Katabella Roberts
Laporan terbaru dari United Nations’ Office of the High Commissioner on Human Rights (OHCHR) atau Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB mengungkapkan sejumlah “pelanggaran hak asasi manusia yang serius” mungkin telah dilakukan terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang barat Tiongkok.
Laporan setebal 48 halaman diterbitkan pada 31 Agustus oleh Komisaris Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet, hanya beberapa jam sebelum berakhirnya masa jabatannya. Bachelet menuai kritikan karena sikapnya yang “lunak” terhadap Tiongkok dan meremehkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Beijing menentang publikasi laporan tersebut, hasil penyelidikan yang menemukan bukti bahwa sebagian besar kelompok etnis minoritas Muslim menjadi sasaran penahanan massal, kerja paksa, pelecehan seksual, pemisahan keluarga dan penyiksaan.
Laporan PBB juga menuduh Tiongkok menggunakan undang-undang keamanan nasional yang tidak jelas, demi menekan hak-hak minoritas dan membangun “sistem penahanan sewenang-wenang.”
Tuduhan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang serius oleh Beijing terhadap Uighur dan kelompok lainnya pertama kali dibawa kepada atensi PBB pada 2017. Tuduhan tersebut terutama dalam konteks “penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-‘ekstremisme’ rezim Tiongkok,” menurut laporan itu.
Penyelidik di PBB menyisir materi dokumenter yang berkaitan dengan tuduhan tersebut, dengan perhatian khusus difokuskan pada hukum, kebijakan, data dan pernyataan rezim Tiongkok sendiri.
OHCHR juga “meminta informasi dan terlibat dalam dialog dan pertukaran teknis dengan Tiongkok selama proses berlangsung,” menurut laporan itu.
Mereka menemukan “bukti yang dapat dipercaya” dari penyiksaan yang mungkin merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan” terhadap yang disebut Vocational Education and Training Centers (VETC) atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Tiongkok antara 2017 dan 2019. Beijing berdalih dengan klaim bahwa orang-orang di fasilitas tersebut belajar bahasa dan keterampilan kerja.
Menurut laporan PBB, “dua pertiga dari dua puluh enam mantan tahanan yang diwawancarai” oleh penyelidik PBB “melaporkan telah menjadi sasaran perlakuan yang berarti penyiksaan dan/atau bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya,” baik di VETC atau “dalam konteks proses rujukan ke fasilitas VETC.”
‘Penyiksaan atau Perlakuan Buruk’ di ‘Pusat Pelatihan’
Insiden semacam itu dicatat oleh orang-orang yang ditahan di VETC termasuk “penyiksaan atau perlakuan buruk, termasuk perawatan medis paksa dan kondisi penahanan yang merugikan,” serta “dugaan insiden individu kekerasan seksual dan berbasis gender,” kata laporan itu.
Laporan juga menuduh Tiongkok menggunakan “sistem hukum anti-terorisme” yang mencakup undang-undang keamanan nasional dan kontra-terorisme yang tidak jelas demi mendiskriminasi Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang kemudian mengarah pada “pelanggaran hak asasi manusia yang serius.”
“Tingkat penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap anggota Uighur dan kelompok mayoritas Muslim lainnya, sesuai dengan hukum dan kebijakan, dalam konteks pembatasan dan perampasan hak-hak dasar yang dinikmati secara individu dan kolektif, dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata laporan itu.
PBB merekomendasikan agar rezim Tiongkok mengambil langkah segera membebaskan “semua orang-orang yang dirampas kebebasannya secara sewenang-wenang,” dan memberitahu kepada keluarga mereka yang hilang di Xinjiang mengenai keberadaan mereka sehingga mereka dapat membangun “saluran komunikasi dan perjalanan yang aman serta memungkinkan keluarga bersatu kembali.”
Laporan juga menyarankan agar PKT “melakukan tinjauan penuh terhadap kerangka hukum yang mengatur keamanan nasional, kontra-terorisme, dan hak-hak minoritas” di Xinjiang untuk “memastikan kepatuhan mereka terhadap hukum hak asasi manusia internasional yang mengikat, dan segera mencabut semua undang-undang, kebijakan dan praktik melawan Uighur dan minoritas Muslim lainnya.”
Laporan PBB Adalah Pendorong Perubahan
Laporan 31 Agustus, yang telah dikerjakan selama tiga tahun, segera diberhentikan sebagai kampanye kotor oleh rezim Tiongkok, yang membantah semua tuduhan penindasan dan menegaskan bahwa kamp-kamp iterniran digunakan untuk memerangi terorisme.
“Yang disebut ‘penilaian’ ini adalah dokumen politis yang mengabaikan fakta, dan sepenuhnya mengungkap niat AS, negara-negara Barat, dan kekuatan anti-Tiongkok untuk menggunakan hak asasi manusia sebagai alat politik,” kata Tiongkok dalam pernyataan panjangnya, sambil menambahkan bahwa “semua kelompok etnis, termasuk Uighur, adalah anggota yang sama dari bangsa Tiongkok.”
The World Uyghur Congress, sebuah kelompok payung yang mewakili sekitar 60 organisasi, menyambut baik laporan tersebut sambil menyerukan “respon segera untuk mengakhiri kekejaman terhadap Uighur.”
“Ini adalah Pendorong Perubahan sebagai respon internasional terhadap krisis Uighur, terlepas dari penolakan keras pemerintah Tiongkok, PBB kini secara resmi mengakui bahwa kejahatan mengerikan sedang terjadi,” kata Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur Omer Kanat dalam sebuah pernyataan.
Sophie Richardson, direktur Tiongkok di Human Rights Watch, mengatakan kepada The Associated Press bahwa temuan laporan tersebut menunjukkan “mengapa pemerintah Tiongkok berjuang mati-matian untuk mencegah publikasi” laporan tersebut.
“Dewan Hak Asasi Manusia PBB harus menggunakan laporan itu untuk memulai penyelidikan komprehensif terhadap kejahatan pemerintah Tiongkok terhadap kemanusiaan yang menargetkan Uighur dan lainnya—dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab,” katanya.
Ada sekitar 10 juta Muslim Uighur di wilayah barat Xinjiang dan kelompok hak asasi manusia memperkirakan bahwa lebih dari satu juta orang telah ditahan di kamp-kamp di wilayah tersebut. Bahkan, Amerika Serikat menuduh PKT melakukan genosida. (as)