oleh Antonio Graceffo
Rezim Tiongkok bertekad untuk menguasai dunia di bidang ekonomi, politik, dan militer pada 2049, yang merupakan sebuah ancaman yang lebih besar daripada yang pernah dilakukan Uni Soviet. Saat aliansi-aliansi terbentuk di seluruh dunia, beberapa analis percaya bahwa sebuah perang dingin baru sudah hadir di sini, dipercepat oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Makalah Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengenai pembangunan militer Tiongkok menyatakan, “Beijing berusaha untuk membentuk kembali tatanan internasional agar lebih selaras dengan sistem otoriter dan kepentingan-kepentingan nasionalnya, sebagai suatu komponen penting dari strateginya untuk mencapai ‘peremajaan besar bangsa Tiongkok.’”
Menguasai dunia di berbagai bidang tidak pernah dibahas selama Perang Dingin dengan Uni Soviet, di mana pembahasan terbatas pada ranah militer.
Dalam hal-hal di bidang ekonomi, tampaknya Tiongkok sedang dalam kecepatan untuk menyalip Amerika Serikat. Pertumbuhan Tiongkok sebesar 4,8 persen, sementara di bawah target dasar Partai Komunis Tiongkok sebesar 5 persen, masih jauh lebih besar dari pertumbuhan Amerika Serikat.
Jika Tiongkok terus berada pada kecepatan ini, peneliti Jepang mengatakan bahwa ekonomi Tiongkok dapat melampaui Amerika Serikat Serikat pada 2033.
Berbeda dengan perang dingin yang berkembang dengan Tiongkok, Tembok Berlin menciptakan sebuah penggambaran geografis antara Timur dengan Barat, yang mengendalikan Uni Soviet di balik Tirai Besi. Tembok Berlin juga mencegah komunikasi dan perdagangan dari menjangkau di luar wilayah-wilayah yang dikuasai Soviet.
Sebaliknya, Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar Tiongkok, di mana sebagian besar pertumbuhan Tiongkok didorong oleh masuknya modal asing.
Investasi langsung luar negeri di Tiongkok meningkat lebih dari 14 persen pada 2021, dan Amerika Serikat adalah salah satu investor top.
Melalui ekspor teknologi dan sebuah program pemaksaan ekonomi dan sosial yang ditargetkan informasi media yang sesat, Partai Komunis Tiongkok mampu memproyeksikan gagasan-gagasannya dan pengaruhnya ke seluruh dunia.
Kebijakan luar negeri Partai Komunis Tiongkok ditargetkan untuk membangun sebuah “komunitas tujuan bersama.” Sejak tahun 2019, Partai Komunis Tiongkok semakin banyak menggunakan militernya sebagai bagian kebijakan luar negerinya.
Pada 2020, ada suatu pergeseran dalam membangun aliansi-aliansi dengan memberikan bantuan COVID; ketika hal ini gagal, Beijing kembali ke sebuah perdagangan dan strategi yang dipimpin militer.
Ekspansi Tiongkok di bidang ekonomi mendukung ambisi-ambisi militer Partai Komunis Tiongkok dengan cara menyediakan uang untuk investasi, diperlukan untuk modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat serta meningkatkan basis manufaktur dan industri Tiongkok.
Partai Komunis Tiongkok Membentuk Sekutu
Tiongkok memiliki 14 perbatasan darat, termasuk dengan Afghanistan, Bhutan, India, Kazakstan, Korea Utara, Kirgistan, Laos, Mongolia, Burma (umumnya dikenal sebagai Myanmar), Nepal, Pakistan, Rusia, Tajikistan, dan Vietnam. Selain itu, Tiongkok berbagi perbatasan laut dengan Brunei, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Taiwan.
Beijing memiliki sengketa teritorial dengan sebagian besar negara-negara ini. Pengembangan sebuah blok pro-Tiongkok regional adalah tidak mungkin, sebagai akibat tindakan-tindakan Partai Komunis Tiongkok yang agresif di Laut Tiongkok Selatan, serangan-serangan di Kepulauan Senkaku, dan pelanggaran-pelanggaran teritorial Bhutan, serta pertempuran-pertempuran kecil dengan India, di mana pasukan Tiongkok bertempur, dan terbunuh, untuk pertama kalinya dalam waktu sekitar 40 tahun. Bukannya membuat Tiongkok merasa lebih aman, masing-masing tindakan ini hanya mendorong sekutu-sekutu untuk lebih dekat ke Amerika Serikat.
