oleh Iswahyudi
Seorang Sufi mengatakan bahwa dunia fisik kita adalah ilusi. Dunia sejati adalah alam ilahian/ alam ruh, alam nilai, akhirat, dunia seberang, nirwana, alam kadewataan atau apapun namanya. Di situlah asal mula kita dan kampung halaman di mana jiwa seseorang berpulang, sangkan paraning dumadi.
Berabad-abad para laku spiritual, pertapa, kultivator, brahmana, biksu, para sufi, orang suci, dan para filsuf mencurahkan upaya, mengajarkan cara untuk tidak terlena dengan dunia, agar tidak terlekat, tersesat, dan mengambil jarak serta menanam kesadaran bahwa tempat ini hanyalah transit bukan destinasi. Muncullah ajaran agama, kepercayaan, jalan suci (Tao), dan kebijaksanaan yang bisa menjadi road map perjalanan untuk kembali ke alam sejati.
Baik dari era berburu, bertani dan beternak, era industri, era teknologi infor- masi, sampai era kebijaksanaan, pergulatan manusia berada pada dua kutub; yaitu (1) dunia sebagai destinasi vs (2) dunia sebagai transit. Para penganut kutub pertama berusaha mengumpulkan sumber daya, kuasa, pengaruh, pengetahuan, dan kebijaksanaan agar bisa bahagia, berkuasa, hidup abadi, atau bahkan kalau bisa menjadi ‘Tuhan’.
Kubu ini dilandasi pemikiran bahwa manusia dilahirkan dari ruang kosong/ hampa, acak tanpa tujuan, dan netral nilai. Pertarungan untuk bertahan hidup (struggle of fitness) menjadi moral utama. Homo homini lupus (manusia memangsa manusia) menjadi laku hidupnya. Dalam sejarah peradaban manusia sering kali pandangan kutub pertama ini sering mendominasi. Sementara kutub yang kedua, memandang dunia ini sekedarnya.
Gold, Glory dan Girl dipandangnya dengan sangat hambar bahkan menjadikannya sebagai alat menempa nilai. Menciptakan peradaban spiritual, ilahiah, semi dewa semi manusia. Sejatinya kontestasi antara dua kutub paradigma ini berlangsung abadi hingga kini.
Sekilas Dunia Metaverse
31 Oktober 2021, Mark Zuckerberg mengumumkan perubahan nama Facebook menjadi Meta. “Saya percaya metaverse adalah bab berikutnya untuk internet, dan ini adalah bab berikutnya untuk perusahaan kami juga Misi kami tetap sama tentang menyatukan orang Mulai sekarang kita akan menjadi metaverse bukan facebook Saya mendedikasikan energi kami untuk ini lebih dari perusahaan lain di dunia dan jika ini adalah masa depan yang ingin Anda lihat, maka saya berharap Anda akan bergabung dengan kami, karena masa depan akan melampaui apa pun yang dapat kita bayangkan.”
Itulah poin-poin penting yang disampaikan Mark pada pidatonya.
Metaverse itu sebenarnya apa? Metaverse adalah sebuah konsep dunia virtual di mana seseorang dapat membuat dan menjelajah bersama pengguna internet lainnya dalam bentuk avatar dirinya sendiri. Orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain dengan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, atau perangkat lainnya. Namun, sebenarnya istilah Metaverse ditulis oleh Neal Stephenson di novel Snow Crash pada 1992. Secara etimologi Meta berarti melampaui, Verse adalah alam semesta.
