Warga Shanghai Marah dengan Lockdown Kota, Epidemi Menguji Kepemimpinan Beijing

oleh Lin Yan

Selama dua tahun terakhir, pemerintah komunis Tiongkok terus bergembar-gembor di dalam dan luar negeri,  mengklaim bahwa sistem otoriternya dalam menangani pengendalian epidemi ternyata lebih unggul ketimbang negara-negara demokrasi. Namun demikian, warga sipil Shanghai justru marah dengan perlakuan yang diterapkan otoritas terhadap mereka di saat epidemi sedang mengganas di sana. Pada gilirannya, kebijakan “Nol kasus infeksi” pemerintah komunis Tiongkok menjadi ujian bagi kepemimpinan puncak.

Pada Kamis 7 April, media ‘Washington Post’ melaporkan : Saat ini, giliran pemerintah Tiongkok yang otoriter sedang diuji untuk menjawab pertanyaan apakah sistemnya yang didasarkan pada kontrol ketat benar-benar dapat mengendalikan pandemi dengan lebih baik ? Pemerintah Tiongkok sebaiknya belajar dari pengalaman Barat, dan bersedia untuk beralih ke sistem yang lebih banyak fleksibilitasnya. Xi Jinping harus mengakui bahwa dia membutuhkan strategi baru. Tapi masalahnya apakah dia bersedia melakukannya ?

Kebijakan “Nol kasus infeksi” yang diterapkan saat ini adalah langsung menyerang tanpa ampun warga pada wilayah dimana kasus positif epidemi ditemukan, Pada saat yang sama, kebijakan yang niatnya mengorbankan kepentingan dan penderitaan warga sipil yang dikarantina, untuk mendapatkan apa yang mereka istilahkan sebagai ‘Agar orang lain tidak dirugikan’. Namun, semakin banyak fakta menunjukkan bahwa bukannya orang lain tidak dirugikan, tetapi bencana sekunder yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut ternyata lebih besar daripada penyakit itu sendiri.

Banyak warga Shanghai meminta bantuan sosial, karena mereka dilarang keluar rumah dan tidak mendapatkan cukup makanan dan air yang didistribusikan. Ketika beberapa penduduk yang sudah tak berdaya, mulai membuka jendela tempat tinggal mereka lalu memprotes dan menuntut pasokan makanan dan minuman dari pemerintah, sebuah drone yang dicurigai milik kepolisian terbang mendekat untuk memperingatkan mereka agar berhenti menuntut dan minta mereka “mengendalikan keinginan jiwa demi kebebasan”, Aneh ! Bukan !?!

Shanghai saat ini terlihat seperti tabung mesiu, partai dan negara berusaha untuk membenarkan aturannya dengan menampilkan dirinya sebagai penjaga kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Demikian tulis ‘Washington Post’ dalam artikelnya. Tetapi, kebijakan yang diterapkan PKT masih saja seperti ini — ‘Segel tempat begitu menemukan satu kasus, kemudian memaksa seluruh warga untuk menjalani tes asam nukleat, terlepas dari apakah akan menimbulkan kekacauan dan ketegangan sosial.

Hal yang sama juga terjadi di Shanghai. Awalnya, jika satu kasus terdeteksi, pihak berwenang memerintahkan seluruh bangunan atau jalan ditutup. 

Setelah virus terus menyebar, pemerintah kota yang mengaku salah lalu memutuskan untuk menghentikan penutupan seluruh kota, diganti dengan menutup setengah kota terlebih dahulu kemudian setengah lainnya.

Sekarang, pihak berwenang sedang bersiap untuk mengunci seluruh kota tanpa batas waktu, sambil mengirim 38.000 orang pekerja medis dan 2.000 orang tentara dari berbagai provinsi untuk menguji setiap penduduk Shanghai.

Penerapan “Nol kasus infeksi” di Shanghai juga menjadi ujian bagi kepemimpinan Beijing

Pada hari Kamis, ‘New York Times’ menerbitkan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa, penerapan lockdown penuh demi nol kasus di Kota Shanghai, selain membuat marah masyarakat Shanghai juga menjadi ujian bagi kepemimpinan Beijing.

Krisis di Shanghai sedang terbentuk, bukan hanya tantangan kesehatan masyarakat. Ini juga merupakan ujian politik bagi kebijakan nol kasus yang diandalkan rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Tulis laporan itu.

Selama dua tahun terakhir, pemerintah Tiongkok telah membunuh sejumlah kritikan domestik terhadap strategi penanganan COVID-19 yang cuma bertujuan untuk menjaga agar angka infeksinya tetap rendah melalui berbagai penyensoran, karantina, dan membuat angka yang tidak transparan. 

