Militer Tiongkok: dari ‘Informasinisasi’ ke ‘Perang Intelijen’

oleh Richard A. Bitzinger

Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok telah mengalami transformasi yang mendalam setidaknya sejak pergantian abad.

Pertama-tama, Tentara Pembebasan Rakyat telah bertahun-tahun mengejar sebuah “pendekatan konstruksi ganda” untuk mekanisasi dan “informasinisasi”. 

Pendekatan “dua jalur” ini menyerukan modernisasi jangka-pendek dari “peralatan yang ada” yang dikombinasikan dengan pengenalan selektif dari generasii baru senjata konvensional,” bersama dengan sebuah transformasi Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok jangka-panjang di sepanjang garis-garis “revolusi dalam urusan-urusan militer” yang berbasis teknologi informasi.

Secara resmi, Tentara Pembebasan Rakyat berharap untuk mencapai mekanisasi dan membuat “kemajuan utama” menuju informasinisasi pada 2020, mencapai “modernisasi militer yang menyeluruh” pada 2035, dan menjadi sebuah militer “kelas dunia” pada 2049.

Sesuai dengan jadwal ini, Tentara Pembebasan Rakyat saat ini adalah mengenai  “informasinisasi.” 

Informasinisasi memerlukan penggunaan teknologi informasi untuk melakukan banyak operasi militer bersama di seluruh wilayah daratan, laut, udara, ruang angkasa, dunia maya, dan spektrum elektromagnetik. 

Ini juga berarti memanfaatkan kecanggihan teknologi di bidang mikroelektronika, sensor, propulsi, siluman, dan terutama dunia maya untuk melengkapi Tentara Pembebasan Rakyat dengan kapasitas baru untuk  serangan dan gangguan jarak-jauh.

Singkatnya, Tentara Pembebasan Rakyat, dalam transisinya yang panjang dari Perang Rakyat ke perang setempat yang terbatas di bawah kondisi informasinisasi, sedang berusaha untuk pindah dari sebuah kekuatan yang lebih berpusat platform menjadi sebuah kekuatan yang lebih berpusat pada jaringan, atau sebuah militer di mana karakteristik penting dari kekuatan adalah hubungan jaringan di antara platform, karena bertentangan dengan platform itu sendiri.

Buku putih pertahanan Tiongkok 2015 secara eksplisit menjadikan informasinisasi sebagai pusat konsep operasional Tentara Pembebasan Rakyat, tidak menekankan operasi darat demi memberi tekanan baru dan pentingnya kekuatan laut dan udara. 

Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat  “secara bertahap mengalihkan fokusnya dari ‘pertahanan perairan lepas pantai’ ke kombinasi ‘pertahanan perairan lepas pantai’ dengan ‘perlindungan laut lepas,’” sementara Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat akan “berusaha untuk mengalihkan fokusnya dari pertahanan udara teritorial ke pertahanan dan penyerangan maupun membangun struktur kekuatan pertahanan ruang-udara yang dapat memenuhi persyaratan operasi-operasi informasi.”

“Perang yang diinformasikan” juga menempatkan sebuah penekanan yang jauh lebih besar pada operasi-operasi ruang angkasa maupun dunia maya. 

Buku putih pertahanan Tiongkok 2019 secara blak-blakan menyatakan bahwa “luar angkasa adalah sebuah domain penting dalam kompetisi strategis internasional.” 

Dengan demikian, persenjataan ruang angkasa semakin menjadi sebuah fakta kehidupan dan sebuah ruang pertempuran masa depan yang penting, dan Tiongkok berencana untuk mengembangkan kapasitas untuk “masuk, keluar, dan secara terbuka menggunakan luar angkasa.”

Pada saat yang sama, dunia maya dianggap menjadi sebuah “daerah yang penting untuk keamanan nasional, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial,” dan oleh karena itu Tentara Pembebasan Rakyat mempercepat pembangunan kemampuan-kemampuan dunia mayanya.

Namun demikian, bahkan ketika Tentara Pembebasan Rakyat bekerja untuk mengadopsi “perang yang diinformasikan,” Tentara Pembebasan Rakyat sudah merencanakan fase modernisasi berikutnya, yang disebutnya perang “intelijen” atau perang “yang diintelijenkan.” Karena buku putih pertahanan Tiongkok tahun 2019 menjelaskannya, “perang berkembang dalam bentuk menuju perang yang diinformasikan, dan perang intelijen ada di depan mata.”

Pada Kongres Partai Komunis Tiongkok ke-19 2017, pemimpin Tiongkok Xi Jinping mendesak Tentara Pembebasan Rakyat untuk mempercepat pengembangan intelijenisasi militer, dan “nasihat otoritatif” ini pada gilirannya “meningkatkan ‘intelijenisasi’ sebagai sebuah konsep panduan untuk masa depan modernisasi militer Tiongkok.”

