ISWAHYUDI
Selamat dari aksi Genosida Raja Wurawari di hari penikahannya. Karena trauma dengan dunia kekuasaan ia bersumpah menjadi seorang pertapa. Tapi ketika ia asyik ma’syuk dengan dunia lelaku spiritual, ada panggilan untuknya untuk menjadi raja, karena angkara murka melanda di bekas kekuasaannya. Panggilan dirinya sebagai seorang raja yang menyejahterakan rakyat tidak bisa diabaikan begitu saja demi keinginannya lepas dari belenggu nafsu duniawi.
Airlangga lahir sekitar 990 M, putra Raja Udayana (Raja Bedahulu-Bali dari Wangsa Warwadewa). Ia cucu Sri Makutawang- sawardana (Raja Medang di Jawa Timur ke-3). Ia keponakan dan menantu dari Raja Dharmawangsa Teguh yang dibantai oleh Raja Wura Wari di hari pernikahannya.
Pasca pembantaian yang dramatik itu, Airlangga masuk keluar hutan dan pergi ke berbagai asrama untuk mencari makna hidup. Ia bertekad bulat menjadi pertapa. Pada suatu ketika ia didatangi utusan dari rakyat Mataram Kuno untuk membangun kerajaannya kembali di atas puing-puing kerajaan mertuanya yang hancur akibat mahapralaya (kematian besar).
Namun ia tak cepat mengiyakan tawaran tersebut sebelum Narotama (sang pengawalnya) memberikan perspektif dan makna keberadaannya dan keajaiban yang ia alami ketika ia bisa lolos dari peristiwa genosida yang dialami keluarganya dan kerajaannya. Narotama meyakinkannya bahwa ia adalah sosok titisan Wisnu yang turun ke dunia dengan membawa suatu misi besar di bumi. Lewat diskusi alot itu Airlangga akhirnya setuju untuk mendirikan kerajaannya.
Kahuripan itulah nama kerajaan barunya yang berarti “kehidupan”. Setelah ia menghadapi mahapralaya, diduga kuat hal itu menjadi motivasi di balik penamaan kerajaannya itu.
Kahuripan adalah cikal bakal dari Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Menurut Prasasti Pucangan berbahasa Sansekerta berangka tahun 959 Saka atau 1037 M bahwa tahun 941 Saka (1019 M) Airlangga resmi menjadi raja Kahuripan untuk membangkitkan kembali kerajaan yang dipimpin oleh Raja Dharmawangsa Teguh.
Dalam membawa kerajaan Kahuripan ke puncak kejayaannya, Airlangga melalui beberapa tahapan. Pertama adalah tahapan konsolidasi di mana ia berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan hegemoni, eksistensi, dan kewibawaan sebagai seorang raja. Ini terungkap pada prasasti-prasasti yang dibuat antara 1019 M sampai 1035 M. Terungkap bahwa Airlangga ingin membangun 4 aspek dasar dalam kerajaannya yaitu Kama (romantika hidup dan perjuangan menuju kesenangan), Artha (kebutuhan pokok hidup), Dharma (kewajiban hidup), Muksa (pelepasan roh). Airlangga selalu mendasarkan kebijakannya memerintah dengan nilai-nilai agama dan yang selaras dengan rakyatnya yang religius.
Kedua, konsolidasi ke dalam, di mana ia melakukan penataan sistem pemerintahan. Ia memperkuat jalinan relasi dengan bawahannya dengan memberikan Anugerah Sima (daerah bebas pajak) bagi orang-orang yang berjasa membela negara dari ancaman musuh atau berjasa kepada diri Airlangga sendiri. Seperti ia memberikan Anugerah Sima pada Cane (Lamongan) karena menjadi benteng pertahanan di wilayah barat.
Ketiga, malakukan ekspansi wilayah untuk mengembalikan kekuasaan raja Dharmawangsa Teguh seperti ke Wuratan dengan rajanya Wisnuparaba, Wengker (Ponorogo), dan terakhir mengalahkan musuh bebuyutannya yaitu Raja Wura Wari di Magetan. Dan pada 959 Saka atau 10 November 1037, Airlangga berhasil menaklukkan raja-raja di wilayah barat dan timur. Sebagai bentuk rasa syukur pada Sang Pencipta, Airlangga membangun pertapaan di lereng Gunung Pucangan yang ditetapkan beberapa ahli sejarah adalah di lereng timur Gunung Penanggungan (Jolotundo), tetapi menurut Stutterheim, diperkirakan di daerah Ngimbang Lamongan.
Dalam buku Mencari Jejak Kerajaan Jenggala, Soekarno menemukan bahwa Airlangga melakukan beberapa hal untuk membangun kerajaan yang kuat, makmur, dan beradab.
