oleh Tim “Fakta dalam Abad ini”
Setelah PKT mengubah Hongkong dari “Satu Negara Dua Sistem” menjadi “Negara Satu Partai”, ia terus menunjukkan kekuatannya di Selat Taiwan sedemikian rupa sehingga majalah “Economist” Inggris menerbitkan sebuah artikel bahwa Taiwan telah menjadi “tempat paling berbahaya di bumi”.
Pertama-tama, hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klaim PKT mengenai “penyatuan Taiwan” itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial apa lagi menyangkut keamanan nasional.
Pada 9 Desember 1999, diktator PKT Jiang Zemin dan Presiden Rusia Boris Yeltsin menandatangani “Protokol Narasi Batas Timur – Barat Tiongkok – Rusia”. Protokol narasi yang ditandatangani oleh Jiang Zemin ini berisikan pengakuan PKT terhadap “Traktat Aigun”, sebuah perjanjian tidak setara tahun 1858, yang dipaksakan oleh Kekaisaran Rusia kepada Dinasti Qing agar Dinasti Qing menyerahkan tanpa syarat wilayah di timur laut Tiongkok seluas lebih dari 1.000.000 km² kepada Kekaisaran Rusia. Wilayah seluas itu setara dengan puluhan Taiwan, yang mana pada kenyataannya PKT sama sekali tidak ambil pusing terhadap kehilangan wilayah sebesar itu ! Tetapi, mengapa PKT justru terobsesi untuk menguasai Taiwan ?
Terpaksa mengatakan bahwa ada 4 alasan yang mendasarinya :
Pertama, Partai Komunis Tiongkok tidak memiliki legalitas untuk memerintah Tiongkok
PKT didirikan di bawah kendali Partai Komunis Uni Soviet pada tahun 1921. Dengan istilah yang sering mereka gunakan, yaitu atas dukungan dari “kekuatan asing yang bermusuhan”. Tujuan langsung pendirian partai ini adalah untuk menumbangkan pemerintahan sah Tiongkok, yakni Republik Tiongkok, lalu mendirikan negara vasal atau negara boneka Uni Soviet.
Pada 7 November 1931, Jepang menginvasi tiga provinsi timur laut Tiongkok. Pada saat Republik Tiongkok mengalami bencana nasional itu, PKT justru mengikuti instruksi Partai Komunis Uni Soviet, dengan mendirikan negara di dalam negara di Provinsi Jiangxi yang bernama Republik Soviet Tiongkok. Selama 28 tahun sejak tahun 1921 hingga 1949, yang tidak henti-hentinya dilakukan oleh PKT tak lain adalah kegiatan subversi.
Setelah merebut kekuasaan pada tahun 1949, PKT beranggapan bahwa keberhasilannya itu berkat keyakinan bahwa “kekuasaan muncul dari laras senjata”. Oleh sebab itu, mereka kemudian menempatkan penguasaan terhadap kekuatan militer pada posisi yang paling tinggi. “Laras senjata” dilambangkan sebagai kekerasan, paksaan dan tekanan tinggi. Jadi wewenang untuk memerintah Tiongkok bukan mereka peroleh dari pemberian rakyat melainkan didapat melalui cara kekerasan, Oleh sebab itu tanpa legitimasi sama sekali.
Setelah mengambil alih kekuasaan, PKT mengubah Republik Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Nama negara itu saja sudah mengandung sifat bohong. Bagaimana tidak ? Pertama, PKT tidak mewakili rakyat Tiongkok. Nenek moyang bangsa Tionghoa adalah Kaisar Yan dan Huangdi, dan orang Tionghoa disebut “keturunan Yan dan Huang”. Tetapi leluhur PKT adalah Karl Marx – Lenin dari Barat, dan PKT disebut keturunan Marx dan Lenin.