Cara kerja atau sejumlah kegiatan atau hal-hal yang bisa dilakukan di Metaverse, antara lain: (1) Horizon, yang merupakan dunia virtual yang dapat memilih atau membuat tanah sendiri seperti taman, kantor, tempat bermain, pantai, pegunungan, luar angkasa atau tempat manapun yang ingin dituju. (2) Avatar yang merupakan identitas/ sosok virtual lengkap dengan sifat, karakter, atribut seperti manusia di dunia nyata. Secara asal-usul kata avatar dalam terminologi Hindu, berarti inkarnasi dari Roh Keilahian yang datang ke bumi untuk menegakkan kebenaran. Tapi dalam dunia digital sebuah avatar dimaknai sebagai representasi grafis dari pengguna atau karakter atau persona pengguna. (3) Kegiatan virtual, Pengguna dapat melakukan aktivitas yang sama di dunia nyata seperti berolahraga, menonton film, menonton konser, kuliah, bekerja, dan lain-lain. (4) Kumpul bersama, Pengguna dapat bertemu dengan pengguna lain untuk meeting, berpesta ataupun sekedar nongkrong bersama. (5) Belanja, Pengguna dapat berbelanja dan bertransaksi layaknya berbelanja langsung ke toko atau mal. (6) Masuk ke arena permainan, dimana pengguna dapat masuk ke dalam game layaknya seperti film “Ready Player One” atau Film “Free Guy”. Memasuki metaverse seseorang memerlukan perangkat khusus untuk bisa merasakan pengalaman tiga dimensi. Bisa dikatakan bahwa Facebook adalah sampul dari sebuah buku, dan metaverse adalah halaman-halaman dan jilid-jilid buku dunia digital itu sendiri.
Dilihat dari paradigma dunia kaum sufi, tokoh spiritual, brahmana, Budha, kultivator, orang suci, dan pertapa, dunia metaverse adalah turunan ketiga dari dunia sejati dimana semua jiwa dan nilai bermula dan menuju. Dunia sejati diturunkan ke alam dunia. Alam dunia diturunkan menjadi dunia maya. Dunia maya diturunkan
lagi menjadi metaverse. Itulah posisi metaverse itu.
Metaverse: Tanah harapan atau disrupsi kemanusiaan versi tercanggih
Untuk mewujudkan dunia metaverse ada beberapa komponen penting; (1) Internet yang cepat dan stabil adalah syarat utama, (2) Virtual Reality (VR), yaitu perangkat atau teknologi yang memungkinkan kita masuk ke dalam dunia metaverse.
Beberapa perusahaan pengembang VR ini seperti Oculus oleh Facebook, Tesla Studio yang mengembangkan TeslaSuit, dan sebagainya. Proyek terbaru yang sedang digarap Facebook, berjuluk Nazare, saat ini sedang mengembangkan VR berupa ka- camata dengan sebutan AR Glasses, yang akan lebih memudahkan lagi untuk masuk ke dunia metaverse. (3) Augmented Reality (AR), yang merupakan teknologi untuk memasukkan dunia virtual ke dalam dunia nyata. Contoh yang sudah kita gunakan saat ini adalah filter Instagram atau media sosial lainnya. (4) Artificial Intelligence (AI), yang digunakan untuk mendukung metaverse dengan kecerdasan buatan setara manusia dalam pengoperasian dunia virtual yang sempurna. (5) Sosial dan Ekonomi, Metaverse juga membutuhkan komponen sosial dan ekonomi untuk bisa berjalan sesuai kenyataan. Media sosial seperti Facebook, Line, Dicord, dan lain-lain tidak terlepas dari pengoperasian metaverse untuk memungkinkan individu berinteraksi, berkomunikasi dan membangun kehidupan sosial. Selain itu juga diperlukan cryptocurrency atau mata uang digital, serta teknologi yang mendukung proses pembayaran seperti PayPal, transaksi jual-beli, e-market, e-wallet, dan lain-lain.
Kehadiran metaverse menjadi harapan baru bagi dunia teknologi dan kehidupan manusia di masa depan. Banyak hal dapat dimudahkan dengan adanya metaverse, namun demikan banyak juga hal yang ha- rus dipersiapkan dengan matang untuk menghasilkan dunia virtual yang dapat memenuhi aktivitas dan kebutuhan manusia layaknya di dunia nyata.
Tidak dapat dihindari bahwa ancaman seperti keamanan privasi, kecanduan teknologi, pengaruh terhadap kesehatan, keseimbangan mental juga mungkin membuat kita berpikir dua kali sebelum memasuki metaverse nanti.
Tak bisa dipungkiri dalam perjalanan perkembangan fase peradaban manusia tidak lepas dari penaklukan, hegemoni dan penjajahan. Dunia digital sebelum metaverse sudah banyak menimbulkan gelombang hegemoni dan disrupsi. Disrupsi pengetahuan dengan munculnya mesin pencari Google yang mengebiri peran guru dan pendidik sebagai rujukan pengetahuan.