Secara khusus, perang yang diintelijenkan memerlukan militerisasi dari apa yang disebut “Revolusi Industri Keempat.” Teknologi Revolusi Industri Keempat yang penting mencakup kecerdasan buatan, pembelajaran-mesin, komputasi kuantum, penyimpanan cloud, sistem tanpa awak otonom, jaringan 5G, dan sejenisnya.

Revolusi Industri Keempat adalah sebuah pendorong utama dalam upaya masa depan Tiongkok untuk mendapatkan sebuah  keunggulan teknologi yang dominan di atas para pesaingnya. 

Menurut sebuah laporan yang dirilis pada 2019 oleh Center for a New American Security, “Tiongkok percaya kecerdasan buatan, data besar, kecerdasan hibrida manusia-mesin, kecerdasan berkoloni, dan pengambilan keputusan otomatis, bersama dengan

sistem-sistem tanpa awak otonom dan robotika-robotika cerdas yang dimungkinkan oleh kecerdasan buatan, akan menjadi fitur pusat dari revolusi ekonomi dan revolusi militer-teknis yang muncul.”

Tiongkok sangat menghargai kecerdasan buatan sebagai sebuah teknologi penting yang dapat membuktikan konsekuensi dari persaingan strategisnya dengan Amerika Serikat. 

Para pemikir militer Tiongkok percaya kecerdasan buatan kemungkinan akan menjadi kunci untuk melampaui  militer Amerika Serikat sebagai angkatan bersenjata paling tangguh di dunia. 

Akibatnya, Tiongkok telah  mengeluarkan sebuah program ambisius untuk memimpin dunia dalam kecerdasan buatan pada 2030.

Pada Juli 2017, Beijing merilis “Rencana Pengembangan Kecerdasan Buatan Generasi Baru.” Rencana ini memiliki tiga tujuan strategis utama: pertama,  untuk membawa sektor kecerdasan buatan Tiongkok hingga ke tingkat  yang mutakhir global; kedua, untuk mencapai terobosan-terobosan besar dalam hal teori dasar kecerdasan buatan pada 2025; dan ketiga, pada 2030, untuk menjadikan Tiongkok sebagai pemimpin global dalam teori, teknologi, dan aplikasi kecerdasan buatan, serta pusat inovasi kecerdasan buatan utama dunia.

Selain investasi di bidang kecerdasan buatan ini, Tiongkok sedang berusaha menjadi pemimpin dunia  dalam teknologi Revolusi Industri Keempat lainnya, termasuk komputasi kuantum, 5G, robotika,teknologi dan bioteknologi, antara lain. 

Beijing melihat strategi-strateginya untuk memimpin di bidang kecerdasan buatan dan teknologi-teknologi lain ini sebagai saling memperkuat; karenanya, itu adalah investasi yang berat (misalnya, melalui inisiatif “Made in China 2025”) di teknologi yang berhubungan, dan perusahaan (baik domestik maupun asing), dan sumber daya manusia untuk mewujudkan ambisi superioritas global tersebut.

Akan terlalu dini untuk menyatakan bahwa Tiongkok akan mengejar ketertinggalan pertahanan-teknologi mutakhir dalam waktu dekat. Untuk semua pembicaraan Tiongkok  menjadi sebuah  militer yang “diinformasikan” atau “diintelijenkan,” Tentara Pembebasan Rakyat tidak diragukan lagi masih adalah sebuah sebuah kekuatan yang lebih berpusat platform. 

Sebagian besar upaya modernisasi oleh Tentara Pembebasan Rakyat selama dua dekade terakhir  telah didedikasikan untuk membangun pesawat tempur baru, kapal perang baru, kapal selam baru, rudal-rudal baru, dan baju besi baru. Menjadi sebuah sebuah militer di mana karakteristik penting dari kekuatan adalah hubungan jaringan atau mliter intelijen, masih butuh waktu bertahun-tahun, jika tidak  beberapa dekade.

Lebih jauh lagi, proses informationisasi atau intelijenisasi itu sendiri telah berevolusi: senjata-senjata tua dan peralatan militer tua secara bertahap diganti.Kemudian dimodifikasi, dan ditingkatkan, atau ditambah dengan dan mengandalkan pada sistem-sistem yang lebih maju secara teknologi.

Namun demikian, Tentara Pembebasan Rakyat tampaknya berkembang menjadi  angkatan bersenjata yang benar-benar diintelijenkan–—sebuah strategi jangka-panjang, setidaknya dapat dikatakan, tetapi didukung oleh sebuah komitmen jangka-panjang oleh rezim Xi. (Vv)

Richard A. Bitzinger, seorang analis keamanan internasional independen. Dia sebelumnya adalah rekan senior di Program Transformasi Militer di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Singapura.