oleh Jing Zhongming
- Pencegahan epidemi brutal yang dilakukan pemerintah Tiongkok telah berulang kali menimbulkan tragedi kemanusiaan
- Baru-baru ini seorang mahasiswi berprestasi dari Universitas Ekonomi dan Keuangan Shanxi yang tiba-tiba terkena serangan jantung sehingga jatuh di stadion saat berolahraga. Namun akibat ambulans tidak segera bisa memasuki area kampus karena pemblokiran di sana sini, menyebabkan mahasiswi tersebut terlambat ditangani pada waktunya
- Setelah kejadian, pihak kampus pun menolak keluarga untuk menyaksikan rekaman kejadian
Menurut laporan media daratan Tiongkok ‘Jimu Xinwen’, seorang mahasiswi di Universitas Ekonomi dan Keuangan Shanxi, tiba-tiba jatuh pingsan di stadion saat berlari mengikuti pendidikan jasmani pada 24 Maret dan meninggal setelah upaya penyelamatan mengalami kegagalan.
Seorang teman sekelasnya mengungkapkan bahwa gadis yang ayahnya cacat jasmani itu, termasuk mahasiswi jenius karena memiliki nilai pelajaran yang bagus, dan sebenarnya ia dapat langsung diajukan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana.
Dalam keterangan yang disampaikan oleh pihak universitas pada 27 Maret pagi hari disebutkan bahwa pihak universitas langsung mengatur penyelamatan pada waktu kejadian, dan tak lama kemudian mobil ambulans pun tiba.
Bahkan pada 27 Maret sore harinya, pihak kampus juga mengklaim bahwa atas permintaan siswa, perwakilan siswa telah diizinkan untuk melihat rekaman video pengawasan pada hari kejadian. Perwakilan siswa kemudian mengklaim bahwa tidak ada kejadian dimana petugas penjaga keamanan dicurigai telah memblokir masuknya ambulans, dan seterusnya.
Menurut berita dari siswa sekolah sebelumnya, ayah dari mahasiswi yang datang ke kampus dengan kursi roda, berteriak dengan suara serak yang memilukan hati : “Oh ! Putriku … tidak diizinkan melihat rekaman ….”
Video yang diposting di Internet menunjukkan bahwa ayah dari mahasiswi yang sedang menangis itu dibawa pergi secara paksa oleh beberapa orang petugas penjaga kampus.
Berita juga menyebutkan bahwa setelah mahasiswi itu jatuh, ia sempat terbaring untuk waktu yang lama di atas tanah tanpa ada dokter kampus maupun mobil ambulans, kecuali seorang guru yang terus menghibur mahasiswi itu dengan mengatakan :Â “Tenang, tenang, jangan gugup”. Sampai sekitar 5 menit kemudian, baru datang dokter kampus dengan membawa stetoskop lalu melakukan pemeriksaan.
Pada saat ini, seorang guru pendidikan jasmani dengan cemas berteriak kepada dokter : “Cepat, sudahkah kalian menelepon 120 ? Wajah gadis ini sudah mulai menghitam, cepat telepon 120”.
Akhirnya, ketika tiba di gerbang utara kampus, ambulans dihentikan oleh petugas keamanan karena terhalang oleh pagar pemblokiran epidemi, mobil diminta untuk masuk ke kampus melalui gerbang lainnya. Ambulans kemudian berbelok ke arah lingkungan perumahan keluarga, tetapi kembali terhalau oleh pagar besi yang dipasang oleh pihak kampus yang tujuannya untuk mencegah para siswa meninggalkan kampus. Ambulans terpaksa memutar lagi lewat Lingkar Tengah Selatan. Akhirnya, tiba juga ke kampus setelah berputar-putar mencari jalan akses masuk. Namun sayang seribu sayang waktu emas untuk penyelamatan telah lewat, gadis jenius tersebut telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Insiden itu memicu diskusi panas di platform sosial daratan Tiongkok. Sejumlah siswa mempertanyakan kepada pihak kampus mengapa kampus masih diblokir padahal Kota Taiyuan sudah bebas dari wabah selama 20 hari ? Mengapa pintu kampus masih ditutup seperti penjara. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian mahasiswi muda itu akibat dampak dari kebijakan pencegahan yang mutlak tanpa perkecualian.
Kemudian ada pemberitahuan dari Universitas Ekonomi dan Keuangan Shanxi yang disampaikan lewat Internet dengan isi yang mengancam mahasiswa agar tidak berpartisipasi dalam kegiatan seperti mogok belajar, unjuk rasa dan lainnya. Pelanggar akan dikenakan hukuman. (sin)