Disrupsi sosial dengan munculnya situs media sosial semisal Facebook, yang mempunyai pengguna di akhir 2021 hampir mencapai 3 miliar penduduk melebihi jumlah penduduk negara manapun di dunia. Disrupsi alat transportasi yang menyebabkan rontoknya bisnis transportasi konvensional. Disrupsi gaya berbelanja dan menikmati hiburan dengan munculnya marketplace digital, game online, Netflix dan lain-lain. Dalam bidang pengawasan dan kontrol sosial telah melahirkan negara polisi orwellian di Tiongkok yang modelnya lambat laun mulai ditiru negara lain yang mengancam kebebasan dan demokrasi.
Kemunculan Big Tech juga secara langsung bisa mendisrupsi entitas dan ke- daulatan sebuah negara.
Semisal Facebook dengan 3 miliar warga negara digitalnya, sumber daya digitalnya, ‘ideologi negaranya’,‘konstitusinya’, dan sekaligus mata uang, yang kapitalisasi pasar Facebook-nya bisa melebihi GDP sebuah negara. Facebook dan big tech yang lainnya pada pilpres AS kemarin bisa menghilangkan identitas digital seorang POTUS Donald Trump karena dianggap melanggar konstitusi negara adi daya digital Facebook dan Twitter. Walaupun Donald Trump adalah seorang presiden ia masih juga jadi warga negara digital Facebook, Twitter dan sejenisnya yang mempunyai konstitusi sendiri.
Kemunculan mesin disruptor kebudayaan yaitu aplikasi Tik Tok, membuat tren penyeragaman koreografi, budaya, preferensi, selera musik yang secara tidak disadari dengan cepat mematahkan suatu generasi dari kebudayaan nasionalnya. Kini Tik Tok mempunyai pengguna yang terus meningkat mengejar pendahulunya. Mencerabutkan generasi sekarang dari generasi sebelumnya.
Gaya imperialisme ala abad ke-18, 19, 20 kini sudah tidak relevan lagi. Rempah-rempah tak seboomming di era kolonial, minyak bumi sudah menipis, mineral terus menerus berkurang. Kontestasi selanjutnya adalah bagaimana menambang data dan menaklukkan pikiran dan perasaan manusia di dunia.
Media sosial sebelum kemunculan metaverse telah berhasil (1) memetakan pemikiran manusia di dunia lintas batas negara dan peradaban, (2) mengumpulkan dan menambang data untuk memenuhi bahan mentah kecerdasan buatan (AI) yang pada akhirnya ingin menggantikan kecerdasan manusia dan menggiring perilaku manusia lewat sabda dewa algoritma.
Sekilas metaverse akan memperlakukan kita bak seorang avatara yaitu so- sok ilahiah yang jika ia inginkan sesuatu dengan niat pikirannya akan terwujud. Bisa melakukan perjalanan lintas dimensinya yang seolah nyata. Ini bisa dimaknai sebagai sanjungan sekaligus cacian bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia diajak untuk berimajinasi bahwa sangat mungkin menjadi Tuhan. Avatar itu sosok messias, juru selamat, yang mempunyai kemampuan kedewataan.
Visi ini mengingatkan sebuah syair di lagu internasionale yang mengatakan bahwa tidak ada maha juru selamat dan tidak ada Tuhan. Metaverse malah mendorong imaginasi manusia untuk menjadi sang avatara. Tuhan itu sendiri. Padahal dunia metaverse tanpa sumber energi (black out) akan kiamat begitu saja.
Semua ilusi kedewaan dan keavataraan lenyap seketika. Dan celakanya ketika jiwa-jiwa yang seharusnya kembali ke alam hakiki yang sebenarnya telah terjebak ke dalam dimensi ilusi yang sangat dalam yang dibuat metaverse. Metaverse bisa jadi bukan tanah harapan, tapi upaya membius kesadaran akan tanah harapan yang sesungguhnya dirindukan sejak jauh lampau. Ini bisa jadi sebuah jebakan bagi kemanu- siaan dan upaya menyegel jalan untuk pulang.