Pertama, sebagai wilayah kerajaan, Airlangga menyatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil (watak, kecamatan), yang sempat melepaskan diri dari Mandala kekuasaan Raja Dharmawangsa Teguh, setelah terjadi peristiwa mahapralaya.
Kedua, Airlangga sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya melalui pembangunan sektor pertanian dengan membangun Bendungan Waringin Sapta (Prasasti Kamalagyan) sehingga ketersediaan air melimpah dan bebas banjir.
Ketiga, untuk meningkatkan perdagangan lokal atau antar-kerajaan, Airlangga menata Pelabuhan Hujung Galuh (Surabaya) sebagai pintu utama perdagangan dan membangun komunikasi dengan pihak asing.
Keempat, memberi Anugerah Sima untuk memberdayakan penduduk agar aktif dalam penyelenggaraan tata kehidupan kerajaan.
Kelima, menarik pajak bagi penduduk, para profesional dan orang asing.
Keenam, mengatur sistem pemerintahan dari tingkat atas sampai bawah.
Ketujuh, hukum ditegakkan baik pidana maupun perdata secara adil merata bagi seluruh penduduk berdasarkan nilai religius, sabda pandita ratu.
Kedelapan, Airlangga memberikan kebebasan beribadah menurut keyakinan masing-masing. Kesembilan, membangun Sastra. Sastra di era Airlangga diberi tempat terhormat. Di eranya, untuk mengenang kisah perjuangan hidup Airlangga yang terpuruk pasca mahapralaya, sampai ia bisa membawa Kerajaan Kahuripan berjaya, ditulis dalam sebuah karya sastra yaitu Kakawin Arjunawiwaha.
“Batin yang bijak sungguh-sungguh telah menembus sampai ke tingkat (kasampurnaan) sejati. Dari keadaan Sunyata (hampa) bukan berasal dari panca indra, maka timbullah niatnya untuk mengabdikan diri demi urusan duniawi. Semoga amal baktinya yang penuh berkah dan perilakunya yang bersifat kesatria dapat mencapai tujuan. Daulat terhadap diri sendiri dan penuh sentosa (ketenteraman), ia menerima kenyataan, yaitu tetap terpisah oleh tabir abadi di dunia ini,” tulis bagian awal dari Kakawin Arjunawiwaha.
“Kuletakkan ubun-ubunku pada debu terompah raja yang menampakkan diri dengan cara ini. Ia merupakan sumber berkat yang tak pernah kering untuk menuangkan kemenangan Partha (Arjuna, Airlangga) di kediaman para Dewa di Kahyangan,” ditulis dalam Kakawain Arjunawiwaha di bagian penutup.
Astrabrata: Inspirasi Kepemimpinan Airlangga
Persepsi generasi sekarang tentang sosok seorang raja mungkin sebagai satu sosok penguasa mutlak. Raja memiliki tiga kekuasaan sekaligus, membuat undang- undang (hukum), menjalankan undang- undang, dan mengadakan proses peradilan. Tapi yang jarang diketahui oleh generasi sekarang bahwa seorang raja itu dipandang sebagai titisan Dewa yang berarti ia harus mempunyai kualitas karakter sebagaimana halnya seorang Dewa. Raja-Raja besar Nusantara kebanyakan memiliki karakter dan sifat yang harus dimiliki yang disebut sebagai Astrabrata; (delapan watak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau raja).
Pertama, Watak Dewa Indra (Dewa Hujan). Seorang pemimpin hendaknya senang memberikan anugerah pada rakyatnya yang baik dan berjasa. Kebijakan yang dibuat harus mampu memberikan kesuburan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Kedua, Watak Dewa Yama (Dewa Kematian). Seorang pemimpin harus berani menghukum siapa yang bersalah menurut hukum dan perundangan yang berlaku secara adil.
Ketiga, Watak Dewa Surya (Dewa Matahari). Seorang pemimpin harus bisa melakukan redistribusi pendapatan bagi rakyatnya. Menarik pajak bagi yang mampu dan menggunakan untuk kepentingan umum.
Keempat. Watak Dewa Soma (Dewa Bulan). Seorang raja harus memberikan belas kasih kepada seluruh rakyat, sehingga rakyat bisa bahagia.
Kelima, Watak Dewa Bayu (Dewa Angin). Seorang raja harus dapat menyentuh seluruh perikehidupan rakyat, tanpa pandang bulu, dan setiap kebijakannya bisa menyentuh aspirasi rakyat. Rakyat bisa merasakan hidup penuh kekeluargaan, rukun guyub, saling memberi saling menerima. Sesuai dengan watak angin yang selalu bertiup ke sana ke mari memberikan kesejukan, dorongan, dan arah menuju manusia yang sesungguhnya. Seorang raja harus menghayati filsafat angin dan diterapkan dalam kebijakannya.