Kementerian luar negeri Tiongkok bahkan sering menuduh Amerika Serikat dan Eropa yang membiarkan begitu banyak warganya meninggal, sambil menyebut bahwa kebijakan Xi Jinping itulah yang paling tidak bercacat.

George Calhoun, direktur Program Keuangan Kuantitatif di Institut Teknologi Stevens di Amerika Serikat menemukan bahwa tingkat kematian resmi akibat COVID-19 yang dilaporkan pemerintah Tiongkok adalah 1/8 dari tingkat kematian di AS. Tetapi ini adalah sebuah angka yang tidak dapat dijelaskan secara statistik. Dia menduga bahwa pihak berwenang Tiongkok telah menghancurkan, mengubah atau menyembunyikan angka fakta terkait.

Dalam masa pandemi ini, Kota Shanghai telah memberikan perspektif lain tentang strategi Beijing dalam menangani wabah. Ketika tempat-tempat lain baru melakukan pemblokiran komunitas yang bersifat menyeluruh setelah menemukan meskipun hanya satu atau dua kasus infeksi, tetapi Kota Shanghai justru memilih memblokir bangunan tempat tinggal warga.

Bahkan, setelah jumlah kasus yang dikonfirmasi melonjak ke level tertinggi pada bulan Maret, para pejabat Shanghai masih bersikeras pada pendirian bahwa kota itu tidak dapat diblokir karena kepentingan ekonominya.

Jin Dongyan, seorang ahli virologi di Universitas Hongkong menjelaskan bahwa, penduduk Shanghai yang berpendidikan dan memiliki hubungan baik dengan dunia luar lebih cenderung skeptis terhadap langkah pengendalian dari pemerintah daripada orang-orang di daerah Tiongkok lainnya, terutama mengingat dampak dari varian Omicron terhadap kesehatan yang relatif lebih rendah. Tetapi, propaganda pihak berwenang Tiongkok justru lebih sering menyoroti bahayanya.

Jin Dongyan mengatakan bahwa banyak orang di Shanghai sudah memiliki pemahaman yang baik tentang penyakit dan virus COVID-19, serta mengetahui bagaimana yang terjadi di seluruh dunia, yang telah menarik diri dari pembatasan kegiatan masyarakat, karena mereka berpendapat bahwa faedah dari langkah itu tidak besar.

Namun demikian, situasi segera berbalik. Mulai awal bulan April ini otoritas Shanghai dengan cepat mengikuti pedoman kebijakan “Nol kasus infeksi” yang digagas oleh Komite Sentral PKT.

Huang Yanzhong, direktur Pusat Penelitian Kesehatan Global di Universitas Seton Hall di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa karena jumlah kasus infeksi yang dikonfirmasi terus melonjak, membuat pemerintah pusat menjadi tegang.

“Mereka mungkin khawatir jika situasi ini tidak dapat dikendalikan dalam waktu singkat, itu akan mengancam stabilitas sosial dan ekonomi. Hal mana juga dapat merusak transisi kepemimpinan dalam beberapa bulan mendatang”, kata Huang.

Musim gugur tahun ini, Partai Komunis Tiongkok akan mengadakan kongres partai sekali dalam 10 tahun di Beijing. Xi Jinping diperkirakan akan menerima pengakuan untuk memegang jabatan presiden masa ketiga yang belum pernah terjadi dalam sejarah PKT.

Meskipun mungkin ada ketidakpuasan dengan kebijakan nol kasus di Shanghai, masih ada dukungan untuk kebijakan tersebut dari daerah lain di Tiongkok. Beberapa netizen menggunakan nasionalistik menuduh Shanghai yang mengejar caranya sendiri adalah tindakan yang arogan atau kurang patriotisme.

Selama waktu ini, pemerintah pusat juga menekankan kebijakan “Nol-kasus infeksi” akan tetap diterapkan, bahkan mengklaim bahwa perlu ada tindakan yang tanpa kompromi di Shanghai.

Chen Daoyin, mantan profesor di School of International Affairs and Public Administration di Shanghai University of Political Science and Law, mengatakan kepada reporter ‘New York Times’, bahwa Beijing tampaknya telah menggandakan perhatiannya terhadap kebijakan “Nol kasus infeksi”, sehingga mendesak otoritas Shanghai untuk tidak menjalankan kebijakan yang berbeda dengan wilayah lain di Tiongkok.

“Dalam sistem pemerintahan komunis Tiongkok, politik adalah segalanya. Anda tidak bisa berjalan di jalur yang berbeda,” katanya. (sin)

FOKUS DUNIA

NEWS