Epochtimes.com
Lebih dari dua tahun telah berlalu sejak wabah pertama virus SARS-Cov-2 (pneumonia Wuhan, COVID-19 atau virus komunis Tiongkok) menyebar dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei pada tahun 2019, kemudian pihak berwenang Tiongkok melakukan revisi terhadap jumlah korban kematiannya. Namun, Biro Urusan Sipil Kota Wuhan belum secara terbuka mengungkapkan perubahan data tentang jumlah populasi yang terjadi dalam 2 tahun terakhir. Mengenai data jumlah jenazah yang dikremasi selama epidemi, pejabat Biro Urusan Sipil Kota Wuhan mengatakan bahwa hal itu tidak nyaman diungkapkan.
Sejak Maret 2020 Kota Wuhan resmi menerbitkan ‘Data Musiman Jumlah Penduduk tahun 2019’, laporan tersebut tidak lagi berkelanjutan.
Pada saat yang sama, laporan triwulanan data kependudukan di Provinsi Hubei dan Kota Xianning yang berdekatan dengan Kota Wuhan dirilis seperti biasa.
Ada netizen yang menemukan masalah yang disebutkan di atas lalu menelepon Biro Urusan Sipil Kota Wuhan untuk penjelasannya. Tetapi ketika netizen bertanya tentang jenazah yang dikremasi, penerima telepon yang menjawab mengatakan bahwa tidak nyaman untuk mengungkapkan jumlahnya.
Wuhan adalah kota asal penyebaran virus COVID-19 dan menjadi kota yang paling terpukul dari epidemi. Kota tersebut telah ditutup (lockdown) sejak 23 Januari 2020, dan itu berlangsung selama 11 minggu baru diizinkan untuk beraktivitas kembali.
Tercatat hingga Maret 2020, jumlah kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan oleh pihak berwenang Wuhan adalah 2.579 orang. Sayangnya, tidak seorang pun warga masyarakat Wuhan yang percaya dengan angka itu.
Padahal, sejak 23 Maret 2020, 7 rumah perabuan besar di Kota Wuhan masing-masing setiap harinya membagikan 500 buah guci berisi abu jenazah kepada keluarga yang berduka. Hal ini semakin memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap angka kematian resmi yang sedemikian jauh diperkecil dari kenyataannya.
Netizen asal Wuhan mengatakan bahwa mulai 23 Maret, Rumah Perabuan Wuchang di Wuhan tidak memungut dari keluarga jasa kremasi jenazah, termasuk guci abu yang diberikan oleh pemerintah.
Pihak rumah perabuan mengungkapkan bahwa pihaknya berupaya untuk membagikan 500 guci abu jenazah kepada pihak keluarga setiap harinya. Agar selesai sebelum ritual tahunan Cheng Beng (5 April).
Menurut Caixin.com, di Rumah Perabuan Hankou saja, ada 5.000 buah guci yang didatangkan dalam 2 hari. Angka tersebut saja sudah 2 kali lipat dari jumlah kematian yang resmi dilaporkan.
Ada netizen yang mencoba untuk memperkirakan, bahwa jika 7 rumah perabuan di Wuhan mendistribusikan total 3.500 buah guci setiap hari. Maka selama 12 hari (dari 23 Maret hingga 5 April) guci yang dibagikan kepada keluarga yang berduka saat itu berjumlah 42.000 buah.
Jika dihitung dari kemampuan insinerator (alat pembakar jenazah), ada 84 insenerator di 7 rumah perabuan Wuhan. Dengan asumsi hanya 65 buah insenerator yang beroperasi secara normal, dan waktu kremasi setiap jenazah dihitung 1 jam, alat pembakaran berjalan 24 jam sehari, maka ada 1.560 jenazah yang bisa diperabukan setiap harinya. Terus dikurangi sekitar 200 jenazah yang meninggal bukan karena COVID-19 setiap harinya. Maka jumlah kematian akibat virus komunis Tiongkok dalam 30 hari adalah 46.800.
Pada 17 April 2020, pejabat Wuhan mengumumkan bahwa tercatat hingga 16 April 2020, jumlah total kematian yang dikonfirmasi direvisi menjadi 3.869 kasus, yaitu, menambahkan 1.290 kasus baru ke dalam catatan sebelumnya. Meskipun mereka mengaku “terjadi kekeliruan atas angka kematian sebesar 50%”, tetapi membantah ada permainan angka.
Revisi di Wuhan tak lain sebagai respons pemerintah terhadap tekanan yang meningkat dari publik Tiongkok untuk merilis angka kematian yang sebenarnya. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan negara-negara lain saat itu juga berulang kali mempertanyakan situasi epidemi di daratan Tiongkok.
Keabsahan data epidemi yang dilaporkan oleh pemerintah Tiongkok, terutama data yang meninggal karena virus telah menimbulkan keraguan yang meluas dari dunia luar. Majalah Forbes menerbitkan artikel panjang pada 6 Januari tahun ini, menganalisis dan membandingkan data kematian di Tiongkok, dan percaya bahwa angka resmi yang dirilis Tiongkok berada dalam penyimpangan ekstrim dari kisaran normal.
Artikel berjudul ‘Beijing Sengaja Merendahkan Angka Kematian di Tiongkok’ menyebutkan, Dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika Latin, tingkat kematian akibat COVID-19 di Jepang, Singapura, dan Korea Selatan memang 10 hingga 20 kali lebih rendah.
Tetapi, angka resmi kematian di Tiongkok malahan 30 hingga 50 kali lebih rendah dari Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Jadi, di Singapura, ada 144,9 orang dari 1 juta penduduk yang meninggal karena COVID-19, di Jepang 145,7 orang meninggal dari 1 juta penduduk, dan Korea Selatan 107,5 orang meninggal dari 1 juta penduduk. Sedangkan Tiongkok cuma 3,21 orang yang meninggal dari 1 juta penduduknya. Apa iya ???
Tercatat hingga bulan Januari, jumlah kematian resmi epidemi di Tiongkok adalah 4.636 orang, di mana 4.512 berada di Hubei dan 124 sisanya berada di bagian lain negara itu.
Majalah Forbes juga menekankan bahwa pihak berwenang Tiongkok tidak lagi merilis data resmi tentang COVID-19 selama hampir dua tahun tak lama setelah Kota Wuhan diblokir.
Oleh karena itu, data Tiongkok tidak memiliki keandalan dan koherensi, dan tidak memiliki nilai penelitian. Akibatnya, penelitian terkait COVID-19 di banyak negara di dunia terpaksa mengenyampingkan Tiongkok. (Sin)