Kedua, PKT juga tidak mewakili kepentingan rakyat. Sejak berkuasa, yang dipertahankan oleh PKT adalah kediktatoran satu partai, kepentingan partai dan kekuasaan diletakkan diatas kepentingan konstitusi. Sampai hari ini, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berbicara, kebebasan dari rasa takut, dan kebebasan dari keinginan rakyat Tiongkok semuanya telah habis dirampas oleh pemerintahan komunis Tiongkok.
Selain itu, rezim PKT bukanlah sebuah “republik”. Dalam ilmu politik, pemilihan umum yang adil dan bebas adalah kriteria dasar untuk menilai apakah suatu negara benar-benar republik atau bukan. Selama ini, PKT tidak pernah menyelenggarakan pemilihan umum yang adil dan bebas. Ia jelas adalah negara totaliter, tetapi bersikeras menggunakan label republik.
Meskipun di daratan Tiongkok, PKT berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Republik Tiongkok, tetapi Republik Tiongkok tidak tumbang, ia tetap eksis hanya saja berpindah ke Pulau Formosa. Stempel nasional Republik Tiongkok yang melambangkan rezim sah Tiongkok – “Cap Republik Tiongkok” dan “Cap Kehormatan”, masih diwariskan di Taiwan. Oleh karena itu, bagi PKT yang ilegal, Taiwan atau Republik Tiongkok telah menjadi duri di mata dan duri di daging yang terasa mengganggu kalau tidak dicabut.
Kedua, gagalnya kebijakan terhadap Taiwan
Alasan kedua mengapa PKT terobsesi untuk menguasai Taiwan adalah akibat kebijakannya terhadap Taiwan mengalami kegagalan.
Pada tahun 1980-an, pemimpin Partai Komunis Tiongkok Deng Xiaoping, mengajukan konsep pemikiran “Satu Negara Dua Sistem” untuk menyelesaikan masalah Taiwan. Setelah itu, Deng Xiaoping mengusulkan agar pemikiran tersebut diterapkan terlebih dahulu di Hongkong setelah 1 Juli 1997 dengan alasan sebagai gladi resik untuk kepentingan penyatuan Taiwan kelak. Tetapi pada kenyataannya, setelah pengembalian Hongkong dari tangan Inggris, kebebasan dan otonomi Hongkong terus terkikis dari waktu ke waktu oleh pemerintah komunis Tiongkok. Pada bulan Juni 2019, lebih dari 2 juta warga sipil Hongkong turun ke jalan untuk memprotes rancangan Undang-Undang Ekstradisi.
Ini adalah manifestasi nyata dari opini masyarakat, tetapi PKT tidak hanya gagal untuk memperbaiki dirinya, tetapi justru terus meningkatkan penindasan dengan kekerasan, yang dengan cepat membuat Hongkong berubah menjadi kota di mana “kekuatan polisi adalah yang tertinggi”, dan “Satu Negara Dua Sistem” hanya tinggal nama. Kekejaman di Hongkong sangat melukai hati rakyat Taiwan. Sampai hari ini, kebanyakan warga sipil Taiwan tidak percaya lagi dengan “Satu Negara Dua Sistem”. Karena itu, rencana PKT untuk menyatukan Taiwan dengan sistem itu sudah pasti gagal.
Pada 2020, Taiwan mengadakan 4 kali pemilihan demokratis : yang pertama adalah pemilihan presiden, yang kedua adalah pemilihan Dewan Legislatif, yang ketiga adalah penarikan kembali Walikota Kaohsiung Han Kuo-yu, dan yang keempat adalah pemilihan Chen Chi-mai sebagai Walikota Kaohsiung yang baru. Dalam keempat pemilihan demokratis ini, PKT menggunakan segala cara untuk bercampur tangan, tetapi hasil akhirnya adalah, justru sikap kandidat terhadap PKT itu yang menjadi dasar terpenting bagi pemilih Taiwan untuk memberikan suaranya.
