oleh: Fadjar Pratikto
Dalam diplomasinya Beijing mengakui “integritas teritorial” Ukraina, tetapi sejauh ini menolak untuk menyebut serangan Rusia ke Ukraina sebagai invansi. Sikap ambigu Beijing bisa dilihat saat KTT Keamanan München berlangsung dua pekan lalu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi mengatakan “norma mendasar” dari hubungan internasional mencakup penghormatan terhadap “kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial” negara mana pun, termasuk Ukraina.
Setelah pidato Wang Yi berselang beberapa hari, Rusia meluncurkan invasi skala penuh ke Ukraina melalui jalur darat, udara dan laut, dari tiga arah, dan menggenapi apa yang telah diprediksi oleh intelijen Barat selama beberapa bulan terakhir.
Posisi Tiongkok dalam konflik Rusia-Ukraina diperjelas lagi dalam konferensi pers pada 24 Februari 2022, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying mengkritik para wartawan yang menggunakan kata “invasi” sebagai metode pertanyaan “khas Barat”. Ketika roket Rusia menghantam kota-kota di Ukraina, Hua kembali mengulangi apa yang menjadi tanggapan standar Tiongkok terhadap konflik tersebut, dan menyerukan “semua pihak agar menahan diri demi mencegah situasi menjadi tidak terkendali.”
Duta Besar Tiongkok untuk PBB, Zhang Jun, pekan lalu mengecam segala bentuk tindakan sanksi yang dijatuhkan negara-negara Barat terhadap Rusia. Ia menyebut langkah ini justru menyulitkan rekonsiliasi di wilayah itu.
Meski begitu, sejauh ini Tiongkok belum mengeluarkan statement yang mengecam secara langsung tindakan ini. Bahkan, negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu justru memutuskan untuk mengimpor lebih banyak gandum dari Moskow saat Rusia menyerang Ukraina.
Propaganda Tiongkok
Secara resmi sikap Tiongkok terlihat berusaha netral terhadap invansi Rusia, namun opini publik di Tiongkok tak bisa dipungkiri. Dukungan kepada Rusia yang melakukan serangan militer ke Ukraina terus mengalir di media sosial Tiongkok. Mereka juga mengambil kesempatan untuk ‘menyerang’ negara-negar barat melalui media sosial, yang sebelumnya memaksa Tiongkok untuk mengambi sikap atas serangan yang dilakukan Rusia itu.
Mereka juga sangat mendukung Presiden Putin, yang mereka sebut “Kaisar Putin” serta memuji citra hiper Alpha-nya. Mereka menyebit Putin sebagai pemimpin yang memerintah dengan tegas dan karismatik.
Dukungan warganet terhadap Putin tentu tidak lepas dari para influencer dan buzer Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dikenal handal di media sosial. Mereka lah yang selama ini memperngaruhi opini publik rakyat Tiongkok sehingga seolah-olah menjadi aspirasi masyarakatnya.
Rejim partai komunis Tiongkok sendiri telah bekerja keras untuk mengendalikan narasi online, dengan memo yang diduga bocor tentang instruksi untuk liputan media tentang konflik tersebut. Moderator telah diberitahu untuk menghapus posting yang “anti-Rusia” dan “pro-Barat”, menurut dokumen yang secara tidak sengaja diposting di akun Weibo dari Beijing News.
Pihak Weibo sendiri mengakui sebanyak 622 postingan dihapus karena ‘konten berbahaya’. Weibo juga telah menangguhkan 105 akun karena memposting ‘konten tidak aman” terkait serangan Rusia ke Ukraina. Hal serupa dilakukan media sosial Douyin. Mereka mengatakan telah menghapus 6.400 video dan memotong 1.620 streaming langsung yang bermasalah.
Tidak hanya bersikap ambigu, media partai komunis Tiongkok juga turut mempropagandakan narasi yang cenderung membela tindakan Presiden Putin dalam menyerang Ukraina. Melalui media sosial Weibo, disebarluaskan narasi seolah-olah Rusia adalah seorang suami yang baik sedangkan Ukraina adalah seorang istri yang gak tahu diri dan menghianati suaminya.
Narasi yang dimuat Weibo inilah yang menyebar luas ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Cerita perumpamaan dalam narasi yang tersebar secara masif di media sosial kita itulah yang menjadi salah satu sebab banyak masyarakat Indonesia yang “mendukung” Putin dalam invasinya ke Ukraina.
Cerita dalam narasi ini sederhana dalam memahami sengketa Rusia-Ukraina sehingga mudah dicerna oleh masyarakat kita yang kita tahu tingkat literasi sejarahnya minim, padahal narasi ini tidaklah tepat untuk menggambarkan hubungan historis antara Rusia dan Ukraina yg penuh darah dan air mata.
