Michael Washburn
Amerika Serikat pada Senin (21/3/2022) mengumumkan pemberlakuan pembatasan visa terhadap para pejabat partai Komunis Tiongkok (PKT) yang bertanggung jawab atas “tindakan represif” terhadap minoritas etnis dan agama di dalam negeri Tiongkok dan di luar negeri, termasuk Amerika Serikat.
Pembatasan visa itu akan melarang para pejabat Tiongkok yang terlibat dalam penganiayaan terhadap berbagai kelompok korban untuk dari bepergian ke Amerika Serikat.
“Amerika Serikat menolak upaya pejabat [Tiongkok] untuk melecehkan, mengintimidasi, mengawasi, dan menculik anggota kelompok minoritas etnis dan agama, termasuk mereka yang mencari keselamatan di luar negeri, dan warganegara Amerika Serikat yang angkat bicara atas nama populasi- yang rentan ini,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
“Kami berkomitmen untuk membela hak asasi manusia di seluruh dunia dan akan terus-menerus menggunakan semua langkah diplomatik dan ekonomi untuk mempromosikan pertanggungjawaban.”
Antony Blinken mengatakan sanksi akan dijatuhkan pada orang-orang yang “diyakini” bertanggung jawab atas, atau terlibat dalam, kebijakan atau tindakan yang bertujuan untuk menindas” penganut agama, minoritas etnis, wartawan, penyelenggara buruh, aktivis hak asasi manusia, pembangkang, dan pemrotes damai di Tiongkok dan luar negeri.
Tidak jelas dengan segera siapa yang secara spesifik akan ditargetkan atau berapa banyak orang dikenakan pembatasan baru tersebut. The Epoch Times telah menghubungi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk klarifikasi mengenai tingkat larangan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Donald Trump maupun Joe Biden, sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada para pejabat Tiongkok yang terlibat dalam berbagai pelanggaran, termasuk tindakan keras rezim Tiongkok di Hong Kong, penganiayaan terhadap kelompok spiritual Falun Gong, dan penindasan terhadap orang-orang Uighur di Xinjiang.
Pada Mei lalu, pemerintahan Joe Biden memberi sanksi kepada Yu Hui, mantan direktur sebuah badan yang dituduh menganiaya Falun Gong di Chengdu, sebuah kota di barat daya Tiongkok, melarang Yu Hui dan keluarga dekatnya memasuki Amerika Serikat.
Para praktisii Falun Gong yang ditangkap di bawah pengawasan Yu Hui termasuk Pan Xiaojiang, seorang asisten peradilan di sebuah pengadilan menengah di Provinsi Sichuan, di mana Chengdu adalah ibukotanya.
Pan Xiaojiang ditangkap di rumahnya setelah menggantung sebuah spanduk yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai penganiayaan Beijing terhadap keyakinannya yaitu Falun Gong dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Dua orang praktisi Falun Gong lainnya yang ditangkap bersama Pan Xiaojiang, termasuk seorang mahasiswa pascasarjana, masing-masing divonis dua tahun penjara. Sekitar selusin mobil polisi mengepung pengadilan selama penampilan Pan Xiaojiang di pengadilan, menurut Minghui, situs web yang berbasis di Amerika Serikat yang telah melacak penganiayaan tersebut.
Langkah- baru muncul kurang dari seminggu setelah Kementerian Kehakiman Amerika Serikat mengumumkan dakwaan terhadap lima orang yang diduga terlibat dalam skema yang luas untuk memata-matai, mengintimidasi, dan melecehkan para pembangkang etnis Tionghoa yang berbasis di Amerika Serikat. Dugaan kejahatan yang mereka lakukan merupakan bagian kampanye ekspansif rezim komunis Tiongkok mengenai “penindasan transnasional,” kata para pejabat Kementerian Kehakiman Amerika Serikat.
Antony Blinken juga menuntut agar rezim Tiongkok berhenti melakukan penindasan transnasional, seperti berusaha untuk membungkam para aktivis Uyghur di Amerika Serikat dan lainnya yang menyangkal keberadaan keluarga mereka di Tiongkok demi meninggalkan Tiongkok.
“Amerika Serikat menegaskan kembali dukungannya bagi orang-orang yang berani berbicara meskipun ada ancaman pembalasan,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu.
“Kami menyerukan kepada pemerintah Republik Rakyat Tiongkok untuk mengakhiri genosida yang sedang berlangsung dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang, kebijakan yang bersifat menindas di Tibet, tindakan keras terhadap kebebasan fundamental di Hong Kong, serta pelanggaran dan penyalahgunaan hak asasi manusia, termasuk pelanggaran kebebasan beragama, di seluruh Tiongkok.” (Vv)