Tsai Ing-wen, anggota Partai Progresif Demokratik yang menentang PKT, terpilih kembali sebagai presiden dengan suara tinggi. Partai Progresif Demokratik yang anti-PKT, sekali lagi menjadi partai mayoritas di Dewan Legislatif, Chen Chi-mai, berhasil memenangkan pemilihan Walikota Kaohsiung. Sedangkan Han Kuo-yu, anggota Kuomintang yang pro-PKT kalah dalam pemilihan presiden, kemudian disingkirkan oleh warga Kota Kaohsiung dengan suara tinggi. Berbagai serangan dan intimidasi yang dilakukan PKT telah gagal total dalam keempat kali pemilihan demokratis di Taiwan.
Sejak pecahnya pandemi pada tahun 2020, meskipun Taiwan telah dikeluarkan secara paksa dari Organisasi Kesehatan Dunia oleh PKT, tetapi sikap kerjasama yang baik dari pimpinan pemerintah sampai warga sipil Taiwan untuk mengatasi pandemi, kemudian menjadi model pencegahan epidemi di dunia. Pada tahun 2020 dan 2021, meskipun banyak faktor yang tidak menguntungkan di lingkungan eksternal, tetapi ekonomi Taiwan telah tumbuh dengan pesat, dan menempatkan dirinya sebagai peringkat teratas di antara negara Empat Macan Asia (Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Hongkong).
Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan berhasil mendobrak halangan besar yang dibuat oleh PKT, dan menciptakan keajaiban dalam demokrasi, ekonomi dan pencegahan epidemi, selain menjadi kekuatan kebaikan yang telah diakui sepenuhnya oleh komunitas internasional. Kebijakan atau strategi yang dibuat PKT untuk menjatuhkan Taiwan telah gagal selama bertahun-tahun. Mungkin saja karena perasaan kesal, sulit untuk diterima sehingga mendorongnya untuk hampir setiap hari memprovokasi Taiwan.
Ketiga, PKT terdorong oleh konsep ingin mengalahkan kapitalisme
Karl Marx, bapak moyangnya Partai Komunis Tiongkok adalah orang yang membenci kapitalisme. Pada tahun 1848, ia mengatakan bahwa kapitalisme harus dikalahkan dan akhirnya akan digantikan oleh komunisme.
Partai-partai komunis baik di Uni Soviet maupun Eropa Timur telah berperang selama beberapa dekade melawan kapitalisme, tetapi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, semua rezim komunis ini runtuh dan menjadi negara kapitalis. Setelah perubahan drastis di Uni Soviet dan Eropa Timur, PKT menjadi satu-satunya keturunan partai komunis terbesar di dunia yang masih menganut tuntunan Marxisme, dan satu-satunya organisasi yang masih membawa misi untuk berjuang melawan kapitalisme.
Di waktu lalu, PKT memiliki slogan yang berbunyi “Membebaskan seluruh umat manusia”. Hari ini PKT memiliki slogan lain yang disebut “membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia”. Meskipun kedua slogan ini memiliki ekspresi yang berbeda, namun esensinya sama, yaitu membangun dunia yang didominasi oleh PKT.
Setelah menerapkan “Satu Negara Satu Partai” di Hongkong, target PKT berikutnya adalah Taiwan. Tetapi Taiwan tidak terisolasi, ia berbagi nilai-nilai universal dengan negara-negara kapitalis di seluruh dunia. Taiwan juga merupakan lokasi yang strategis di rantai pulau pertama dunia bebas yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mempertahankan diri dari ancaman PKT. Ketika PKT menguasai Taiwan, yang dekat, secara langsung akan mengancam negara kapitalis Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan lain-lain di kejauhan, secara langsung akan mengancam Amerika Serikat. Yang lebih jauh lagi, adalah ia akan mengancam seluruh negara di dunia yang menganut kapitalisme.
Dengan memasukkan Taiwan ke dalam genggaman PKT yang ingin “mengalahkan kapitalisme” dapat memberikan banyak manfaat secara bersamaan, oleh karenanya sepanjang belum tumbang, PKT tidak mungkin untuk tidak mengganggu Taiwan.