Kepercayaan Barat pada pemimpin Tiongkok Xi Jinping adalah rendah, di mana banyak yang mengkhawatirkan organisasi-organisasi internasional—–seperti Organisasi Perdagangan Dunia, Organisasi Kesehatan Dunia, dan Interpol–—akan berada di bawah kendali Tiongkok.
Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tiongkok memilih menentang intervensi dalam genosida, termasuk genosida terhadap Muslim Uighur yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok. Di Organisasi Kesehatan Dunia, Partai Komunis Tiongkok menyarankan cara-cara untuk mengendalikan COVID-19, sambil menjual alat pelindung diri (APD) dan vaksin-vaksin ke seluruh dunia untuk melaksanakan rencana tersebut.
Xi Jinping menawarkan teknologi Tiongkok untuk membantu meningkatkan komunikasi Interpol. Xi Jinping juga mengklaim bahwa Inisiatif Sabuk dan Jalan (juga dikenal sebagai “Satu Sabuk, Satu Jalan”), yang akan menghasilkan triliunan dalam bunga dan kontrak-kontrak konstruksi bagi Partai Komunis Tiongkok, adalah sebuah kesejahteraan masyarakat internasional.
Partai Komunis Tiongkok menikmati dukungan yang kuat. Akibatnya, Xi Jinping tampaknya semakin puas dengan mendapatkan sekutu-sekutu melalui paksaan ekonomi daripada dengan memenangkan teman-teman melalui inisiatif-inisiatif kekuatan lembut yang populer.
Sementara itu, Rusia tetap menjadi sekutu Partai Komunis Tiongkok yang paling kuat dan potensial.
Dalam minggu-minggu menjelang invasi Rusia ke Ukraina, Tiongkok dan Rusia membentuk sebuah perjanjian, yang mungkin menjadi awal bagi Tiongkok dan Rusia bersaing dalam persaingan pendukung, sekutu, dan lawan dalam sebuah perang dingin baru.
Kedua negara itu memiliki menandatangani sebuah kontrak gas selama 30 tahun. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tiongkok dan Rusia juga bersatu dalam pemungutan suara untuk menolak sanksi-sanksi yang diusulkan terhadap Korea Utara karena pengujian rudal.
Partai Komunis Tiongkok berencana untuk secara paksa mencaplok Taiwan, sebuah langkah yang hanya disetujui oleh 7 persen rakyat Taiwan. Sebuah pernyataan bersama baru-baru ini, yang dikeluarkan oleh Vladimir Putin dan Xi Jinping, mengatakan Rusia mendukung Tiongkok mengenai Taiwan, sementara Partai Komunis Tiongkok mendukung Rusia mengenai Ukraina.
Stephen J. Hadley, mantan penasihat keamanan nasional di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush, menyebut pernyataan itu sebagai “sebuah manifesto untuk kepemimpinan global Vladimir Putin dan Xi Jinping.” Menurut pernyataan itu, Partai Komunis Tiongkok juga mendukung Rusia untuk “menentang pembesaran NATO lebih lanjut.”
Pernyataan itu tidak secara khusus menyatakan bahwa Tiongkok akan berjuang untuk Rusia atau sebaliknya, meskipun kedua negara itu bersatu dalam menentang norma-norma dan pengaruh Amerika di dunia.
Pernyataan itu secara eksplisit menyatakan bahwa Rusia dan Partai Komunis Tiongkok akan membangun sebuah koalisi negara-negara yang berpikiran sama, yang oleh para pengamat Barat disebut sebuah “poros otoriter.”
Bagian kedua dari seri ini akan mengeksplorasi negara-negara mana yang masuk ke dalam poros otoriter. Beberapa negara sedang tersedot ke dalam konflik tanpa disadari, hanya karena menjadi bagian lingkup pengaruh Tiongkok atau Rusia. (Vv)
Antonio Graceffo, Ph.D., telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Dia adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai dan meraih gelar MBA Tiongkok dari Universitas Jiaotong Shanghai. Graceffo bekerja sebagai profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok, menulis untuk berbagai media internasional. Beberapa bukunya tentang Tiongkok termasuk “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” dan “A Short Course on the Chinese Economy.”