Annie Holmquist
Salah satu hal terbaik dari pandemi COVID-19 ini adalah berubahnya lanskap pendidikan. Saat ini banyak orang tua yang melakukan homeschooling, menyadari bahwa melakukan hal itu tidak sesulit yang mereka kira, sementara banyak orang tua lain yang telah melihat kurikulum yang diberikan sekolah pada anak-anak mereka, menuntut agar anggota dewan sekolah membuat beberapa perubahan.
Dan kemudian muncul masalah baru di dunia kampus. “Lebih dari satu juta siswa telah menunda kuliah” sejak masalah pandemi muncul, NPR (organisasi media nirlaba independen) baru-baru ini melaporkan, dan banyak dari siswa tersebut mencari pelatihan di bidang trade atau jual beli. Keterampilan mereka juga sangat dibutuhkan, karena hampir 90 persen kontraktor sangat membutuhkan pekerja yang kompeten.
Perkembangan semacam ini menunjukkan pada kita perubahan yang menarik dalam pola berpikir. Di masa lalu, di Amerika, siswa yang melakukan pelatihan dalam bidang perdagangan atau jual beli dipandang rendah, seolah-olah mereka berada di “sisi yang salah.”
Saat ini, perguruan tinggi berubah menjadi suatu bidang yang kurang diinginkan karena beberapa alasan. Sebagian kurang berminat karena alasan terkait pandemi dan akhirnya mungkin menghilang, seperti bertambahnya kelas online, karantina berulang, vaksinasi, dan kewajiban tes COVID, dan bahkan kewajiban menggunakan masker. Alasan lain— seperti tumpukan hutang saat masuk kuliah dan banyaknya profesor radikal yang menyertakan ideologinya saat mereka mengajar—telah ada selama beberapa waktu dan kemungkinan akan terus berlanjut.
Kabar baiknya adalah orang Amerika mulai mengenali perbedaan-perbedaan ini, dan mereka merasa tidak puas berada di jalur yang salah untuk waktu yang lama. Mantan penganut Komunis dan penulis Whittaker Chambers menu- liskannya dengan baik dalam oto- biografinya, Witness:
[Saya] di Amerika, banyak di antara kita yang mulai dari sisi rel kereta api yang salah. Arti Amerika, apa yang menjadikannya sebagai keajaiban sejarah dan harapan umat manusia, adalah kita bebas untuk tidak berada di sisi yang salah dari rel kereta api. Jika di dalam diri kita ada suatu hal yang dapat memberdayakan kita untuk tumbuh, kita bebas untuk tumbuh dan pergi ke mana pun. Hanya saja, kita tidak pernah bebas untuk melupakan, membenci asal-usul kita. Mereka adalah akar kita. Mereka menjadikan kita sebuah bangsa.
Dan karena kata-kata itulah, kita melihat alasan utama “sisi kanan” rel yang dahulu—perguruan tinggi—tampak kurang menarik. Inilah yang mendorong kita. pada ruang kuliah, untuk membenci dan melupakan asal-usul kita.
Namun, di sisi lain, dengan menggerakkan siswa melampaui batas-batas ruang kelas dengan seorang profesor radikal sebagai pemimpinnya, memungkinkan siswa untuk bernapas bebas dan merangkul akar kehidupan Amerika. Mereka belajar menghargai kerja keras dan menghargai karakter dan kebajikan yang diperlukan untuk menjalankan bisnis, bekerja dengan tangan mereka sendiri, dan bekerja dengan publik secara teratur.
Selain itu, mereka bekerja di bidang yang membutuhkan keahlian jual beli, yang dituntut untuk melakukan pikiran kritis saat mereka menghadapi tantangan di kehidupan nyata, seperti bagaimana memperbaiki kesalahan yang dibuat dalam mengukur papan, bagaimana mengatur tatanan dalam ruang yang sempit, atau bagaimana mengubah pelanggan yang marah menjadi pelanggan yang bahagia.
“Disini pernah menjadi negeri di mana setiap orang yang berpikiran sehat tahu bagaimana membangun tempat berteduh, menanam makanan, dan menghibur satu sama lain,” penulis John Taylor Gatto pernah menulis, dan meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung, kesimpulannya adalah kita akan merasa lebih bahagia dan lebih sukses, di masa itu.
Mungkinkah minat yang melonjak dalam bidang perdagangan ini secercah harapan bahwa kita dapat menuju ke arah yang benar menuju jenis pekerjaan dan pola pikir yang akan membuat kebahagiaan dan kesuksesan memungkinkan terjadi lagi pada warga negara kita?
—
Artikel ini awalnya diterbitkan di Intellectual Takeout.
Annie Holmquist adalah editor Intellectual Takeout dan editor online Chronicles MagaZine, keduanya proyek dari Charlemagne Institute.