Keempat, PKT memiliki kebutuhan untuk mengalihkan konflik domestik yang sulit diatasi
Setelah PKT menumbangkan Republik Tiongkok, selalu khawatir dengan adanya pihak tertentu yang akan menumbangkan rezimnya, sehingga terus mengandalkan tekanan tinggi dan penipuan untuk mempertahankan sistem kediktatoran yang “Satu Negara Satu Partai”.
Selama era Mao Zedong, PKT meluncurkan puluhan gerakan politik berdarah dan berlangsung brutal. Seperti Revolusi Kebudayaan, itu telah disebut bencana sepuluh tahun bagi Tiongkok. Saat itu, terjadi berbagai konflik sosial yang sangat tajam, membawa ekonomi nasional ke ambang kehancuran, dan kekuasaan PKT dalam bahaya.
Setelah Deng Xiaoping berkuasa, ia terpaksa mengusung kebijakan “reformasi dan keterbukaan” untuk menyelamatkan partai. Saat itu, Deng mengajukan slogan : “Biarkan sebagian orang menjadi kaya terlebih dahulu”. Siapa yang termasuk dalam “sebagian orang” itu ? Yang berlari maju ke garis paling depan pasti adalah anak-anak pejabat tinggi.
Setelah Jiang Zemin berkuasa, ia mengajukan slogan : “Raih kekayaan secara diam-diam”, yang dipimpin oleh putranya Jiang Mianheng, Ia memberi percontohan dengan memegang jabatan di pemerintahan sekaligus melakukan bisnis demi kekayaan pribadi. Hasilnya adalah : dari keluarga Jiang Zemin hingga pejabat desa tingkat terendah, semua berusaha untuk memanfaatkan jabatannya di pemerintahan untuk menghasilkan kekayaan pribadi dengan mencontoh keluarga Jiang Zemin.
Tiongkok hari ini, di satu sisi, hanya segelintir keluarga aristokrat PKT yang menggunakan kekuasaan mereka untuk menghasilkan kekayaan yang berlimpah dan menjalani kehidupan mewah dan korupsi. Tapi di sisi lain, sebagaimana yang dikatakan oleh PM. Li Keqiang bahwa 600 juta orang penduduk Tiongkok hanya berpenghasilan sebulan di kisaran RMB. 1.000,-. Sulit bagi banyak orang untuk bersekolah, memiliki perumahan, mendapatkan perawatan medis, jaminan di masa pensiun, bahkan biaya untuk pemakaman. Bagi orang-orang ini hidup dan mati sama sulitnya.
Daftar orang-orang yang sedang dianiaya di daratan Tiongkok sudah sangat panjang, termasuk warga sipil Hongkong, warga etnis di Xinjiang, kaum Kristen, pengacara hak asasi manusia, pengungsi keuangan, para pekerja yang sedang menganggur, petani yang tidak memiliki lahan, veteran, warga pembuat petisi, dan sebagainya. Mereka terus menentang penganiayaan dengan berbagai cara, dan insiden massal muncul silih berganti.
Bagaimana mengatasinya ? Selain terus memberikan tekanan kuat, PKT terpaksa mengalihkan perhatian dengan menciptakan pertentangan. Ia dari waktu ke waktu membesar-besarkan isu Taiwan dengan menciptakan opini publik seolah ada pihak yang terlibat dalam “kemerdekaan Taiwan”. Melalui cara ini PKT berusaha untuk menyamar sebagai “patriot” yang seakan-akan bertindak demi membela kedaulatan nasional, keutuhan wilayah dan keamanan nasional. Selain itu, ia juga mengobarkan sentimen “patriotisme”, “Nasionalisme” rakyat di daratan Tiongkok.
Penindasan menyeluruh hanya akan mendorong warga Taiwan lebih menjauhi PKT
Sebenarnya, kunci dari isu Taiwan bukanlah “unifikasi” atau “kemerdekaan”, tetapi apakah “memenangkan hati rakyat”. Penindasan menyeluruh PKT terhadap Taiwan hanya akan membuat hati 23 juta orang warga Taiwan semakin menjauhi PKT.(sin)