Genosida Holodomor
Saat ini beredar counter terhadap narasi yang berasal dari Weibo yang mengumpamakan hubungan Rusia-Ukraina seperti sepasang suami istri yang bermasalah. Disebutkan dalam counter itu, Rusia dan Ukraina sebenarnya memiliki sejarah kelam yang panjang, sehingga membuat mereka hampir gak mungkin disatukan lagi dalam sebuah negara.
Salah satu sejarah kelam Ukraina yg membuat mereka tak sudi lagi bersatu dengan Rusia adalah sejarah HOLODOMOR yang bahkan bisa dikategorikan sebagai genosida terhadap orang Ukraina.
Faktanya, Holodomor merupakan peristiwa kematian masal penduduk Ukraina sepanjang tahun 1932 – 1933 karena kebijakan gila rejim Stalin sang pemimpin Soviet saat itu.
Di masa itu Stalin menjalankan program kolektivisasi pertanian dengan memaksa para petani di seluruh Uni Soviet untuk menyerahkan lahan pribadi, peralatan pertanian, dan ternak mereka. Lalu para petani ini dipaksa untuk berkerja di pertanian kolektif milik negara di daerah Rusia. Stalin berpendapat dengan sistem pertanian kolektif semacam ini Soviet bisa menghasilkan hasil pertanian besar yg nantinya di jual ke luar negri untuk membiayai sektor Industri dan militer Uni Soviet.
Namun rakyat Ukraina menolak program pertanian kolektif ini karena mereka beranggapan hal ini semacam perbudakan dan cuman menguntungkan sektor industri dan militer di pusat (Rusia).
Penolakan ini membuat Stalin murka dan mencanangkan gerakan “Dekulakisasi” yang merupakan kampanye kekerasan untuk menangkap dan mendeportasi orang-orang yang dianggap membangkang terhadap program pertanian kolektif ini. Orang-orang yang menoak ini disebut sebagai kaum “Kulak” yang berarti musuh negara yang harus dilenyapkan.
Sekitar 500.000 sampai 1 juta orang Ukraina yang membangkang dan menolak program Stalin ini dipenjara atau dibuang ke Siberia yg dingin dan tandus bersama keluarganya, lalu harta dan tanahnya disita oleh negara/ Rusia. Bahkan sering kali mereka ditinggalkan begitu saja di Siberia ini tanpa makanan maupun tempat berlindung yang memadai, yang mengakibatkan sebagian besar meninggal di Siberia khususnya anak-anak dan orang tua.
Selain itu Stalin juga menetapkan pajak yg sangat tinggi bagi masyarakat Ukraina sehingga mereka tak bisa memenuhi kewajiban pajaknya, akhirnya tanah dan hartanya terpaksa disita.
Tak cukup sampai disitu, Stalin juga sering memotong jatah makanan di desa-desa Ukraina sehingga terjadi kelaparan masal di Ukraina ini. Ditambah lagi dengan aturan keras yg menyatakan siapa pun yang ditemukan mengambil makanan dari ladang tempat mereka bekerja, akan ditangkap dan dieksekusi di tempat. Sementara itu, blokade militer dibangun di sekitar desa untuk mencegah masuknya makanan dari luar ke desa-desa di Ukraina. Dibawah rejim Stalin, rakyat Ukraina dibikin sangat menderita dan sengsara.
Kebijakan gila Stalin ini mengakibatkan hampir ribuan orang Ukraina meninggal setiap harinya karena kelaparan, penyakit, maupun dibunuhi tentara merah Stalin. Total selama kebijakan ini diterapkan ada sekitar 3 – 10 juta orang Ukraina meninggal (menurut data PBB). Nantinya peristiwa ini lebih dikenal sebagai peristiwa HOLODOMOR, yg membuat orang Ukraina menjadi membenci Rusia dan sejak lama ingin pisah dari Uni Soviet.
Pada tahun 2008 setelah Ukraina merdeka sepenuhnya dari Rusia, pemerintah Ukraina mendirikan museum peringatan peristiwa Holodomor ini di bukit Pechersk (dekat Kiev) yg berisi dokumentasi dan foto-foto korban era kelam Holodomor ini. Museum HOLODOMOR ini sendiri ditandai dengan patung seorang gadis kecil kurus kelaparan yg memegang seikat gandum, selain versi real museum Holodomor juga ada versi dunia mayanya di : https://holodomormuseum.org.ua/en/
Nah dari sejarah kelam ini kita bisa lihat sebenarnya Rusia bukanlah suami yang baik-baik amir, tapi lebih cenderung suami yang sering melakukan KDRT kepada istri-istrinya. Jadi wajar saja istrinya mencari pria lain yang lebih baik seperti NATO atau Amerika.
Partai Komunis Tiongkok berperan membalikan fakta yang sebenarnya tentang Ukraina, dan memanaskan perang opini kedua negara yang bertikai itu. Sikap ambigu rejim PKT ini secara tidak langsung “mendukung” Rusia dalam invansinya ke Ukraina.
Penulis adalah Koordinator Global Human Right Effort (GHURE)