Keenam, Watak Dewa Kuwera (Dewa Kekayaan/Dewa Bumi). Sebagai mana bumi yang memiliki segala sumber daya dan kekayaan, seorang raja harus menjadi sumber kekayaan baik materi maupun spirit untuk membuat rakyatnya sejahtera. Bumi itu belas kasih, ikhlas, rela berkor- ban dan bersedia menjadi tumpuan siapa saja. Walaupan selalu diinjak, dicangkul, tapi bumi selalu memberikan yang terbaik.
Ketujuh, Watak Dewa Waruna (Dewa Laut). Seorang raja hendaknya mempunyai kedalaman dan keluasan wawasan sebagaimana lautan atau samudra, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan rakyatnya, tangguh menghadapi karang persoalan kehidupan, dan menjadi sarana pelayaran bangsanya menuju kejayaan.
Kedelapan, Watak Dewa Agni (Dewa Api). Seorang raja harus mempu memberikan semangat atau motivasi pada rakyatya untuk berbuat kebajikan bersama. Dan seorang raja harus bisa membasmi kejahatan sebagaimana api membakar kayu bakar bahkan harus mampu menyucikan peradaban yang rusak.
Laku Astrabrata inilah yang dilakukan oleh Raja Airlangga dalam membawa Kerajaan Kahuripan mencapai puncak kejayaan. Oleh karena itu dalam masa kepemimpinannya, ia mendapat banyak dukungan dari para pendeta, resi, bikku, dan para pujangga. Dan Airlangga adalah sosok yang sangat religius menandai segala pencapaiaannya dengan rasa syukur pada Sang Pencipta membangun prasasti, mem- berikan Anugerah Sima dan dengan mem- bangun tempat ibadah dan ashrama.
Airlangga yang religius dalam berbagai prasasti yang dibuatnya selalu membuat sambada-sapatha (seruan-kutukan). Karena rakyatnya juga religius, sambada- sapatha yang dibuat sangat ditaati oleh rakyatnya. Misalnya pada Prasati Cane 934 Saka (1021 M) dan Prasasti Patakan berisi sambada-sapatha yang berisi kutukan bagi siapa-siapa yang berani mengubah atau menggangu perihal daerah perdikan (sima) dan didenda satu massa emas dan satu kupang.
Bahkan dalam Prasasti Baru 952 Saka (1030 M) berisi kutukan Dewa akan dikenakan siapa saja yang melanggar sumpah yaitu (1) akan ditimpa hukuman berat (kwalat) bagi mereka yang melakukan 5 dosa besar, baik di dunia dan akhirat. (2) Bahkan dalam hidupnya akan mengalami kehancuran dan tidak diampuni oleh Dewa. (3) Kalau nanti ia lahir kembali, di kanan maupun di kiri dilarang, sehingga tidak mungkin lahir kembali.
Sebelum melakukan sambada-sapatha ini terlebih dulu Sang Magkudur (Tokoh Agama) melakukan serangkaian doa dan ritual seperti memecah telur, memotong ayam, serta menebar abu sebagai simbol bahwa pelanggar sumpah akan mengalami nasib seperti telur ayam yang pecah dan mati secara tidak wajar.
Moral cerita dari kisah hidup Airlangga salah satunya adalah bahwa kekuasaan itu bukan anugerah atau privilege untuk mengumbar nafsu duniawi tapi merupakan amanat (misi ilahiyah) yang dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta kehidupan.
Kisah Airlangga menginspirasikan bagaimana bangun dari titik terendah hidup dengan selalu berpegang teguh pada prinsip ketuhanan. Manusia hanya kendaraan bagi misi-misi Ketuhanan di muka Bumi, sebagaimana kisah Garudeya menjadi tunggangan Wisnu demi bebas dari penjajahan Sang Naga demi mendapatkan Amerta.
Airlangga telah mendapatkan Amerta yang mengaliri negerinya Kahuripan yang sebelumnya diluluhlantakkan oleh Raja Wura Wari. Airlangga tak akan mewujudkan segala misi hidupnya tanpa bersinergi dengan misi-misi Ketuhanan. Hari ini kekuasaan diperlombakan dalam kontestasi yang tidak adil dan curang. Menyuap, membeli suara, abuse of power, dan melakukan segala cara untuk meraih kuasa. Bisa ditebak kepada pantai apa tahta seperti ini berlabuh? Pantai bencana dan mahapralaya. (et)