000 Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan yang dikendalikan negara di Tiongkok pada tingkat pemerintah daerah atau tingkat pusat, mempekerjakan sekitar 30 juta pekerja dan memegang total aset USD 15,2 triliun.
Keanggotaan di WTO, secara teori, akan mengarah pada sebuah pengurangan yang tajam dalam jumlah BUMN dan prevalensi BUMN dalam output industri Tiongkok, tetapi tren yang sebenarnya lebih dekat ke sebaliknya.
Laporan tersebut memetakan pertumbuhan sektor BUMN baik secara kapitalisasi pasar maupun secara jumlah total, dan mencatat bahwa pada tahun 2019, dari 109 perusahaan Tiongkok yang terdaftar di Fortune Global 500, 93 perusahaan di antaranya adalah BUMN. Prevalensi BUMN terutama ditandai di sektor perbankan, di mana bank-bank milik negara dan bank-bank yang dikendalikan negara mendominasi, catatan laporan itu. BUMN menikmati berbagai keunggulan dibandingkan perusahaan swasta di berbagai bidang, mulai dari perpajakan hingga ketersediaan dan persyaratan pinjaman.
“Prevalensi yang terus berlanjut dari perusahaan milik negara adalah contoh yang sangat jelas bahwa Tiongkok tidak mematuhi aturan,” kata Stephen Ezell.
Bidang-bidang ketidakpatuhan lainnya melibatkan subsidi untuk bisnis pertanian dan transfer teknologi secara paksa. Di bawah aturan WTO, satu anggota harus memberitahu WTO mengenai pemberian suatu subsidi secara tepat waktu, tetapi Beijing telah gagal melakukannya dan bahkan tidak memberikan pemberitahuan subsidi tingkat provinsi hingga tahun 2019, kata Stephen Ezell.
Fenomena transfer teknologi secara paksa bahkan lebih memprihatikan, kata Stephen Ezell. Ketika perusahaan non-Tiongkok berusaha untuk bersaing di pasar Tiongkok, perusahaan non-Tiongkok sering tidak mempunyai pilihan selain mengungkapkan teknologi perdagangan yang sensitif dan paten serta rahasia untuk pesaing perusahaan non-Tiongkok di Tiongkok sebagai bagian proses itu. Stephen Ezell mengutip Kawasaki Rail Car dan Siemens sebagai dua contoh perusahaan asing yang harus membocorkan teknologi yang terlibat dalam sistem rel kecepatan-tinggi miliknya ketika mencari masuk ke Tiongkok.
“Kawasaki Rail Car dan Siemens dipaksa untuk memberikan teknologi yang mereka miliki dan menemukan dirinya bersaing dengan perusahaan Tiongkok [yang menggunakan teknologi mereka] beberapa tahun kemudian di pasar-pasar global,” kata Stephen Ezell.
Sebuah masalah terkait yang menarik perhatian internasional adalah kurangnya Beijing menghormati aturan dan protokol yang dipahami secara umum yang mengatur kekayaan intelektual, kata Stephen Ezell. Perusahaan Tiongkok dengan berani menyalahgunakan kekayaan intelektual milik pesaing asing, sebuah praktik yang hanya menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu dalam menghadapi protes menentang hal tersebut.
Stephen Ezell mengatakan, meskipun Partai Komunis Tiongkok berulang kali menjamin bahwa praktik ini akan mereda, praktik ini terus berjalan dengan cepat. Di setiap industri teknologi, dari bioteknologi hingga kedirgantaraan ke peralatan telekomunikasi, Tiongkok terlibat dalam pencurian kekayaan intelektual yang disetujui oleh negara. Hal tersebut pada dasarnya bertentangan dengan komitmen yang dibuat Tiongkok ketika bergabung dengan WTO.
Stephen Ezell menggambarkan pencurian kekayaan intelektual, bukan hanya pekerjaan beberapa aktor acak, tetapi sebagai sebuah pendekatan yang pemerintah secara khusus ditujukan untuk memberikan sebuah keuntungan bagi BUMN, yang melanggar aturan WTO dan hukum internasional.
“Partai Komunis Tiongkok menyindir dirinya sendiri secara tidak langsung ke setiap sudut aktivitas ekonomi Tiongkok, dengan desain dan dengan niat. Itu berarti instruksi tersebut berasal dari atas,” kata Stephen Ezell.
Sebuah Kesalahan besar
Bagi sebagian pengamat, catatan pelanggaran-pelanggaran yang meluas, kronis, dan berkelanjutan itu menegaskan perasaan yang mereka miliki pada saat diskusi berlangsung mengenai masuknya Tiongkok ke WTO dua dekade lalu.
“Dua puluh tahun yang lalu, saya menulis sebuah artikel di Wall Street Journal yang mengatakan bahwa saya tidak berpikir kita harus membiarkan Tiongkok masuk ke dalam WTO karena Tiongkok tidak mau memenuhi kewajibannya. Tiongkok jelas-jelas tidak,” kata Thomas J. Duesterberg, seorang rekan senior di Institut Hudson.
Pertanyaannya bukanlah apakah kehadiran Tiongkok di WTO dapat dibenarkan, tetapi bagaimana menanggapi pelanggaran dalam menghadapi kegagalan banyak sanksi untuk menekan Beijing agar mengubah atau mengakhiri praktiknya yang lebih mengerikan, kata Thomas J. Duesterberg.
