Fan Yu
Perekonomian Tiongkok terseok-seok.
Meskipun tak mungkin mempengaruhi posisi pemimpin Partai Xi Jinping untuk masa jabatan selanjutnya sebagai bos rezim, ekonomi No. 2 dunia itu akan berdampak pada seluruh dunia jika kolaps.
Sektor real estat Tiongkok—yang kepentingannya tidak dapat diremehkan dalam mendorong kenaikan ekonomi negara itu selama dua dekade terakhir—kini hancur. Banyak pengembang properti yang wanprestasi. Dan, para konsumen gagal bayar. Mereka menolak membayar hipotek mereka pada unit rumah yang belum selesai, bahkan meluncurkan protes di banyak kota di seluruh negeri.
Sementara itu, pertumbuhan domestik berkali-kali terhenti karena negara tersebut terus memberlakukan lockdown yang berulang-ulang. Pada akhir Agustus, lcokdown terus berdampak pada Provinsi Hebei, yang berada tepat di luar Beijing, dan pengetesan massal berlanjut di Tianjin. Sementara Beijing telah mampu mengelola output ekonominya di tengah lockdown—menerapkan sistem kontrol close loop atau sistem kendali lingkar tertutup—ekonomi domestik dan tingkat belanja konsumennya dirugikan.
Tingkat pengangguran juga mengkhawatirkan. Tingkat pengangguran di kalangan pemuda perkotaan mencapai 20 persen, sebuah angka yang mencengangkan. Sementara itu, lebih banyak Fresh graduates diperkirakan akan memasuki lapangan kerja pada musim gugur ini. Perusahaan teknologi Tiongkok sejak lama telah menjadi sumber pekerjaan, tetapi tindakan keras yang dipimpin negara tahun lalu terhadap perusahaan teknologi, justru membuat banyak perusahaan tanpa modal untuk memperluas jumlah karyawan.
Di sisi lain pada general ledger atau buku besar, Tiongkok berutang sekitar satu triliun dolar pinjaman yang belum dibayar yang diberikan kepada negara-negara Dunia Ketiga sebagai bagian dari Belt and Road Initiative. Beijing mendapatkan penolakan dari negara-negara ini dan mungkin ditekan untuk mengampuni beberapa pinjaman.
Kelemahan Ritel
Suramnya perekonomian Tiongkok akan mempengaruhi perusahaan multinasional AS dan Barat, terutama perusahaan dengan kehadiran ritel besar di Tiongkok. Salah satu contohnya adalah Starbucks, yang memiliki ribuan gerai di Tiongkok dan menguasai lebih dari sepertiga pangsa pasar di negara berpenduduk terpadat di dunia. Starbucks melaporkan penurunan 40 persen pada kuartal kedua dalam penjualan di TIongkok.
Perusahaan lain yang terkena dampak negatif adalah Nike. Produsen sepatu dan pakaian jadi ini memiliki ritel besar di Tiongkok, dan pendapatan non-GAAP kuartal kedua (yang diukur dengan EBITDA) turun 55 persen. Kedua perusahaan menyalahkan lockdown terkait COVID atas penurunan penjualan dan pendapatan mereka.
Raksasa ritel lainnya termasuk Adidas dan perusahaan mewah seperti Richemont dan Burberry juga melaporkan penurunan penjualan di Tiongkok.
Komoditas Tertekan
Komoditas global menghadapi tekanan ganda dari dolar AS yang kuat—mata uang yang digunakan sebagian besar komoditas—dan melemahnya permintaan Tiongkok.
Selama dekade terakhir, Tiongkok telah menjadi salah satu importir utama komoditas global seperti bijih besi, tembaga, minyak, dan gas alam cair.
Impor bijih besi Tiongkok pada bulan Juli naik 3,1 persen, meskipun selama tujuh bulan pertama tahun 2022 total impor turun 3,4 persen dibandingkan tahun lalu. Impor gas alam cair (LNG) Tiongkok turun 15,4 persen pada Juli, dan turun 20,3 persen pada periode tahun-ke-tanggal hingga Juli. Permintaan LNG yang lebih rendah tidak berdampak kepada pasar LNG karena permintaan dari Eropa—yang terputus dari gas Rusia—telah membuat harga LNG tetap tinggi.
Sementara Tiongkok terus mengimpor minyak mentah dari Rusia, sementara sebagian besar negara Barat lainnya menjatuhkan sanksi kepada Rusia, tingkat impor minyak Tiongkok secara keseluruhan menurun karena perlambatan ekonomi domestik. Minyak mentah West Texas Intermediate ditutup turun pada Agustus untuk bulan ketiga berturut-turut, sebuah angka penurunan terpanjang dalam dua tahun.
Keuntungan Dolar
Federal Reserve AS mengumumkan kebijakan suku bunga “lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama” pada retret tahunannya pada Agustus untuk mengatasi inflasi.
Ketua Fed Jerome Powell berjanji melakukan apa pun untuk mengendalikan inflasi, memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan “penderitaan” bagi investor.
Tiongkok dan Amerika Serikat telah menyimpang dalam kebijakan moneter masing-masing. Pada Agustus, People’s Bank of China memangkas suku bunga acuan setahun sebesar 5 basis poin dan suku bunga pinjaman acuan lima tahun sebesar 15 basis poin untuk merangsang permintaan kredit dan mendukung pasar real estat yang sedang menderita. Pemangkasan yang dilakukan sebagai kejutan, di balik angka pengeluaran konsumen dan pinjaman Juli yang lebih buruk dari perkiraan.
Nada hawkish The Fed yang berkelanjutan, relatif akan memperkuat dolar AS terhadap mata uang lainnya. Adapun bank sentral Tiongkok, sekarang memiliki lebih sedikit ruang untuk menurunkan suku bunga domestik.
Pada akhir Agustus, bank-bank pemerintah Tiongkok menjual dolar dalam upaya untuk menopang mata uang yuan, menurut beberapa pedagang mata uang yang berbicara dengan Bloomberg secara anonim.
Untuk sementara waktu, perkirakan dolar akan terus naik terhadap yuan. (asr)