Menghapus sanksi-sanksi mungkin bukanlah reaksi yang tepat. Pada saat ini, Thomas J. Duesterberg percaya, negara-negara demokrasi yang bersekutu harus terus-menerus menerapkan tekanan.
“Kita dapat menegakkan aturan-aturan seperti yang kita lihat, dan pemerintahan Donald Trump adalah cukup kuat dalam hal itu. Pemerintahan Joe Biden belum mencabut satupun dari tarif yang dikenakan kepada Tiongkok dulu, jadi kita perlu terus menekan,” kata Thomas J. Duesterberg.
“Ada baiknya mencoba mereformasi WTO dan menerapkan aturan yang lebih kuat, terutama pada subsidi dan perdagangan digital.”
Tetapi reformasi semacam itu, meskipun diinginkan, mungkin tidak cukup jauh. Thomas J. Duesterberg melihat sebuah peran penting untuk perjanjian dan sistem perdagangan alternatif dengan sebuah karakter regional.
“Kita dapat masuk dan membangun perjanjian perdagangan secara regional, seperti yang pernah kita lakukan dengan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, tetapi saya juga berpikir Amerika Serikat perlu bergabung dengan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik,” kata Thomas J. Duesterberg, merujuk pada sebuah pakta regional negara-II yang ditarik oleh pemerintahan Donald Trump.
Pemerintahan Joe Biden telah mengindikasikan bahwa pihaknya tidak memiliki rencana untuk bergabung dalam perjanjian perdagangan, yang disebut dengan CPTPP.
Sebuah aliansi perdagangan semacam itu mungkin terbukti lebih efektif, pada akhirnya daripada memperlengkapi kembali WTO, di mana pertikaian internal mengenai masalah Tiongkok telah terjadi yang menimbulkan sebuah rintangan bagi reformasi yang efektif.
“Amerika Serikat telah berbicara dengan Eropa dan Jepang, tetapi Eropa sangat enggan untuk mengambil sebuah sikap yang kuat terhadap Tiongkok, dan untuk mendapatkan aturan yang baru ke dalam WTO adalah sebuah perintah yang sangat sulit dilakukan karena biasanya membutuhkan tingkat konsensus yang sangat tinggi,” kata Thomas J. Duesterberg.
“Orang-orang Tiongkok tidak akan pernah setuju untuk hal itu, dan orang-orang Tiongkok memiliki sekutu yang telah dibeli atau ditekan untuk berpihak kepadanya.”
Oleh karena itu, kegunaan sebuah aliansi baru, seperti CPTPP, di mana pengaruh Tiongkok tidak dapat menghalangi reformasi yang efektif. Amerika Serikat perlu bekerja untuk masalah ini dengan kekuatan yang berpikiran sama seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang, yang tidak takut untuk mengecam praktik rezim Beijing, kata Thomas J. Duesterberg.
“Tetapi jika kita dapat membuat orang-orang Eropa menjadi pendukung yang lebih tangguh terhadap Tiongkok, itu juga bagus,” tambah Thomas J. Duesterberg.
Thomas J. Duesterberg juga tidak menutup kemungkinan untuk memberitahu perusahaan milik Tiongkok seperti Alibaba dan TikTok bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak boleh beroperasi di Amerika Serikat, mengingat pembatasan yang menghambat perusahaan Amerika Serikat yang ingin berbisnis di Tiongkok. Sebuah langkah semacam itu dapat meningkatkan tekanan pada Beijing untuk memodifikasi pengabaiannya, terhadap surat tersebut dan semangat tatanan ekonomi global yang berbasis perdagangan bebas.
NATO untuk Perdagangan
Stephen Ezell mengatakan ia melihat potensi sebuah jaringan perdagangan, ekonomi, dan keamanan negara yang berpikiran sama untuk melawan kebijakan dan praktek Partai Komunis Tiongkok yang kejam. Apa NATO untuk pertahanan nasional, jaringan ini akan digunakan untuk perdagangan global. Stephen Ezell memberi sebuah contoh bagaimana sistem ini akan bekerja dalam prakteknya.
“Ketika kita menemukan perusahaan Tiongkok yang terus terlibat dalam pencurian kekayaan intelektual, kita harus secara kolektif menolak akses semua perusahaan Tiongkok itu ke semua pasar dalam kemitraan ini,” kata Stephen Ezell.
“Kita dapat memiliki sebuah NATO untuk perdagangan, negara-negara akan bertindak secara kolektif ketika perusahaan dirugikan oleh perilaku Tiongkok, untuk memaksakan konsekuensi serius dan secara kolektif memperkuat standar yang tinggi untuk perdagangan berbasis-pasar.” (Vv)
Michael Washburn adalah reporter lepas berbasis di New York yang meliput topik terkait Tiongkok. Ia memiliki latar belakang jurnalisme hukum dan keuangan, dan juga menulis tentang seni dan budaya. Selain itu, ia adalah pembawa acara podcast mingguan “Reading the Globe.” Buku-bukunya termasuk “The Uprooted and Other Stories,” “When We’re Grownups,” dan “Stranger, Stranger.”